Benci dan Benci

2 1 0
                                    

Aku benci menjadi berbeda.

Genosida besar-besaran dilakukan di desa tempat aku tinggal. Ayahku mati. ibuku mati. Semuanya mati kecuali aku dan adikku yang bersembunyi di saat malam penyerangan.

Bohong, katanya mereka ingin semuanya hidup bersama, berdampingan, tanpa adanya konflik dan perpecahan. Omong kosong. Pemerintah hanyalah sampah. Manusia hanyalah budak yang hanya bisa mematuhi atasannya seperti anjing. Bajingan itu sudah merebut segalanya dariku.

Katanya kalau meminum darah vampir, maka umur mereka akan panjang. Entah dongeng mana yang mereka jadikan sebagai referensi hingga aku dan Arsy.

Mitos soal vampir yang punya 'kelebihan' dari manusia itu tidak pernah benar. Satu-satunya kelebihan (yang juga kubenci) adalah kemampuan untuk hidup abadi (dengan catatan tidak dibunuh atau dimutilasi). Cahaya matahari tidak pernah bisa membunuh kami, hanya mampu membuat kami merasakan sakit layaknya manusia normal. Bawang? Ini omong kosong paling menggelikan yang pernah kudengar setelah omongan pemerintah. darah? Aku menyukainya, tapi bukan berarti aku 'perlu' mengonsumsinya.

Hanya ada satu orang yang kupercaya: Alicia. Meski dia yang merawat kami, tapi rasanya aneh memanggilnya dengan sebutan 'Mama'. Dan dia baru saja meninggal seminggu lalu. Sekarang tersisa aku dan adikku saja.

Aku mengembuskan napas. Adikku menghilang. Sebenarnya kata menghilang kurang tepat, mungkin dia hanya terlambat pulang. Penampilan kami layaknya manusia biasa: Aku dengan rambut panjang hitamku dan adikku dengan rambut pendek hitamnya. Mungkin hanya gigi kami yang terlihat sedikit tajam (ayolah, manusia juga punya gigi taring yang tajam). Jika dilihat sekilas, kami serupa. Lagipula kejadian itu terjadi saat aku berusia lima tahun dan adikku masih berusia 6 bulan, sudah sebelas tahun berlalu, dan kami aman; berhasil berbaur dengan masyarakat.

Aku menggigit jariku. Seharusnya aku lebih memperhatikannya, tapi dia tipe yang tidak mau dikekang. Mungkin sebentar lagi.

Tidak ada suara tapak kaki yang mendekat sedaritadi tadi. Jantungku mulai melantungkan irama kekhawatiran. Aku harus mencarinya. Langit gelap; udara malam menusuk sampai tulang. Aku mengenakan kerudungku, lantas berjalan keluar dengan harapan bahwa dia hanya telat kembali saja.

Menatap netra manusia terasa mencekam bagiku. Tentu saja, mereka bisa membunuhku setelah tahu kalau aku bukan kaum mereka. Mungkin tubuhku akan ditemukan dalam bentuk potongan. Nasib baik alicia tidak pernah melaporkan eksistensi kami.

Aku kembali memfokuskan pandangan pada jalanan; mencari adikku yang biasanya senang bermain dengan hewan di hutan. Sejujurnya, berteman dengan manusia masih masuk dalam kategori 'mustahil' untukku dan adikku. Kami tidak ingin dimutilasi.

Psst!

Kepalaku sontak menoleh ke sumber suara. Tidak ada siapa-siapa. lantas ketika aku kembali menghadap ke depan, aku langsung tersentak. Seorang pemuda dengan tinggi 5 sentimeter di atasku tengah mengedarkan pandangan dari bawah hingga ke atas; seakan-akan tengah menelitimu.

"Siapa kamu?" Aku berusaha untuk bersikap biasa saja; tidak ingin ia sadar bahwa tanganku sedikit bergemetar.

"Kamu ...," Ia menjeda ucapannya sejenak, "sedang mencari orang?"

Rasanya jantungku hendak lepas dari raga. Aku langsung menatapnya was-was sembari bertanya-tanya tentang--bagaimana dia tahu--dalam hati. sepertinya pemuda itu merasakan perubahan ekspresiku. Ia gegalapan seraya berjalan mendekatiku. "Tunggu, jangan panik. Soalnya aku melihat anak kecil yang mirip denganmu." Ia meletakkan tangannya di depan bahunya. "Dengan rambut sepanjang ini, mata kalian juga mirip."

Mataku sontak membulat. Dia mengenal adikku?

"Tadi aku melihatnya dibawa--" Ucapan pemuda itu langsung dipotong olehku. "Di mana kamu melihatnya?!" Tanpa sadar, aku mengurangi jarak antar kami.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 31 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tales of Life (KUMCER)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang