Aku tidak ingin hidup.
Hidupku sudah tidak ada artinya lagi.
Hambar, tidak ada rasa, tidak ada kesan yang akan ditinggalkan jika aku hilang.
Semua orang juga tidak peduli dengan kehadiranku, tidak ada yang akan meratapi kematianku.
Suara lalu lalang dari kendaraan kerap terdengar seakan-akan sedang mendukungku untuk melompat dari jembatan. Air di bawah menari-nari seakan sedang mengajakku untuk jatuh ke pelukannya.
Indah, hal ini terasa begitu indah jika tahu kalau aku sudah berada di akhir, di penghujung hidup.
Sekujur tubuhku bergetar kencang saat aku mulai mengangkat salah satu kakiku.
Keraguan apa yang telah menusuk hatiku?
Bukannya tadi aku begitu mendambakan kematian?
Merasa sedang ada yang mendekat, aku langsung menoleh ke sumber suara.
Gadis dengan rambutnya yang seputih salju berjalan mendekatiku, matanya--yang berwarna biru laut--redup seperti tidak ada jiwa yang menempatinya.
Dengan tenang dia berjaln semakin mendekat padaku, lalu gadis itu berhenti tepat 50 sentimeter dari area yang kupijak. Tangan gadis itu diletakkan di atas tiang piggiran jembatan dan matanya mulai menyoroti langit.
Sial, aku jadi tidak bisa melompat jika ada orang di sampingku, apalagi dia seorang gadis, bisa-bisa dia berteriak histeris saat melihat laki-laki yang tadinya berdiri di sampingnya melompat.
Kurasa aku akan menunggu dia pergi sembari memantapkan niatku.
"Aku tahu betul apa yang sedang ingin kamu lakukan," ucap gadis itu tiba-tiba yang membuatku sedikit terkejut.
"Apa?" Rasa jengkel menimpaku, siapa gadis sok tahu ini?
Dia mengarahkan pandangannya padaku. "Aku melihat kamu mengangkat salah satu kakimu dengan ragu-ragu."
Tatapan meremehkan ia lontarkan padaku. "Kamu takut untuk mati?"
"Siapa kamu?" Dengan nada kesal, aku menanyakan hal itu. Rasanya gadis ini terlalu terang-terangan membahas hal ini pada orang yang sama sekali tidak ia kenal.
"Tidak penting siapa aku," balasnya yang membuat merasa sedikit kelas namun perasaan itu langsung tenggelam saat gadis itu melanjutkan kalimatnya. "Yang harus kamu tahu bahwa kita adalah sama."
"Maksudmu?" Perasaan jengkel itu tergantiikan oleh kebingungan. Apa maksudnya bahwa aku dan dia itu adalah sama?
Gender kami saja sudah berbeda.
Dia membuang muka, matanya kembali menatap air laut. "Kamu merasa tidak diinginkan, betul?"
Tidak ingin ada yang tahu tentang keputusanku, aku langsung menyangkal ucapannya. "Sok tahu, memang cewek selalu sok mengerti padahal tidak."
Gadis itu menaikkan kedua alisnya, Ia lalu melepaskan hoodie biru yang sedang ia kenakan.
Luka, lebam, bekas sayatan, semuanya terukir jelas di lengannya yang tidak tertutupi pakaian karena memakai pakaian sleeveless.
Mata gadis itu menunjuk lukanya, menyuruhku untuk melihat itu semua. "Tidak yakin kalau alasan kita sama?"
Melihat luka-luka yang terlukis pada kulitnya membuatku merasa sedang melihat diriku.
Di balik hoodie hitam yang tengah kukenakan, ada puluhan luka bekas siksaan orang tuaku.
Dan juga bekas goresan yang kucipta sendiri demi mengurangi rasa perih di hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tales of Life (KUMCER)
RandomCerita? Ya, aku akan bercerita padamu. Dahulu kala, ada seorang gadis yang sulit tidur setiap malam, kelopak matanya tidak bisa terbenam meski sudah dipaksakan. Lalu dia memutuskan untuk menulis buku ajaib, buku yang bisa membuatnya tertidur setelah...