#9 - Musim Panas

7 1 0
                                    

Minggu lalu libur musim panas resmi dimulai dengan tumpukan tugas yang mengantri minta di kerjakan. Yuka masih terlelap di kamarnya setelah semalaman mengerjakan tugas. Bagi Yuka semakin cepat dikerjakan semakin baik.

Pagi ini Marika bangun lebih awal untuk memasak makanan yang akan dibawa untuk piknik hari ini bersama putrinya. Bau harum sudah memenuhi dapur pagi itu. Televisi di ruang tengah dibiarkan menyala memecah kesunyian. Berita menyebutkan ramainya pengunjung di tempat wisata pada awal liburan musim panas. Seorang wartawan membuat liputan dengan latar belakang pantai yang terlihat ramai. Anak-anak berlarian kesana-kemari dengan wajah gembira. Kumpulan muda-mudi juga ikut meramaikan pantai pada liputan itu.

"Ibu udah bangun?" tanya Yuka yang masih dalam balutan piama tengah menuangkan segelas susu dari dalam kulkas. Wajahnya masih kusut khas bangun tidur.

Marika menoleh pada pada putrinya yang masih terlihat berantakan itu. "Udah. Ibu lagi masak untuk piknik hari ini. Kamu ngga lupa kan?"

Yuka mengucek matanya. "Eh, ngga kok Bu. Yuka ingat. Maaf Yuka bangun kesiangan. Yuka bisa bantu apa Bu?" tanya Yuka merasa tidak enak.

"Ngga apa-apa Nak. Kamu kan habis kerjain tugas sekolah sampai malam. Kamu siap-siap aja setelah itu kita jalan" jelas Marika dengan senyum penuh kasih sayang.

Yuka mengangguk semangat kemudian putar balik menuju kamarnya.

***

Taman kota pagi itu belum terlalu ramai pengunjung jika dibandingkan sore hari. Beberapa orang terlihat bermain bulu tangkis di tengah-tengah taman. Di bawah pohon-pohon rindang juga terlihat sekelompok orang menggelar piknik bersama ditemani canda tawa. Juga barisan antrian di depan truk ice cream. Seperti yang dilakukan Yuka saat ini. Mengantri ice cream.

"Tolong ice cream stroberinya dua" kata Yuka pada penjual ice cream.

"Yuka?" sebuah suara mengagetkan Yuka dari sampingnya. Suara yang dikenalnya.

Yuka menoleh. Dilihatnya sosok tinggi tampan di hadapannya. Wajah dan tubuhnya penuh peluh keringat. Tampak seperti habis berolahraga. "Ren? Betul Ren kan?" tanya Yuka memastikan.

"Iya. Lo ngga lupa kan sama gue? Lo sendirian?" tanya Ren ramah.

Yuka mengambil ice cream stroberinya dan memberikan beberapa lembar uang pada penjual.

"Aku sama Ibu. Kamu? Oh iya, payung yang waktu itu..." Ren langsung memotong kalimat Yuka sebelum ia menyelesaikannya.

"Gue sama teman. Disana" ucap Ren seraya menunjuk ke sebuah pohon rindang dan terlihat dua remaja melambai ke arah mereka. Ren balas melambai lalu beralih lagi pada Yuka.

"Masalah payung itu. Bisa kapan kapan. Pakai aja dulu. Gue duluan ya Yuka" lanjut Ren sambil mengusap puncak kepala Yuka sebelum kemudian pergi ke arah teman-temannya. Yuka hanya menatap Ren pergi. Entah kenapa dadanya terasa sesak jika bertemu Ren. Padahal mereka hanya sering bertemu secara tidak sengaja. Rasa apa ini? Aku ngga paham.

"Ah iya! Ice creamnya meleleh!"

***

"Itu siapa sih?" tanya seorang lelaki dengan handuk kecil tersampir di pundaknya.

Lelaki sebaya di sebelahnya mengangkat bahu. "Entah" jawabnya singkat.

Dengan jarak yang cukup jauh dari mereka seorang remaja laki-laki bertubuh tinggi terlihat mengobrol dengan seorang gadis cantik dengan rambut panjang tergerai. Tidak terlalu lama sampai akhirnya ia putar balik ke arah pohon rindang di sisi lain taman kota. Wajahnya tampak bahagia. Pipinya bersemu merah, mungkin karena panas. Atau terlalu bahagia.

Padahal lebih sering ketemu karena kebetulan. Tapi kenapa hati gue rasanya berdebar ya. Kata Ren dalam hati

"Siapa sih Ren? Lo sampe bela-belain lari gitu" lelaki dengan handuk di bahunya itu langsung saja menembak Ren dengan pertanyaan.

"Pengen tau aja. Udah yuk balik. Capek gue" Ren menjawab sekenanya. Ia merasa canggung jika harus membicarakan Yuka. Ren langsung saja berjalan menuju arah luar taman meninggalkan kedua temannya yang masih saling tatap kebingungan. Tapi mereka memutuskan untuk melupakannya meski Ren tampak berbeda. Mereka akan menunggu sampai Ren mengatakannya sendiri.

***

Marika sedang sibuk berkutat dengan laptop di teras belakang rumah malam ini. Ia sudah pulang sejak tadi dari taman dan sekarang harus mengerjakan pekerjaannya yang tertunda. Sebetulnya dirinya sudah bertekad untuk meluangkan waktu bersama putrinya di liburan musim panas kali ini. Tapi tetap saja kerjaannya menumpuk dan tidak bisa diabaikan. Ia jadi teringat pembicaraan dengan Yuka di taman siang tadi.

"Rasanya udah lama banget ya Bu kita ngga jalan-jalan. Andai aja bisa sering-sering. Walau cuma sekedar duduk di taman" tatapan Yuka menerawang ke langit biru ketika mengatakan itu. Seulas senyum terlukis di wajahnya dan matanya berbinar cerah. Marika hanya tersenyum mendengar perkataan putrinya.

Wanita itu menatap langit malam yang penuh gemerlap bintang dengan hati tidak enak. Dirinya berharap dapat mengabulkan keinginan Yuka. Namun untuk saat ini rasanya mustahil. Ia juga tidak tega mengatakan pada Yuka kalau beberapa minggu lagi dirinya harus kembali ke luar kota untuk urusan pekerjaan. Meninggalkan putri kesayangannya sendirian di rumah tidak semudah kelihatannya. Termasuk bagi Marika. Itu sangat berat.

Memang Yuka sudah bisa mandiri. Namun tetap saja, dengan tinggal jauh dari putrinya Marika merasa gagal untuk menjadi ibu yang baik. Meski begitu mereka berdua sama-sama meyakinkan diri kalau ini adalah yang terbaik. Karena Marika dan Yuka percaya, selama mereka masih saling memiliki satu sama lain semuanya akan baik-baik saja.

Namun, pertemuan dengan suaminya beberapa waktu lalu yang tidak di sengaja membuat ia semakin was-was. Meski pria itu adalah ayah dari putrinya. Marika tidak ingin Yuka bertemu dengannya.

"Ibu mau Yuka buatkan sesuatu?" tanya Yuka yang muncul dari balik pintu.

Marika menoleh. Ia meletakan laptopnya dan langsung memeluk erat putri kesayangannya. Yuka.

Yuka senang tapi juga bingung ibu seketika memeluknya. "Ibu?"

Marika mempererat pelukannya. Entah mengapa dirinya merasa rindu sekali pada gadis dalam dekapannya itu.

Yuka, maafkan Ibu ya Nak.

MémoireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang