Tragedi

1 1 0
                                    

Di kelas, suara murid yang berteriak 'yey' terdengar bersahutan saat kepala sekolah mengumumkan sekolah dibubarkan lebih awal dan kami semua harus sampai di rumah sesegera mungkin.

Ada apa? Kenapa terasa janggal?

Kalender tahun 1998 di depanku dipenuhi oleh banyak lingkaran berwarna merah, tanda bahwa akan banyak kegiatan dari sekolah yang hendak diadakan seperti pameran dari klub kerajinan tangan atau lomba sepakbola antar sekolah.

Firasatku buruk.

Aku berdiri dari kursi, merapikan rok biruku yang lecek akibat duduk lama di kursi. Teman-temanku sudah berlarian keluar membawa tas masing-masing. Orang tua mereka sontak menarik tangan anak mereka saat murid-murid keluar dari gerbang sekolah; berlari seakan-akan ada bahaya yang akan datang.

Baiklah, kurasa aku akan berjalan pulang saja. Tidak akan ada yang mengantarku pulang.

Jarak sekolah dengan rumahku hanya butuh waktu 5 menit. Sepanjang jalanan, aku merasa aneh. Ada sekelabat perasaan yang mencuat dari dalam dada dan aku sadar bahwa itu bermakna negatif.

Suasana jalanan entah kenapa terasa mencekam. Ada isyarat yang seakan-akan menyuruhku untuk 'berlari' pulang ke rumah. Kakiku dengan sendiri mempercepat langkahnya.

Kosong.

Tidak ada siapa-siapa di rumah. Aneh. Harusnya aku mendengar suara Meli yang berteriak girang. Aku berjalan perlahan; mataku menelusuri setiap sudut rumah. Tante juga tidak ada.

Ke mana semuanya?

Aku melirik ke luar. Jalanan semakin sepi seakan-akan semuanya tengah bersembunyi. Tepat saat aku menutup pintu dan hendak masuk ke dalam rumah, tiba-tiba terdengar suara yang keras.

Suara teriakan orang yang beramai-ramai.

"GANJANG CINA!"

Aku menutup mulutku. Kerusuhan?

Hal pertama yang aku pikirkan adalah berlari ke area kamar yang paling dekat dengan pintu belakang rumah, lantas bersembunyi di bawah kasur. Mereka sedang menguarkan kebencian padaku, orang etnis tionghoa.

Jantungku berdegup kencang. Di mana adikku? Persetan dengan tante, aku bahkan tidak peduli di mana dia. Dia sudah menoreh banyak luka pada keluargaku dan hanya mengurus kami karena adanya warisan.

Suara rusuh itu terdengar meski seluruh pintu dan jendela rumahku tertutup. Bagaimana jika mereka kemari? Bagaimana jika mereka masuk ke dalam dan memporak-poranda rumah ini? Aku menahan napas seakan-akan itu akan membantuku membuat tubuhku menjadi transparan.

Suara tapak kaki dalam jumlah banyak terdengar semakin jelas; mereka pasti berada di luar pintu.

"Min!" Ada gedoran dari pintu belakang rumah; aku bisa mendengarnya dengan jelas karena memang kamar tempat aku bersembunyi tidak kedap suara. Yang memanggilku pasti Naswha.

"Min! Cepat kemari! Aku tahu tempat sembunyi!" Naswha menggedor pintu. "Cepat!"

Aku keluar dari tempat persembunyianku, lalu membuka pintu belakang rumah dan mendapati Naswha yang tengah memandangku dengan gelisah. Ia sontak menarik tanganku; aku berlari mengikutinya.

Naswha adalah tetanggaku. Lebih detailnya, dia adalah teman masa kecilku, dia adalah satu-satu teman dekat yang kupunya, satu-satunya orang menerima perbedaanku. Sayang sekali kami tidak satu sekolah.

"Meli tidak ada." Aku berkata dengan suara parau saat Nashwa menarik tanganku untuk berlari menjauhi rumahku.

Nashwa dengan tegas berkata, "Sembunyi dulu. Nanti kita cari dia."

Tales of Life (KUMCER)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang