Melepaskan

0 0 0
                                    

Katanya, setiap anak itu punya dua pasang sayap: yang sebelah kiri adalah ayahnya dan yang sebelah kanan adalah ibunya, tapi aku hanya punya satu: Ibu. Ayahku sudah meninggalkan kami berdua sejak aku masih berusia sepuluh tahun. Kenapa? Alasan yang klasik, Ayah menemukan seseorang yang baru, seseorang yang Ayah senangi, seseorang yang terlihat lebih baik dari Ibu. Kehadiranku tidak membuat Ayah terus bertahan, dia sudah pergi menuju rumah barunya, kehidupan baru tanpa aku dan Ibu.

Benakku masih mengingat jelas saat-saat Ibu yang berusaha mencegah Ayah untuk pergi. Ibu menitik air mata, aku juga menangis. Tentu saja, Ayah adalah sosok yang senantiasa menemaniku. Kami sering bermain bersama, memetik bunga dandelion, lantas meniupnya hingga putik putih mereka bertebaran di langit, menari-nari di atas udara.

Tetapi ... dia berbohong soal akan selalu menyayangiku. Dia berbohong soal dirinya yang akan terus bersama denganku. Ayah ... tidak menepati janjinya, tidak, dia memang tidak pernah berjanji, tapi bukannya itu memang tanggung jawab seorang ayah? Seharusnya dia terus bersamaku dan Ibu 'kan?

Semua kenangan lama bersama Ayah membuat lubang besar dalam hatiku, panah kesedihan menusuk dalam. Ayah meminta maaf, dia bilang dia tidak akan bisa bersama denganku. Bohong, dia bisa, dia yang tidak mau. Apa yang menarik dari seseorang itu sampai Ayah lebih memilihnya?

Usiaku waktu itu sepuluh tahun, tentu saja aku mengerti sedikit soal perceraian. Aku dulu mendengar kata itu saat Ayah dan Ibu bertengkar dan aku langsung mencari arti katanya dalam kamus. Perceraian artinya perpisahan, tercerai-berainya suatu hubungan, berpisahnya dua orang yang sudah bersatu.

Aku benci perpisahan, aku tidak suka dengan wanita yang telah merebut Ayah. Aku pernah bertemunya sekali, sekilas, dia mengandeng tangan Ayah seraya masuk ke ruang pengadilan, tempat di mana Ayah dan Ibu bercerai. Kulitnya yang putih mulus dan juga badan bak gitar spanyol mungkin saja membuat Ayah menyukainya, lebih menyukainya daripada Ibu.

"Bu, Ayah benar-benar pergi dari rumah?" Aku masih ingat pertanyaan yang pernah kulontarkan saat berada di ruang sidang, mataku sembab saat itu karena tengah menahan air mata di pelupuk. Ibu hanya menganggukkan kepalanya, bibirnya yang terlihat pucat tidak berkata apa-apa.

Usiaku sepuluh tahu, dan aku sudah kehilangan salah satu sayapku. Ibu selalu menepuk pelan punggungku saat aku menangis, mengatakan kalau aku harus sabar, bahwa semua ini mungkin adalah karma masa lalu. Kejadian ini menggerus hatiku, rasanya sakit, sesak.

Ibu selalu diam-diam menangis dalam kamar. Foto pernikahan mereka Ibu turunkan dari dinding, mungkin tidak ingin menambah luka. Aku membenci wanita itu, aku benci wanita yang sudah membuat aku dan Ibu harus berenang dalam lautan kesedihan.

Tetapi Ibu tidak sejalan denganku, Ibu tidak pernah menaruh dendam, Ibu tidak pernah melempar kata-kata buruk pada wanita itu, Ibu tidak pernah sekali pun menyuruhku membencinya dan aku malah dengan agresif melempar tatapan tidak suka pada wanita itu. Ibu bilang kalau itu adalah hal yang salah. Diriku yang dulu tentu saja tidak akan menerimanya. Perebut Ayah memang pantas menerima rasa benci dariku.

"Metta, kamu tahu arti namamu bukan?" Ibu menyisir pelan rambutku dulu, memberikan belaian hangat yang pastinya tidak dimiliki wanita yang Ayah pilih itu. Usiaku masih sepuluh tahun waktu itu, enam bulan setelah Ibu dan Ayah bercerai, dan kebencian itu masih belum hilang.

Aku menganggukkan kepala. Metta artinya penuh cinta kasih dan kasih sayang, Ibu sering memberitahuku, bagaimana mungkin aku bisa lupa. Ibu bilang dia ingin aku senantiasa dipenuh cinta kasih dalam hati, senantiasa memiliki hati yang dengan tulus menyebarkan kasih sayang. Namun, aku tidak bisa selalu begitu bukan?

"Kamu tidak seharusnya membenci Tante Anna atau pun ayahmu. Kamu tidak boleh memendam kebencian atau dendam dalam hati." Ibu berkata pelan sembari membelai rambut hitamku. "Kamu harus bisa melepaskan rasa benci itu, jangan biarkan segumpal kedengkian mengendap dalam hatimu, membutakanmu."

Karena aku anak yang baik, aku langsung menganggukkan kepalaku. Apa pun agar Ibu senang, apa pun agar Ibu terus menyayangiku. Sejak itu aku mencoba merelakan kepergian salah satu sayapku, berusaha membiarkan kebencian terhadap Tante Anna, mengingat ajaran Buddha untuk tidak membenci dan tentu saja nasihat dari Ibu.

Usiaku tiga belas tahun, dan aku berhasil merelakannya, membiarkan Ayah dan Tante Anna memiliki kehidupan baru tanpa harus digentayangi oleh rasa benci dalam hatiku. Iya, aku tidak lagi membenci mereka, tapi ....

"Bye, Metta, aku sudah dijemput papaku." Alyna beranjak dari duduknya, aku sedang menemaninya menunggu jemputan karena tidak punya kegiatan lain setelah pulang sekolah. Dan sekarang ayahnya sudah datang untuk menjemputnya. Aku menundukkan kepalaku sedikit seraya menyapa ayahnya lalu melambaikan tangan kepada Alyna.

Kedua mataku menatap lamat-lamat motor Vespa mereka yang membelah jalan sampai motornya hilang setelah belokan pada persimpangan. Bisakah aku melepaskan Ayah? Jawabannya: belum sepenuhnya. Ada secuil rasa iri pada sudut hatiku saat melihat kebersamaan Alyna dengan ayahnya. Mereka dekat, Alyna juga dekat dengan ibunya, Alyna punya sepasang sayap yang lengkap.

Aku menggelengkan kepalaku saat rasa benci itu mulai mampir lagi. Ini sudah tiga tahun sejak kejadian itu, aku harus melepaskan Ayah bersama Tante Anna, aku harus menghilangkan rasa benci ini, aku harus mengikhlaskan semuanya. Metta, kamu adalah anak yang baik, anak yang penuh cinta kasih, tidak seharusnya kamu mengendap rasa benci dan iri ini.

Lebih sulit melakukannya dibandingkan mengatakannya. Aku selalu tersenyum kecil saat Alyna bercerita soal kebersamaannya dengan ayahnya, ya, senyum pahit, senyum yang menyembunyikan segala rasa iri dan rasa 'ingin merasakan hal yang sama'. Aku ... iri pada sahabatku sendiri, semua memori lamaku bersama Ayah terus berputar saat aku melihat ayahnya.

Aku lebih sering mengendap rasa ini sendirian. Ibu kini sibuk bekerja meski masih punya waktu bersamaku. Aku tidak akan merepotkan Ibu dengan segala rasa iri dan benci ini, dan jika aku tidak bercerita, Ibu tidak akan tahu bukan? Ibu sudah lelah bekerja, akan menghabiskan banyak tenaga untuk menasihatiku lagi. Kadang aku memaki diriku sendiri saat rasa benci itu mulai muncul, aku ingin sekali menerima dengan ikhlas semua kenyataan ini .... Bisakah aku melepaskan rasa benci itu? Aku tidak tahu, aku bingung.

Saat ini sedang pelajaran olahraga terakhir untuk kelas delapan, benar-benar yang terakhir. Ujian semester akan dilaksanakan Minggu depan, tepat pada hari Senin. Mataku memandang lapangan yang disinari terik matahari, aku memutuskan untuk duduk di pinggir sejenak setelah bermain lompat tali, wajahku memerah, aku tidak terlalu tahan dengan cahaya matahari yang begitu menyengat.

"Metta, tidak mau ikut main lagi?" tanya Alyna sembari mengangkat lompat tali. Kami tadi berlomba: yang bisa melompat lebih banyak ialah pemenangnya, dan aku kalah. Alyna memang hebat dalam ketahanan fisik. "Tidak, capek." Aku menggelengkan kepala sebagai tanda penolakan.

Alyna duduk di sampingku, sahabatku satu-satunya menyenderkan kepalanya pada bahuku. Rasanya aneh, aku yang lelah, tapi dia yang bersandar padaku. Alyna mengembuskan napas panjang lalu menatapku. "Aku mau cerita."

Dia menjauhkan kepalanya, tidak lagi bersandar padaku. Alyna memeluk kedua kakinya sembari meletakkan dagunya di atas lutut. Raut wajahnya berubah, entah apa yang menjadi penyebabnya, gadis ceria ini tidak terlihat seperti biasanya. Aku menggengam bahunya. "Apa yang menganggumu?"

"Aku akan pindah sekolah nanti, yang lebih dekat dengan rumahku, bisnis papaku sedang tidak bagus, dia harus menjual motornya." Ucapan yang barusan Alyna lontarkan membuatku tersentak. Dia akan pindah sekolah? Alyna berdeham pelan lalu melanjutkan kalimatnya. "Maaf baru memberitahumu. Aku sudah diberitahu dari bulan lalu, papaku menemukan sekolah baru yang jauh lebih dekat dan murah. Aku ... minta maaf."

Hatiku tergerus, aku tidak pernah membayangkan hariku di sekolah tanpa Alyna. Aku memang bukan tipe orang yang bisa berbaur dengan siapa saja, sifat pendiam membuat semuanya enggan berbicara padaku, Alyna-lah satu-satunya yang mau mengajakku bicara bahkan menemaniku ke mana saja, dia adalah sosok ceria yang cocok untuk orang pendiam sepertiku. Dan sekarang ... kami tidak bisa bersama lagi.

Tanganku langsung bergerak untuk memeluknya, mulutku tertutup rapat, aku tidak tahu kata-kata apa yang harus kuucapkan. Perpisahan adalah pisau yang mengikis hati. Memori dan juga kenangan lamaku bersama Alyna berputar dalam benakku seperti film. Alyna yang selalu menemaniku ke kantin, Alyna dengan potongan rambut cepak khasnya, suara nyaring Alyna yang senantiasa menguasai ruangan. Bisakah aku melepaskannya? Tidak ada pilihan lain.

"Mari menghabiskan waktu terakhir bersama-sama." Aku berucap pelan, seperti berbisik pada telinga Alyna. Entahlah, rasanya ada yang menahan tenggorokanku untu berbicara, seperti perasaan lara yang tengah mendominasi hati.

Aku tidak menangis, Alyna sebaliknya, bulir bening jatuh dari pelupuknya, ada sesenggukan yang terdengar. Ibu bilang aku harus belajar melepaskan orang yang aku sayangi bila mereka sudah pergi, seperti Ayah. Lagipula, Alyna hanya pindah sekolah, hanya tidak satu sekolah lagi, kami masih punya kesempatan bertemu bukan? Meski kecil, tapi masih ada harapan bukan?

Ujian semester berlalu dengan cepat, aku dan Alyna menghabiskan waktu untuk belajar bersama, tapi belajar tidak membuat waktu berjalan lambat. Aku tidak bisa sering melihat senyum yang mengembangkan pipi Alyna lagi. Aku menatap lamat-lamat Alyna di hari terakhir, hari ujian terakhir, hari terakhir Alyna akan menginjakkan kaki pada sekolah ini, hari terakhir di mana kami masih bersama, hari terakhir sebelum Alyna pindah jauh.

Dia hanya pergi jauh, bukan menghilang, aku seharusnya tidak sedih bukan? Tetapi entah kenapa rasanya ada yang hendak tumpah dari pelupukku. Wajahku memerah, punya Alyna juga, aku terlalu lama menahan kesedihan. Kami memberikan pelukan terakhir, menitikkan air mata, lalu mengucapkan salam perpisahan, meyakinkan diri sendiri kalau kami akan bertemu ke depannya.

Kami tidak bertemu saat liburan, Alyna sudah pindah jauh dan aku tidak mungkin berjalan kaki ke tempatnya, begitu juga sebaliknya. Kami hanya bisa menuangkan rasa rindu lewat ponsel. Hanya itu yang bisa kami lakukan. Ada rasa yang janggal dalam hatiku dan aku tahu ini adalah perasaan sedih.

Ibu tentu saja mengetahui ini, aku benar-benar tidak bisa menyembunyikan kesedihanku di hari Alyna memberitahu kabarnya. Ibu memelukku kala itu lantas berkata, "Metta, lingkaran pertemanan itu akan terus berubah, semuanya akan berubah, tidak ada yang menetap selamanya." Aku tahu itu, aku sudah tahu akan ada perpisahan semacam ini, yang menjadi masalah adalah: bagaimana aku melepaskannya, bagaimana aku menghilangkan rasa kecewa dan sedih yang menempel erat dalam hati.

Ayah, aku bahkan belum benar-benar mengikhlaskannya. Dan perpisahanku dengan Alyna mengorek kenangan baru, membuat hatiku terasa pilu. Aku harus melepaskan seseorang untuk kedua kalinya. Tanganku mengepal erat, benakku memutar ulang kata-kata yang sering diucapkan Ibu. "Metta adalah anak yang kuat, Metta harus ikhlas dengan semua kesedihan yang mampir, dan juga Metta tidak boleh menanam rasa benci. Metta adalah anak yang baik bukan?"

***

Rasanya aku baru saja menutup mata sejenak dan kelas baru kini sudah berada di depanku. Suasana baru, kelas baru, dan kali ini tanpa Alyna yang menyapaku dengan heboh setiap pagi. Kelasku masih sama seperti setahun sebelumnya, masih teman sekelas yang sama, tidak ada perombakan kelas.

Rasanya sepi tanpa Alyna, tapi aku akan segera terbiasa. Ada beberapa guru dan juga murid baru, warna baru dalam hidup. Biasanya aku akan pergi ke kantin saat jam istirahat bersama Alyna, dan kini aku hanya duduk di mejaku seraya mengunyah sarapan dan juga menatap ke luar jendela kelas.

Usiaku empat belas tahun dan aku mulai suka berpidato. Rasanya agak aneh bukan? Metta yang dikenal pendiam mendadak menemukan kesenangan saat berpidato, aku juga tidak menyangka hal itu. Semuanya datang tiba-tiba saat kami mendapatkan tugas untuk berpidato di depan kelas. Saat aku berdiri di depan kelas, lantas mengungkapkan isi pidato yang kubuat, aku merasa seperti tengah melepaskan kegundahan.

Dari intonasi, aku mengungkap rasa yang tersimpan dalam kendi bernama hati. Dari mimik wajah, aku mengutarakan perasaan terpendam. Aku merasa ... bebas, entah kenapa. Aku senang, pada akhirnya aku tahu apa yang bisa membuat perasaan semacam itu melambung tinggi. Berpidato membuatku bisa mengungkapkan semua pemikiranku, opini yang selama ini terkunci rapat dalam mulutku. Aku, Metta yang pendiam, kini senang berada di depan kelas sembari berkial dengan mulut yang terus menumpahkan opini.

Alyna turut senang saat tahu aku baru saja memenangkan lomba berpidato tingkat kelurahan. Pidatoku saat itu adalah tentang kebersihan lingkungan, dan aku mendapatkan juara pertama. Ini pertama kalinya aku memegang piala yang merupakan milikku, dan piala itu menjadi piala pertama yang terpajang rapi di atas meja belajarku.

Setengah tahun sudah aku menginjak kelas sembilan, semakin banyak pula lomba yang aku ikuti, ya, meski tidak selalu menang. Aku tidak sependiam dulu lagi meski luka lama belum sepenuhnya kering. Aku mulai sering ikut dalam acara berpidato di sekolah. Ya, Ibu benar, melepaskan terasa lebih baik, aku seharusnya tidak perlu memikirkan soal Ayah lagi, lagipula aku sudah menemukan sayap baru--anggap saja hobi baruku ini yang akan menjadi pengganti sayap satunya.

"Selamat, Metta, kamu memang membanggakan," ujar Pak Susanto lewat mikrofon sekolah saat upacara sekolah tadi. Piala kemenanganku minggu lalu dibagikan pada Senin pagi, diiringi tepuk tangan dari semua siswa yang menapakkan kaki di lapangan. Ibu pasti bangga padaku. Aku senang, aku bisa menjadi anak yang baik, aku selalu mendengarkan kata-kata ibu, termasuk melupakan kebencianku terhadap Tante Anna.

Aku tersenyum saat memasuki kelas, siapa yang tidak senang saat menerima piala yang didapatkan melalui hasil kerja keras. Ini piala ketigaku, aku tidak sabar untuk menunjukkannya pada Ibu saat Ibu pulang dari kantor nanti. Teman-teman sekelasku mendatangi tempat dudukku dan kembali mengucapkan semangatku, menggodaku dengan embel-embel 'Metta pendiam', ya, aku sudah berubah, aku tidak sependiam dulu lagi. Kesenangan mengisi jiwaku; kalau diibaratkan gelas, mungkin airnya sudah tumpah saking senangnya.

Lima menit kemudian, ada seorang guru BK--sayangnya dia guru baru, jadi aku tidak mengingat namanya--yang mendatangi kelasku. Wajahnya tidak terlihat senang, dia menatapku dengan raut wajah panik. Ada apa? Guru berambut hitam legam itu menatapku. "Ikut Miss sejenak." Aku berjalan cepat mengikutinya ke luar kelas. Guru BK itu berhenti di depan kelas lalu membisikkan sepotong kalimat yang membuatku tersentak.

"Ibumu sedang ada di rumah sakit," ujarnya dengan pelan. Aku langsung izin dari sekolah dan pergi ke rumah sakit tempat Ibu dirawat. Sepanjang perjalanan (aku menggunakan ojek online), aku terus berdoa kepada Sang Bhagava untuk keselamatan Ibu, air mata tak kuasa aku tahan saking takutnya. Kedua kakiku gemetaran, seluruh tubuhku juga, batinku tidak pernah sekacau ini, baru pertama kali aku merasakan rasa takut separah ini.

Terlambat, dia sudah tidak ada saat aku tiba. Aku hanya bisa melihat Ibu yang terkulai bisu di atas kasur. Kulitnya yang memutih, bibirnya yang pucat, dan hidung yang sudah tidak menghirup atau mengeluarkan napas, emosiku luluh lantah. Aku berteriak histeris, tidak ingin pergi dari ruangan. Tante Yunna, adik dari Ibu sudah membujukku sedari tadi, tapi sia-sia, aku tidak mau pergi.

Aku memang sudah besar, tapi entah kenapa aku masih berharap bahwa Ibu akan bangun, aku mendadak seperti anak kecil yang menangis karena tidak diberi permen. Aku tidak bisa berkata apa-apa selain menangis sekencang-kencangnya. Tanganku memeluk Ibu, sesekali mengguncangnya. Sang Bhagava, tolonglah berikan aku kebajikan, kalimat itu selalu aku ulang dalam hati.

"Ibu, aku bawa piala ketigaku, Ibu bilang mau memfotoku lantas memajangnya di bingkai ruang tamu." Bodoh, kenapa aku masih berharap sampai sekarang? Air mataku tidak mau berhenti mengalir, dadaku terasa sesak, tenagaku habis untuk menumpahkan kesedihan ini. Hancur, semuanya hancur. Kebahagiaanku tadi langsung menguap di kamar rumah sakit yang dikuasai bau obat-obatan. Pandanganku semakin memburam lantaran air mata yang menggenang di pelupuk.

Di saat aku mulai bisa melepaskan kenangan lama, ada ombak lain yang menerpa; aku kehilangan seseorang lagi, sayap kananku, Ibu. Wanita yang kuanggap sebagai cahaya kehidupan kini telah padam, dia ... pergi tanpa mengucapkan salam perpisahan atau pun memberikan kecupan terakhir padaku, dia pergi tanpa aba-aba. Ibu tidak lagi berdiri di sisiku. Aku kehabisan tenaga untuk menentang realita, aku terduduk di atas lantai dengan rambut yang acak-acakan, mata yang bengkak dan memerah, mungkin sudah lebih dari setengah jam aku menangis.

Tidak ada keajaiban yang terjadi, tidak ada sama sekali. Aku menggengam erat tangan Tante Yunna saat menyaksikan kremasi Ibu, aku tidak bisa menahan tangisku, siapa juga yang mampu mengunci rasa kesedihan yang membeludak ini. Ayah juga hadir, ah, sosok itu ..., sudah empat tahun aku tidak melihatnya. Dia sempat menawarkanku untuk pindah bersamanya. Jawabanku? Tentu saja tidak, aku tidak ingin menumbuhkan antipati dalam jiwa lagi.

Aku tinggal bersama Tante Yunna dan juga suaminya, Paman Hery; rumah Ibu dibiarkan kosong, mungkin akan dijual. Minggu pertama, aku tidak punya secuil selera pun untuk makan, aku izin dari sekolah selama tiga hari untuk menenangkan diri; ada beberapa yang datang menjenguk, menyemangatiku. Tidak, aku tidak merasa lebih baik, ada lubang kosong yang terpatri dalam hati. Dan kurasa tidak akan ada yang mengerti diriku, Alyna punya orang tua lengkap, sedangkan aku .... Kadang rasanya ingin menertawakan kemalangan diriku, menyedihkan bukan?

Aku kembali bersekolah. Rasanya sangat sulit berkonsentrasi, aku terus berharap bahwa ini halusinasi. Nyatanya ini adalah realita, kebenaran bahwa Ibu sudah pergi dan tidak bisa kembali. Kadang aku berpikir kalau penyebab Ibu sakit adalah aku, tapi Tante Yunna tidak membenarkan pernyataanku. Aku ... entahlah, rasanya kosong, tidak punya cahaya yang akan membimbingku menjalani kehidupan. Aku tidak punya sayap lagi. Dan aku tidak bisa terbang lagi untuk menggapai kebahagiaan. Tatapan mataku menjadi datar, bahkan aku tidak peduli lagi dengan kebakaran salah satu gedung pusat perbelanjaan yang sempat menggemparkan kotaku. Hanya karena kesedihan ini, aku tidak punya keinginan untuk peduli terhadap hal lain.

Lomba pidato tingkat kota sisa dua Minggu, jangankan berlatih, menyiapkan teksnya saja belum. Kalau kemarin aku tidak menang lomba pidato tingkat kecamatan, mungkin aku tidak setertekan ini menulis isi pidatonya untuk lomba tingkat kota nanti. Temanya sulit, aku tidak mungkin menulis dengan tema 'Senyum Adalah Berkah' di situasi hati yang tidak baik. Bagaimana aku menjelaskan topik soal 'tersenyum' di saat aku sendiri tidak sanggup mengangkat sudut bibirku? Aku benci perpisahan, sangat tidak menyukainya, aku tidak bisa melepaskan Ibu ....

Aku berhasil menulisnya dengan terpaksa. Hasilnya ... aku tidak tahu seberapa hancur pidatoku kali ini, tidak ada isi hati yang kutumpahkan, tidak ada niat untuk menuangkan opini dalam bentuk tulisan. Miss Tiara mengingatkanku untuk lebih ekspresif saat membacanya, tapi rasanya sulit. Aku hanya bisa menatap kosong teman sekelas, berbicara dengan nada yang monoton dan juga tangan yang hanya diam di tempat--tidak mengialkan isi pidato.

***

Bus sekolah membelah jalanan menuju gedung perlombaan, kedua tanganku dingin, gugup karena aku tidak berlatih maksimal untuk lomba ini. Kulihat siswa lain yang satu kendaraan denganku tengah berlatih dengan suara pelan, mereka terlihat serius. Aku tentu tidak tahu isi pidato mereka, otakku tidak menyimak mereka, melainkan kembali memikirkan Ibu. Aku mengepalkan tanganku dengan erat sampai buku jariku memutih, rasanya ingin menangis, tapi tidak mungkin aku menjatuhkan air mata di depan banyak orang bukan?

Rombongan sekolah kami di gedung perlombaan. Kami berjalan turun dan langsung menuju suatu aula yang sudah disediakan. Ada banyak kursi yang dijajarkan tepat di depan panggung merah; dibagi menjadi dua bagian di kiri dan kanan. Jumlah rombongan sekolah kami ada sekitar sepuluh orang, mungkin. Kami duduk berdampingan dengan rombongan, lebih tepatnya aku duduk tepat di samping murid yang mengenakan seragam yang berbeda, sepertinya sekolah internasional; mereka mengenakan rok merah dengan motif kotak-kotak, ada yang memakai rok warna cokelat yang dikombinasikan dengan atasan cokelat juga.

Aku memperhatikan keadaan sekitar sejenak, lantas kembali menundukkan kepala, mulai mengenang hal yang sama terus menerus. Aku memegang kertasku hingga lecak tatkala teringat dengan senyum Ibu. Metta, kamu tidak seharusnya mengingat kenangan yang indah itu, kamu harus melepaskan semuanya, kamu harus bisa mengikhlaskan hal yang sudah pergi, bukankah itu yang selalu Ibu ingatkan?

Suara MC yang dibesarkan mikrofon membuatku tersentak, jiwaku kembali ke realita. Aku menengadahkan kepalaku, menatap lelaki berperawakan tinggi itu berjalan di atas panggung merah seraya mengucapkan kata sambutan dan juga ucapan terima kasih kepada sponsor acara. Aku baru sadar, di depan panggung diletakkan meja panjang yang dipenuhi piala-piala. Entahlah, aku tidak punya keinginan besar untuk memenangkannya kali ini.

Lomba dimulai dari tingkat SMP lalu berlanjut ke tingkat SMA. Aku memandang lamar-lamat kertas kecil yang bertuliskan nomor '017', tidak terlalu awal dan juga tidak terlalu belakang. Aku mengembuskan napas berat, berharap kalau semua rasa sakitku juga ikut keluar bersama dengan karbon dioksida. Atensiku tidak direbut oleh peserta lain yang tengah berpidato di depan, aku terus menunduk, menatap kertas pidato lagi tanpa menaruh kefokusan saat membacanya.

Ada gumaman dari sebelah kanan, suara gadis yang lembut, sepertinya dia berlatih. Mataku mengerling; di atas roknya diletakkan kertas kecil yang berisi tiga digit angka: 019, ternyata kami hanya beda dua nomor. Aku tidak tahu apa yang tengah ia gumamkan, mungkin isi pidatonya, tapi ekspresinya benar-benar ... ceria. Seandainya aku ada di posisi gadis berambut keriting panjang itu .... Seandainya aku bisa tersenyum sepertinya.

Giliranku tiba. Aku menginjakkan kakiku di atas panggung merah. Ada banyak pandangan yang menyorotiku, mataku menatap mikrofon, aku mulai memperkenalkan diri dan membacakan pidatoku dengan intonasi yang datar. Aku yakin sekolah akan kecewa terhadapku, aku sekilas melihat tatapan Miss Tiara yang menampilkan wajah berawai.

Pidato selesai aku bacakan, ada tepukan tangan pelan yang sayup-sayup terdengar. Aku duduk kembali di kursiku, menatap kedua tanganku yang dingin sedaritadi, lantas menutup wajahku; menumpahkan air mata di dalam sana. Aku sudah mengecewakan sekolah, aku sudah mengecewakan Ibu--aku tidak bisa memenuhi nasihatnya untuk melepaskan yang telah pergi. Wajahku sepertinya memerah, aku terus menutupnya dengan kedua telapak tangan sampai akhirnya suara gadis berambut keriting itu merebut atensiku.

Aku melihatnya tersenyum di atas panggung, melpntarkan kata-kata seraya menitik air mata. Mataku yang masih sembab memandangnya berkial di atas panggung. Gadis Berambut Keriting--sementara aku akan memanggilnya begitu--berpidato dengan bagus--bukan, sangat bagus, aku bisa merasakan pesan yang dia sampaikan meski tentu saja tidak bisa ikut tersenyum.

"Karena tidak ada yang lebih indah dari senyum dengan tulus dari lubuk hati terdalam." Itulah kalimat yang terakhir Gadis Berambut Keriting lontarkan sebelum ia dibanjiri oleh tepuk tangan dari satu ruangan. Aku tidak ikut bertepuk tangan, hanya berdecak kagum dalam hati. Gadis itu seperti benar-benar menjiwai isi pidatonya.

"Sudah merasa baikan?" Aku tersentak saat sadar bahwa dia sedang berbicara padaku. Aku terdiam, tidak tahu harus mengatakan apa. Dia kembali duduk di tempatnya lantas mengembuskan napas berat. "Maaf kalau kamu mengalami hari yang buruk."

"Kamu tidak perlu meminta maaf." Aku membalasnya dengan pelan tanpa berkontak mata dengannya, masih setia menatap lantai pualam ruangan. Menyadari gadis itu masih menatapku, aku memberanikan diri untuk bertanya, "Ada apa?"

"Kamu bisa bercerita kalau kamu mau, ya, supaya lebih tenang." Gadis Berambut Keriting menyunggingkan senyuman. "Oh iya, namaku Rehana, salam kenal." Gadis bernama Rehana itu menjulurkan tangannya. Aku memandangnya sepersekian detik lalu menyalaminya. "Metta."

"Apa yang menganggumu?" Pertanyaan itu dilontarkan lagi oleh Rehana. Aku terdiam beberapa saat, rasanya ingin menceritakannya untuk membuat beban dalam hati terkikis meski sedikit, tapi aku rasa Rehana tidak akan mengerti. Wajahnya yang ceria dan tersenyum tanpa beban membuatku ragu kalau dia bisa menempatkan dirinya dalam sepatuku. Entahlah, rasanya ingin menangis lagi, aku memang lemah.

"Kalau kamu tidak mau—" Kalimat yang hendak keluar dari mulut Rehana kupotong tiba-tiba. "Aku kehilangan seseorang, seseorang yang kusayangi." Aku mengepalkan kedua tahan, berusaha menahan air mata yang masih tertampung di pelupuk. Rehana memudarkan senyuman, ia langsung mengenggam tanganku. Ini terlalu tiba-tiba, aku tersentak sejenak.

"Pasti berat, ya." Rehana berujar pelan, tidak menatap mataku. Alisnya bertaut, wajahnya menyampaikan kesenduan, tapi dia kembali tersenyum lagi. "Kamu pasti bisa merelakannya meski sulit."

"Tidak bisa," balasku. "Aku ... tidak bisa."

"Aku yakin kamu—" Belum selesai Rehana berbicara, aku kembali memotongnya lagi karena emosiku yang mulai bergejolak. "Kamu tidak mengerti." Aku menjauhkan tanganku darinya. "Aku baru kehilangan Ibuku, kamu tidak mengerti rasa sakitnya."

"Aku mengerti," tutur Rehana. Aku tidak tahu ekspresi wajahnya saat ini, netraku masih setia memandangi lantai pualam. Rehana melanjutkan kalimatnya. "Aku juga pernah berada di 'sepatu'-mu."

Aku mengernyitkan dahi, pernah berada di 'sepatu'-ku? Dia pernah berada di situasiku? Tidak ingin kebingungan mengisi hatiku, aku menengoknya, langsung bertanya maksud dari kalimat Rehana tadi. "Maksudmu?"

"Aku juga kehilangan orang yang aku sayangi, baru saja." Rehana melontarkan kalimat itu seraya tersenyum, tapi aku bisa melihat matanya berair. "Tentu saja aku mengerti."

Rasa bersalah langsung mengetuk hatiku. Apa yang barusan kukatakan padanya? Dia juga merasa kehilangan katanya tadi, tapi kenapa dia masih terlihat baik-baik saja, dan malahan banyak tersenyum?

"Kautahu kebakaran di gedung pusat perbelanjaan beberapa minggu lalu? Orang tuaku tidak ada lagi karena peristiwa itu." Rehana mengucapkan kalimat itu lalu mengembuskan napas berat.

"Aku minta maaf ...." Kata-kata itu lolos dari bibirku. Aku jadi merasa bersalah karena sudah menghakiminya sebelum dia berbicara. Emosiku yang tidak stabil membuatku langsung berpikir seenaknya soal orang yang baru aku kenal beberapa menit lalu. Kebakaran itu, aku tidak pernah memikirkan soal korbannya, tidak menyangka bahwa orangtua Rehana adalah salah satunya.

"Tidak apa-apa." Rehana menatap sejenak peserta yang masih berpidato di depan. "Kamu punya teman seperjuangan bukan? Aku juga pernah berada di posisimu. Kita akan berjuang bersama. Yuk, Metta."

"Kamu begitu kuat, ya." Tatapan kami bersirobok. Aku memandangnya dengan penuh kekaguman. Di situasi semacam ini dia masih bisa menampilkan senyuman, sedangkan aku sudah menangis seperti anak kecil. "Kamu masih bisa tersenyum."

Rehana menepuk bahuku. "Aku sudah mengikhlaskan kepergian mereka. Mereka akan lebih bahagia di atas bila melihatku tersenyum ikhlas." Aku termenung, apakah Ibu bahagia di atas sana bila melihatku masih menangis seperti ini? Aku egois; membiarkan rasa sedih ini menghancurkan diriku tanpa berpikir bagaimana perasaan Ibu saat ini di atas sana.

"Kamu tidak perlu memaksakan diri." Rehana menyelipkan anak rambut keritingnya ke belakang telinganya lalu mendaratkan tangannya tepat di atas tanganku. "Semua orang punya waktu masing-masing, dan waktu juga menyembuhkan segala hal." Aku terdiam, tidak membalas kalimat Rehana. Rehana melanjutkan kalimatnya tadi. "Mengikhlaskan memang tidak mudah, tapi kamu bisa, aku yakin. Kita bisa menguatkan satu sama lain bukan?"

Aku menatap manik hitamnya lamat-lamat. Hatiku masih meninggalkan luka, tapi kalimatnya baru saja menyembuhkan sebagian kecil goresan. Aku harus mencoba melepaskan Ibu, seperti aku yang bisa melepaskan Ayah, seperti aku yang bisa melepaskan kepergian Alyna. Metta adalah anak yang kuat, begitulah kata Ibu. Aku seharusnya tidak membuat Ibu kecewa ketika pujiannya selama ini tidak benar, bahwa aku tidak sekuat itu.

"Kamu ... pasti bisa," ucap Rehana. "Tidak ada yang kekal di dunia ini." Aku terhenyak, teringat dengan ucapan Sang Bhagava, bagaimana aku bisa lupa akan hal ini? Bukan, aku bukan lupa, aku hanya tidak menerimanya. Aku ... sudah mengecewakan dua orang, aku seharusnya tidak terus menenggelamkan diriku dalam kesedihan. Rehana telah mengulurkan tangannya untuk menolongku. Pilihanku dua: tetap berada dalam kesedihan atau berusaha melepaskannya.

Melepaskan, ya .... Seperti yang diajarkan Ibu saat aku harus membiarkan Ayah pergi bersama Tante Anna, seperti yang sering kudengar dari kisah Sang Bhagava, seperti yang dikatakan gadis berambut keriting yang duduk tepat di sebelah kananku. Hidup ini tentang melepaskan, ya.

Usiaku saat ini masih empat belas tahun dan untuk pertama kalinya aku bertemu dengan orang yang merasakan rasa sakit yang sama sepertiku. Aku tidak tahu orang asing yang baru kukenal beberapa menit yang lalu mampu membuatku merasa lebih baik. Rehana dan senyumannya membuatku merasa bahwa aku harus bisa sekuat dirinya, sehebat dirinya.

"Iya, aku pasti bisa mengikhlaskan ibuku." Sudut bibirku terangkat meski hanya sedikit.

Fin

Tales of Life (KUMCER)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang