#8 - Terimakasih

6 1 0
                                    

Cuaca malam ini terasa sejuk walau sudah hampir musim panas. Bintang gemerlapan di langit malam tanpa terhalang awan. Bulan menampakan dirinya dengan indah. Meski begitu ada awan mendung yang cukup tebal di hati Yuka. Mengingat kejadian bertahun-tahun lalu yang sudah coba dilupakannya bukanlah hal mudah. Belum lagi ingatan itu juga menjadi trauma baginya.

Yuka juga bercerita alasan ia memilih sekolah yang cukup jauh dari tempat tinggalnya. Berharap tidak bertemu teman-teman dari sekolah lamanya yang bisa saja mengundang kenangan buruk itu kembali terulang. Yuka juga bercerita perihal malam kepergian ayahnya yang hingga kini belum pernah ia dengar kabarnya lagi. Sebetulnya pagi setelahnya ibu memberitahu Yuka bahwa ayahnya datang untuk mengambil beberapa barang kemudian pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dan sejak itu baik Yuka atau Marika tak pernah lagi melihat sosok laki-laki itu.

Bukan perihal mudah bagi Yuka yang kala itu masih berusia tiga belas tahun. Memang rumah di persimpangan jalan itu terasa lebih tenang dari sebelumnya. Tidak ada lagi kata-kata kasar yang terdengar. Tidak ada lagi seruan kencang yang memekakan telinga setiap malamnya. Namun Yuka tahu hampir setiap malam wanita yang dicintainya itu menangis. Meski ibu selalu mengatakan semuanya baik-baik saja Yuka tahu kalau ibunya merasa terpukul dengan kepergian suaminya itu. Padahal ayah begitu kasar pada mereka berdua.

"Seperti yang Tante Marika bilang. Semuanya akan baik-baik aja" Hana membuka suaranya. Mencoba menenangkan Yuka.

"Kita ada disini buat lo. Jadi lo ngga perlu merasa sendirian. Mau gimana pun masa lalu lo. Kita ngga peduli Yuka. Yang Hana dan gue tau lo itu baik dan lo teman kita" Aby mengatakannya dengan raut wajah serius. Kalimatnya berhasil membuat air mata Yuka yang sejak tadi terbendung mengalir deras. Hana dan Aby memeluk Yuka dengan hangat. Mengisyaratkan bahwa Yuka tidak perlu khawatir, sahabat-sahabatnya akan selalu bersamanya. Pelukan mereka semakin erat seakan saling memberi kekuatan satu sama lain.

Terimakasih. Terimakasih sudah datang padaku hari itu. Terimakasih sudah mau menjadi temanku. Kata Yuka dalam hati. Ia begitu bersyukur dapat memiliki teman seperti Hana dan Aby. Bahkan semusim lalu Yuka tidak pernah terpikir akan kembali merasakan hangatnya memiliki teman.

***

Malam tadi hujan salju turun membuat jalanan dan pepohonan tertutupi benda berwarna putih yang turun dari langit. Semalam udara terasa menusuk sekali. Namun siang ini matahari sudah menunjukan sinarnya. Memberikan sedikit rasa hangat di tahun yang baru ini. Wanita itu sudah siap dengan mantel musim dinginnya yang tebal dan tas berisi kue di genggamannya. Di sampingnya berdiri seorang gadis kecil dengan mantel pink lengkap dengan topi bobble lucu di kepalanya. Mereka sudah berdiri di peron stasiun menunggu kereta datang. Sepuluh menit menunggu kereta mereka datang.

Butuh sekitar empat puluh lima menit perjalanan untuk tiba di tujuan. Marika dan putrinya sudah tiba di depan rumah keluarga Ojima. Rumah dengan gaya tradisional itu terihat menawan. Marika menekan bel sekali lagi berharap ada yang keluar. Berharap sang pemilik rumah mau menemuinya. Tak berselang lama setelah bel kedua berbunyi keluar seorang wanita paruh baya. Ia juga bertanya "Ingin menemui Tuan Ojima?" Marika mengangguk.

Wanita itu mempersilakan ia dan anaknya masuk. Dibalik pagar itu terlihat sebuah taman yang asri meski tertutup butiran salju. Meski bergaya tradisional rumah tersebut terlihat sangat nyaman dan hangat. Betul-betul seperti rumah keluarga yang ada di bayangan Marika. Berbeda dengan suasana yang ada di rumahnya. Wanita itu mempersilakan Marika dan putrinya duduk di sebuah ruangan beralaskan tatami yang membuat ruangan itu terasa hangat. Tak lama wanita paruh baya itu kembali dengan nampan berisi teh dan beberapa kudapan manis.

"Silakan dinikmati. Saya panggilkan tuan dulu. Permisi" ucap wanita itu sangat sopan. Marika mengangguk seraya tersenyum.

Ruangan itu tidak terlalu besar namun cantik. Terdapat beberapa hiasan di dinding ruangan juga beberapa foto di dalamnya. Pintu ruangan yang berbahan kaca menghadap langsung memperlihatkankolam kecil yang berada persis di taman di depan ruangan. Indah namun sebetulnya dingin. Seperti apa yang dirasakan Marika. Tidak ada lagi yang  berteriak kasar padanya atau putrinya. Rumah juga terasa tenang, sepi sejak suaminya dijatuhi hukuman penjara minggu lalu. Kini ia hanya tinggal berdua dengan putrinya. Yuka. Meski tak ada tangan-tangan kasar itu hatinya tetap terasa sepi. Karena bagaimana pun pria yang sekarang ada dibalik penjara itu adalah suami yang sudah bersamanya belasan tahun belakangan ini.

"Ah, Ibu Saitou. Maaf menunggu lama" seorang wanita masuk ke ruangan dengan anggun. Tatapannya begitu ramah menyambut tamu yang datang. Ia segera bergabung di tengah-tengah ruangan bersama Marika.

Marika mengangguk menyapa. Tersenyum kaku. "Ngga apa-apa Bu. Ehm... Jangan panggil Saitou. Panggil saja Marika"

Wanita itu mengangguk paham. "Kalau begitu jangan panggil Ojima. Panggil aja Eri ya" jelas wanita itu. Ia juga tampak gemas melihat gadis kecil di depannya yang asik melahap kudapan manis yang tadi diberikan.

"Anakmu cantik. Lucu. Ah, aku turut menyesal atas putusan untuk suamimu minggu lalu" lanjut wanita itu. Terihat pandangan iba dimatanya.

Marika menggeleng cepat. "Ngga apa. Eh, Eri. Itu memang hukuman yang pantas atas apa yang dia perbuat. Bagaimana kabar Tuan Ojima dan Anakmu? Sekali lagi aku minta maaf atas kejadian tempo hari" Marika membungkuk. Menyesal. Dirinya sangat tidak enak pada keluarga Ojima yang sudah terkena musibah karena suaminya. Tapi mereka tetap saja baik pada keluarganya.

Eri menggenggam erat tangan Marika. Membuat Marika mengangkat kepalanya menatap Eri dengan tatapan bingung.

"Sudah lah. Suamiku juga sudah sehat, hanya perlu banyak istirahat. Anakku juga sudah bisa mulai sekolah setelah liburan musim dingin ini. Jadi jangan terus menyalahkan dirimu Marika. Kami baik-baik saja" Eri sekali lagi tersenyum ramah. Dengan genggamannya seperti menyalurkan kehangatan pada Eri.

Marika sangat bersyukur bertemu orang baik seperti keluarga Ojima. Mereka tidak menuntut apa pun. Bahkan mereka juga menolak ketika Marika menawarkan untuk membayar biaya perawatan dengan alasan memiliki asuransi. Meski begitu hukum tetap harus dipatuhi. Apalagi suami Marika saat itu mengemudi dalam keadaan mabuk dan juga mencelakai orang lain. Beruntung hukumannya tidak terlalu lama. Namun kejadian itu cukup untuk membuat Yuka, gadis kecil yang tidak bersalah mendapatkan imbasnya. Ia dikucilkan.

Marika memberikan kue yang dibawanya pada Eri. Itu adalah cheesecake buatan Marika. "Aku buat ini. Cheesecake. Semoga Eri dan keluarga suka"

Senyum mengembang di wajah Eri. "Ah, terimakasih. Anak-anakku pasti suka sekali. Terimakasih" Eri menerima kue itu dengan senang.

Marika hanya sedikit mengobrol tentang beberapa hal. Lalu pamit pulang pada Eri dan titip salam untuk suaminya karena belum bisa ditemui saat ini. Marika sangat berharap kalau semuanya dapat baik-baik saja. Eri juga meyakinkan sekali lagi pada Marika bahwa semuanya baik-baik saja.

***

"Wah! Apa tuh Bu?" tanya seorang remaja laki-laki semangat ketika baru turun dari tangga. Luka bekas tabrakan di tangannya masih terlihat jelas.

"Kue dari Tante Saitou. Masih ingat kan? Bawa ke atas ya sekalian untuk Adikmu" jawab Eri seraya meletakan beberapa potong kue ke atas piring.

"Oh, keluarga Saitou..." ucapnya lirih. Senyum di wajahnya luntur seketika.

MémoireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang