18. ᴡᴀʏ ᴏᴜᴛ

6.7K 965 30
                                    

Rena memandang dengan takut dua pria paruh baya di hadapannya kini. Ditemani sang kekasih, Rena duduk berhadapan dengan orangtua Jasmin dan Chanisa.

"Kamu anak angkat Madava bukan? Mau apa?!" Tanya Tuan Marva dengan rahang mengeras.

"Ya dan tidak." Jawab Rena masih dengan wajah menunduk.

"Maksud kamu?" Tanya Tuan Artha lebih tenang.

"Dulu saya memang diangkat Tuan Madava sebagai anak, bersama kembaran saya. Tapi... saat satu perintah yang harus dijalani, yaitu membuat keluarga anda berdua hancur lewat anak kalian, saya memilih mundur." Jawab Rena dengan sedikit gemetar dan rasa gugup.

"Can you explain in more detail?" Tanya Tuan Artha dengan kebingungan.

Rena menatap Dery di sampingnya dengan tatapan resah. Namun, sebaik mungkin Dery menenangkan Rena agar bisa menjelaskan semuanya dengan tenang.

"Selama empat belas tahun hidup bersama keluarga Madava, saya selalu melakukan tindakan sesuai perintah dad– Tuan Madava. Lebih tepatnya melakukan tindakan yang membutanya puas tapi membuat orang lain terluka, bahkan kehilangan nyawa." Rena menghela napas sejenak untuk menenangkan diri.

"Dulu daddy nggak seperti itu, dia baik dan sangat menyayangi semua anaknya, nggak pernah membedakan kita. Tapi, saat umur saya menginjak sepuluh tahun, daddy mulai berubah." Rena menggelengkan kepala pelan mengingat kembali kejadian dulu. Bahunya dirangkul dengan erat oleh Dery.

"Daddy mulai arogan, tempramental dan semua itu berpengaruh ke Ka Mark, Ka Jeno, Yesha dan saya. Daddy jadi sering menyiksa kita kalau tidak melakukan perintahnya dengan benar." Air mata Rena sudah tak bisa dibendung lagi.

"Lima tahun lalu saat saya akan masuk sekolah menengah atas, daddy memberi perintah untuk menghancurkan keluarga kalian, dia tau saat itu saya satu sekolah dengan anak kalian. Dia memberi perintah seperti itu karena mengingat kembali kejadian yang menimpa istrinya."

"Tapi, dua tahun menjalani rencana, saya memilih mundur dan angkat kaki dari mansion milik Madava. Saya tidak bisa menyakiti anak kalian saat anak kalian sangat baik dan tidak punya salah apapun pada saya." Rena menguatkan pegangannya pada lengan Dery saat melihat perubahan ekspresi dari kedua pria paruh baya dihadapannya.

"Kamu tau penyebab Madava bisa berubah? Pasalnya saat kejadian kelam itu, dia tidak pernah terdengar kabar apapun dan setelah itu datang lagi dengan berbagai cara untuk menghancurkan kami." Tanya dan Jelas Tuan Marva dengan helaan napas kasar.

Rena menggeleng ragu. "Saya tidak tau." Namun detik berikutnya ia membulatkan mata. "Tapi saya ingat sehari sebelum daddy berubah, malamnya ia bertemu dengan paman yang selalu mengunjungi mansion setiap bulan."

"Siapa?!" Tanya kedua pria paruh baya itu bersamaan.

"Aku tidak mengingat jelas namanya karena daddy selalu mengusirnya tak lama ia berkunjung. Tapi daddy selalu menyebut Grif?"

Kedua pria paruh baya itu saling menatap dengan tak percaya. Raut marah dan kecewa tercekat jelas di wajah mereka.

"Kamu tau dimana keberadaan anak kami sekarang?" Tanya Tuan Artha dengan lembut.

Rena menganggung semangat. "Chicago dan aku akan menyelamatkan mereka."

Tuan Artha memekik. "Aku sudah menduganya. Rena, kamu benar mau menyelamtakan Jasmin dan Chanisa?"

"Ya, tentu." Angguk Rena yakin.

"Saya meninggalkan kunci mansion Chicago di tas kecil yang saya berikan pada Nana, saya sudah menduga dan berjaga-jaga. Mansion itu dulu kami bangun bersama." Jelas Tuan Artha tanpa diminta.

"Kau yakin?" Tanya Tuan Marva mencoba meyakinkan. Dijawab dengan anggukan kencang Artha.

"Kalau begitu kami sangat mengandalkan kamu untuk meyelamatkan anak kami. Dan kami disini mengurus sisanya." Ucap Tuan Marva.

"Ya, aku akan melakukan yang terbaik untuk sahabatku." Rena tersenyum menatap sang kekasih dengan air mata berlinang.

Dery tersenyum hangat, membawa Rena kedalam pelukannya dan mengucapkan kata hebat untuk sang pacar karena bisa melewatinya.


🥀🥀🥀


"Chan." Bisik Jasmin dengan pelan, ia mengguncang pundak sahabatnya.

Chanisa mengerang karena tidurnya terusik, ia membuka mata perlahan dan melihat Jasmin yang duduk dipinggir ranjang dengan gelisah.

"Kenapa sih Na? Udah tengah malem kenapa belum tidur?" Tanya Chanisa, ia menposisikan dirinya duduk menyandar.

"Sstt jangan berisik." Ucap Jasmin dengan panik.

"Kenapa?" Tanya Chanisa ikut panik.

"Kita bisa ngobrol leluasa cuma malam." Jasmin mengeratkan genggamannya pada tas kecil yang diberikan sang ayah.

"G-gue– ternyata tas kecil yang dikasih daddy isinya kunci." Ucap Jasmin dengan pelan.

"Kunci apa?" Tanya Chanisa dengan pelan juga.

"Kunci rumah ini." Jawab Jasmin, dengan cepat ia mengeluarkan kunci dari dalam tas dan memperlihatkan pada Chanisa.

"Na–" Ucap Chanisa tak percaya.

Lima buah kunci, disetiap kunci tertulis pintu kunci itu.

Jasmin mengangguk dengan mata berbinar. "Kita bisa keluar dari sini Chan."

"Chicago." Ucap Chanisa dengan pelan.

"Kita di Chicago?" Pekik Chanisa tak percaya.

Jasmin megangguk semangat. "Jadi, ayo kita keluar dari rumah ini sekarang."

"Gak bisa." Chanisa menatap Jasmin yang menatapnya dengan bingung. "Kita harus tau tata letak rumah ini dulu, ini bukan rumah biasa. Pasti banyak penjaga di luar rumah ini."

"Tapi ini udah malam, pasti gak ada yang jaga Chan." Ucap Jasmin sedikit kesal.

"Ayo kita keluar dari sini sekarang." Jasmin mengguncang Chanisa dengan tangis kecilnya.

Chanisa menghela napas, ia tidak yakin mereka akan dengan mudah keluar dari mansion ini. Tapi detik selanjutnya ia mengangguk pelan.

Jasmin tersenyum dan segera mengambil tas milik mereka. "Ayo."

Chanisa memasuki kunci dengan angka empat dan pintu itu terbuka dengan mudah. Pekikan senang dari keduanya terdengar.

Mereka melangkah lebih jauh meninggalkan kamar yang ditempati. Semakin mereka melangkah, mereka semakin dibuat bingung dengan tata letak rumah. Ini seperti mansion dengan letak yang sangat sulit. Jika mereka belok kanan mereka akan memasuki ruangan asing, jika mereka belok kiri mereka akan memasuki perpustakaan.

Akhirnya mereka memilih jalan lurus, tapi dengan cepat mereka bersembunyi di balik lemari besar, di depan sana terdapat Mark dan beberapa penjaga sedang berkumpul.

Raut ketakutan akan ketahuan terlihat jelas di wajah kedua sahabat itu.

"Chan–" Panggil Jasmin dengan wajah terkejut.

Chanisa menatap apa yang Jasmin lihat. Dengan napas tertahan Chanisa segera menarik Jasmin dengan cepat kembali ke kamar mereka. Di sana Yesha sedang berjalan dan akan melewati tempat mereka bersembunyi.

"Kita rencanain besok lagi, yang penting kita udah tau letak pintu keluar." Ucap Chanisa menenangkan Jasmin yang sedang terisak.

~~~

Struggle ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang