8 Mei.
"Ian, ayo main." Sebuah bola basket dilemparkan pada seorang lelaki bermata sipit yang tengah berjalan melewati lapangan.
Bolanya tidak ia tahan maupun ia tangkap, melainkan membiarkan benda bulat itu menyenggol pinggangnya lalu jatuh ke tanah mengikuti gravitasi.
"Tidak." Laki-laki bernama Ian itu tidak membalas tatapan sekumpulan pemain basket yang tengah mengamatinya, ia berjalan santai melewati lapangan, lalu masuk ke kelas.
Anak pendiam? Bukan, itu bukan julukan yang tepat untuknya. Ah, pemuda yang dingin, sebutan yang pacak untuknya.
"Hai, Ian," sapa sekumpulan kaum hawa sembari tersenyum manis memandanginya yang baru saja masuk ke kelas.
Bahkan membalas kontak mata mereka saja tidak, Ian malah berjalan cuek tanpa mengatakan sepatah kata ataupun menyapa balik mereka.
Kakinya berjalan menuju tempat duduknya yang tepat berada di samping jendela besar. Ia duduk, netranya menatap layar ponselnya, mengusap layar dengan jempolnya.
"Yo!" Seseorang menepuk pundak Ian cukup keras, kepala Ian sontak berpaling ke arah sang pelaku, melemparkan tatapan setajam silet.
"E-eh? Jangan marah," ujar laki-laki--yang dipanggil Hans--diselimuti rasa panik, ia sampai menempelkan kedua tangannya di depan dada, bentuk rasa bersalah dan ingin meminta maaf.
Setelah puas menatap ngeri Hans, pandangan Ian kembali fokus pada gawai yang sedang ia mainkan.
Beberapa menit setelah keadaan yang sunyi, sebuah bayangan besar menutupi dirinya, menghalangi cahaya lampu. Ian mendongkakkan kepalanya untuk melihat si pelaku.
Gadis bermanik hijau zamrud, Amber, gadis ceria dan populer yang sering menjadi bahan incaran kaum adam untuk dijadikan pujaan hati mereka.
"Hai," sapa Amber pada Ian yang bahkan tidak ingin melihatnya. "Cuek banget."
Mulut Ian seperti sudah dijahit saja, menyapa balik orang saja tidak bisa.
"Dia itu pangeran es atau batu sih?" batin Amber sembari meratapi nasibnya yang menaruh hati pada lelaki cuek ini.
"Aku boleh minta nomor teleponmu tidak? Untuk kepentingan tugas," tutur Amber, Ah, dia sungguh tidak tahu cara PDKT yang benar, terang-terangan meminta nomor telepon gebetannya.
"Minta sama yang lain," balas Ian yang masih fokus memandangi layar ponsel.
"Anu, kamu tahu, kamu 'kan juara kelas, jadi ...." Ucapan Amber membuat Ian merasa risih, ia mendekatkan kursinya ke jendela, menjaga jarak dengan Amber. keberadaan Amber sungguh tidak diinginkan oleh Ian.
"Jangan ganggu aku," usik Ian seraya memberikan isyarat tangan yang samar. Perkataannya membuat Amber menekuk-kan bibirnya.
Amber menggengam erat ponselnya, lalu mulai memohon, "Ayo bantu aku."
Ian yang jual mahal itu tetap tutup mulut, meminta nomor teleponnya saja harus mengemis-ngemis, itupun belum dapat.
Amber yang akhirnya tidak tahan berdiri terlalu lama itu pun pergi. Ia menyerah.
Tapi, hanya untuk hari ini, usaha tidak akan pernah berhenti ia tunjukkan pada lelaki itu.
15 Mei, seminggu kemudian.
Selama seminggu penuh, Amber senantiasa menanyakan nomor telepon Ian, baik secara langsung atau meinggalkan note berisi nomornya di atas meja, berharap bahwa Ian akan menambah nomor Amber ke dalam kontaknya.
Kata berhenti berharap sepertinya lumayan cocok untuk Amber. Namun ia sendiri diberkahi sifat pantang menyerah, yang membuatnya merasa tidak jerah meski telah dihiraukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tales of Life (KUMCER)
RandomCerita? Ya, aku akan bercerita padamu. Dahulu kala, ada seorang gadis yang sulit tidur setiap malam, kelopak matanya tidak bisa terbenam meski sudah dipaksakan. Lalu dia memutuskan untuk menulis buku ajaib, buku yang bisa membuatnya tertidur setelah...