#3 - Teman...

9 5 0
                                    

Sudah beberapa minggu berlalu sejak hari pertama sekolah dimulai. Para guru sudah memberikan banyak tugas pada siswanya. Kegiatan sekolah juga sudah berjalan normal. Gadis dengan rambut diikat ponytail itu masih menikmati kesendiriannya. Meski duduk di kursi belakang dirinya tetap mendengarkan penuturan guru di depan. Walau beberapa temannya sudah tertidur karena bosan. Pelajaran di jam terakhir sebelum pulang memang terkadang membuat bosan atau membuat pikiran terbang entah kemana.

Seperti yang Yuka pikirkan saat ini, ia berpikir akan membeli bebarapa barang dan bahan masakan sepulang sekolah nanti. Dirinya berencana akan membuat kari agar bisa bertahan beberapa lama di dalam kulkas dan hanya perlu dipanaskan sebentar sebelum disajikan. Agar dia tak perlu makan ramen instan terus. Hingga akhirnya bel pulang berbunyi nyaring dan seluruh siswa dengan semangat membereskan barang-barangnya hendak pulang.

Yuka baru saja selesai mengganti sepatunya di loker di depan pintu masuk gedung. Sebelum seseorang menyapanya,

"Yuka, udah mau pulang?" seorang gadis cantik dengan rambut lurus sebahu menyapanya dengan ramah. Yuka mengenalnya, itu Hana teman sekelasnya yang duduk tak jauh darinya di kelas. Di sampingnya berdiri Aby, gadis berambut pendek yang terlihat sedikit tomboi namun parasnya anggun.

Yuka sedikit mengerutkan keningnya. Jarang sekali ada yang menyapanya.

"Eh, iya" jawab Yuka singkat. Dia agak gugup jika diajak bicara. Takut-takut salah kata-kata.

"Ikut kita yuk! Katanya ada kafe yang baru buka di dekat stasiun dan katanya tempatnya bagus. Makanannya juga enak" ajak Hana antusias.

"Iya ikut aja yuk. Sekalian arah pulang. Lo pulang naik kereta kan?" lanjut Aby.

"I-iya naik kereta. Memangnya ngga apa-apa kalau aku ikut?" tanya Yuka ragu.

Aby dan Hana saling pandang lalu tertawa kecil mendengar pertanyaan Yuka. "Ya ngga apa-apa lah. Lo kan temen kita juga Yuka" jawab Aby kemudian melebarkan senyumnya.

Teman ya? Mereka menganggapku teman?. Batin Yuka senang dan tak percaya dengan apa yang didengarnya.

"Ok sudah ditentukan. Yuka ikut kita ya" tambah Hana lebih antusias.

Mereka bertiga menyusuri jalanan kota itu beriringan dengan siswa lain yang hendak menuju ke stasiun. Hana dan Aby sesekali mengobrol dalam perjalanan. Sedangkan Yuka hanya mendengarkan. Dirinya belum berani untuk menyambung atau masuk seenaknya ke pembicaraan. Tak lama mereka telah sampai di kafe yang di maksud Hana. Kafe itu terlihat nyaman. Dengan ornamen dan furnitur kayu di dalamnya. Juga daun-daun buatan yang menjalar di langit-langit ruangan membuat kafe itu terlihat estetis. Ditambah lagi dengan lampu-lampu berwarna temaram yang menggantung di daun-daun buatan yang menjalar. Serta beberapa pernak-pernik lainnya yang membuat para pengunjung betah berlama-lama disana.

***

Hana, Aby dan Yuka memilih tempat duduk di dekat jendel kafe. Dari tempat mereka duduk terlihat pohon bunga sakura buatan di pojok ruangan dengan beberapa kertas tergantung di dahannya. Tampak seperti pohon harapan. Juga musik mengalun lembut, membuat suasana semakin nyaman. Yuka hanya memesan minuman dan cheese cake. Sedangkan Hana dan Aby memilih makanan yang sedikit lebih berat dan mengeyangkan.

"Yuka, kita lihat kayaknya lo sering sendirian ya di kelas?" tanya Hana membuka pembicaraan.

Yuka sedikit kaget mendengar pertanyaan Hana, meskipun apa yang dikatakan Hana itu benar. "Eh, iya begitulah" jawab Yuka sekenanya tanpa menatap lawan bicaranya.

Hana dan Aby saling berpandangan. Ternyata Yuka benar-benar pendiam persis seperti yang dikatakan siswa lainnya di kelas.

"Ngomong-ngomong lo ikut klub apa?" kali ini giliran Aby yang bertanya. Yuka mengangkat wajahnya perlahan. Jika diingat Yuka memilih sekolah disini untuk membuka lembaran baru. Namun untuk sekedar mengobrol saja rasanya sulit sekali. Yuka meyakinkan dirinya untuk mencoba menatap lawan bicaranya. Namun tidak sampai lima detik, pandangannya beralih ke arah lain.

"Ehm... Aku belum ikut klub apa pun" jawab Yuka dengan pandangan kembali pada cheesecakenya.

Aby mengerutkan dahinya. "Bukannya wajib ya ikut setidaknya satu klub?" tanya Aby memastikan.

"Ehm...Iya sih, tapi aku masih bingung mau ikut klub apa" jawab Yuka sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal seraya tersenyum.

Hana dan Aby terkejut melihat senyum Yuka. Mengapa tidak ada yang menyadari kalau senyum Yuka begitu manis. Mungkin karena Yuka lebih sering menunduk dan jarang mengobrol dengan yang lain.

Mereka melanjutkan mengobrol mulai dari Aby menyarankan Yuka bergabung di klub basket bersamanya. Tapi Yuka menolaknya secara halus karena rasanya dia tidak pandai bermain dalam olahraga. Hingga ke topik tugas sekolah. Tak lama kemudian mereka meninggalkan kafe dan pamit ke rumah masing-masing. Ternyata rumah Aby tidak terlalu jauh dari stasiun, jadi ia melanjutkan dengan berjalan kaki. Sedangkan Yuka dan Hana berjalan bersama menuju stasiun. Yuka merasa senang sekali hari ini. Ia senang karena Hana dan Aby mengajaknya pergi sepulang sekolah. Mereka juga ramah pada Yuka. Rasanya Yuka belum pernah merasakan perasaan seperti ini.

***

Suasana sekolah siang itu sangat terik. Banyak siswa yang menghabiskan waktunya di lorong-lorong kelas di jam istirahat siang itu.

"Eh kalian tuh hati-hati loh sama Yuka. Ayahnya kriminal, bisa-bisa dia berbuat yang ngga-ngga sama kita" ucap seorang siswi sedikit keras ketika melihat Yuka berjalan melewati dirinya di lorong sekolah. Yuka mengabaikannya, ia hanya terus berjalan menuju kelas.

Dihari lainnya lagi-lagi tatapan sinis dan tidak suka tertuju pada Yuka. Dia tidak paham kenapa semua orang membencinya. Padahal dia tidak pernah melakukan tindakan yang merugikan orang lain.

Bruk!
Yuka jatuh terduduk ketika seorang siswi dengan sengaja menabraknya di dekat tangga. Untung saja dia tidak sampai jatuh terguling di tangga sekolah.

"Jalan hati-hati dong! Lo tuh sengaja ya mau celakain gue. Kayak yang ayah lo lakuin ke orang-orang itu? Hah!" bentak siswi itu pada Yuka yang hendak berdiri. Yuka hanya menunduk tak berani menatap lawan bicaranya.

Siswi berambut pendek itu geram. "Heh! Kalo diajak ngomong itu jawab. Jangan cuma diam aja!" sontak suara kencangnya memancing berpasang-pasang mata melihat kearah mereka.

"Aku ngga ada niat celakain kamu. Maaf" ucap Yuka lirih masih sambil tertunduk. Siswi itu mendelikan matanya sebal pada Yuka lalu beranjak pergi dengan menabrak bahu Yuka sekali lagi. Kali ini berhasil membuat Yuka terjungkal kebawah tangga. Yang mengakibatkan memar di tubuhnya. Namun tak seorang pun iba dan menolongnya. Mereka takut jika membantu Yuka akan mendapatkan masalah. Sebagian lagi memang menaruh rasa benci pada Yuka akibat perbuatan sang ayah.

Di kelas pada hari berikutnya banyak teman kelas Yuka yang menyalahkan dirinya karena telah mencelakai Tami ketika mereka berlari di sekitar area sekolah. Padahal Tami terjatuh karena tersandung sesuatu hingga menyebabkan kakinya berdarah. Yang kebetulan pada saat itu memang Yuka sedang berlari di dekatnya. Tapi bukan Yuka yang melakukan itu.

"Bukan aku yang mencelakai Tami. Dia tersandung waktu itu..." kata Yuka berusaha membela diri.

Pandangan teman sekelas tertuju padanya. Tatapan tidak suka menusuk begitu saja ke dalam hati Yuka.

"Siapa yang ajak lo ngomong? Lagian maling mana ada yang mau ngaku!" ujar Sarah ketus yang kebetulan memang teman dekat Tami. Yuka tak bergeming. Ia tak berani membalas ucapan Sarah, terlebih melihat pandangan tajam teman-teman kelas ke arahnya.

***

Yuka mengerjapkan mata. Dia ketiduran di meja belajarnya. Buku tugas Matematika yang tadi sedang dikerjakannya tampak sedikit lecak karena tertimpa tubuhnya.

"Mimpi buruk lagi. Kenapa ketika aku mendapatkan teman di sekolah baru, justru kenangan buruk saat SMP terngiang lagi" kata Yuka lirih dengan tatapan menerawang ke depan meja belajarnya.

"Ah, mungkin aku lapar ya belum makan malam. Lagi-lagi aku harus makan ramen instan . Tapi ngga apa-apa, aku senang bisa pergi dengan teman hari ini" kali ini senyum Yuka merekah mengingat kejadian siang ini.

Ia berharap kejadian buruk yang menimpanya dulu tidak akan terulang lagi padanya. Dia harap dengan mengobrol dengan Hana dan Aby siang tadi dapat memudahkannya menulis kisah di lembaran baru ini. Semoga saja.

MémoireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang