TUJUH

6K 399 66
                                    

Update lagi🥳🥳🥳

Jam berapa kalian baca cerita ini?

Untuk cerita Axel, udah fix tetep lanjut di wattpad ya... Lupain aja kelabilanku kemarin😁😁✌️

Tandai jika ada typo ya?🤗

Happy Reading

Aisha hanya terpejam, membiarkan Erick melakukannya. Ia bingung, bagaimana cara membalasnya. Ciuman intens ini sedikit terasa asing—seakan sudah sangat lama Aisha tidak melakukannya. Ah, atau mungkin hanya perasaanya saja?

Mata Aisha terbuka kala merasa Erick berhenti. Aisha kira Erick akan menyudahinya, tetapi kenapa Erick masih berada diatas tubuhnya yang kini dalam posisi setengah berbaring—kilat gairah masih kental dalam mata Erick.

"Ai, balas aku okay?" pinta Erick serak.

"Ta—tapi aku gak tahu gimana caranya," lirih Aisha malu, enggan menatap Erick.

Erick menggeram, respons Aisha malah makin meninggikan gairahnya. "Kamu cukup ikuti apa yang aku lakukan, okay?"

Anggukan pelan Aisha menjadi awal Erick menipiskan jarak diantara mereka, kembali mencium Aisha dengan lembut.

Aisha kembali menutup matanya, dengan nalurinya—pelan tapi pasti, Aisha mulai membalas ciuman Erick meski terkesan amatiran. Well, cukup bagus seperti kata Erick. "Sekarang, buka mulut kamu!" sedetik setelah Erick berkata, Erick langsung menggigit bibir bawah Aisha membuat satu erangan lolos dari bibir Aisha.

Aisha mengutuk dirinya yang kelepasan—rasanya malu sekali, pasti Erick akan menganggap dirinya—oh tidak, sekelebat bayangan itu tiba-tiba masuk dalam ingatan Aisha bertepatan dengan Erick yang mulai menyentuh dadanya.

"Jangan! Jangan sentuh saya!" teriak Aisha histeris, mendorong Erick keras—tak peduli dengan tangan yang masih di gips. "Pergi! Saya bilang pergi! Pergi atau saya teriak!" Aisha berteriak histeris, membuang semua benda yang dapat ia jangkau—selimut, bantal, jas dan yang lainnya

Erick mencoba menenangkan Aisha yang tak terkendali, sebenarnya ada apa? Kenapa Aisha bisa tiba-tiba histeris begini?

"Tenang Ai, tenang! Ini aku sayang, Erick" ucap Erick yang berusaha memeluk Aisha agar tidak lagi mengamuk dan menyakiti dirinya sendiri. Lihatlah, darah mengucur deras akibat infusnya lepas. 

Bukannya tenang, Aisha makin mengamuk. "Lepasin saya! Lepasin!" teriak Aisha kencang, Aisha terus mendorong dan memukul Erick agar menjauh darinya.

"Tolong, siapapun yang dengar, tolongin saya!" suara Aisha terdengar serak karena berteriak dan menangis. Raut ketakutan tampak jelas di wajah Aisha, belum lagi badannya yang gemetar—menatap Erick seperti penjahat.

"Ai, kamu kenapa sih? Ini aku, jangan takut okay?" ucap Erick meremas rambutnya frustasi, ingin rasanya Erick mendekat, merengkuh, dan menenangkan Aisha. Tetapi mengingat reaksi Aisha yang akan berteriak dan mengamuk, membuat Erick tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak, Erick tidak takut! Dia hanya tidak ingin Aisha bertambah histeris dan menyakiti dirinya sendiri.

"Pergi, hiks.. pergi! Tolong, lepasin saya," pinta Aisha pelan—tidak lagi berteriak. Mungkin tenaganya habis, karena setelah itu Aisha jatuh pingsan—jatuh ke lantai.

"Aisha!" teriak Erick panik bertepatan dengan Wildan yang membuka pintu—membawa beberapa kantung belanjaan.

Mata Wildan mengedar seluruh ruangan dengan syok. Berantakan, satu kata itu yang dapat menggambarkan kondisi ruang rawat Aisha. Barang-barang berserakan di lantai, tiang infus jatuh, kursi terbalik, dan Aisha yang berada di lantai. Wait, lantai?

"Wildan bego! Ngapain Lo cuma berdiri disitu, cepat panggilan dokter!" geram Erick membuat Wildan langsung terbirit-birit memanggil dokter.

"Ai, apa yang sebenarnya terjadi sama kamu sih? Kenapa kamu bisa sampai kayak gini?" batin Erick bertanya-tanya, tatapan khawatir sangat terpancar jelas di kedua bola mata Erick.

Wildan datang diikuti dokter dan suster Wina. Erick sedikit menjauh, membiarkan dokter memeriksa Aisha. 

"Jadi, bagaimana kondisi Aisha? Apa yang sebenarnya terjadi dok? Kenapa dia tiba-tiba histeris seperti itu?" tanya Erick tanpa jeda—Wildan sampai menepuk pundak Erick agar sabar.

"Sejauh ini kondisi pasien cukup stabil, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Untuk masalah histeris, yang sangat mungkin menjadi penyebab adalah pasien memiliki trauma yang mendalam akan sesuatu. Apakah anda tahu pasien memiliki trauma terhadap sesuatu mungkin?"

"Gak dok, setahu saya Aisha tidak memiliki trauma terhadap apapun," jawab Erick ragu. Mana Erick tahu Aisha memiliki trauma atau tidak, dia saja baru bertemu Aisha tadi siang—setelah enam tahun tidak bertemu.

"Begini saja, sebelum pasien histeris hal apa yang sudah terjadi sama pasien yang kemungkinan memicu traumanya." Pertanyaan dokter membuat Erick terdiam, memikirkan kejadian beberapa saat lalu.

Erick datang, mereka bercerita, lamaran dadakannya, lalu kissing. Ah, apa mungkin itu penyebabnya? Tapi tadi, Aisha baik-baik saja-bahkan membalasnya, kecuali saat Erick memegang—

Oh No! Erick kelepasan--tanpa sadar Erick sudah mengatakannya yang membuat Wildan, Dokter, dan Suster Wina spontan terbatuk—akibat ucapan frontal Erick. Erick sendiri bersikap cuek—seolah itu adalah hal biasa. 

Sang dokter berdehem, sebelum berkata. "Saya yakin itu pemicu traumanya. Pasien mungkin mengalami hubungan yang kasar atau mengalami pelecehan sampai menyebabkan trauma."

Penjelasan dokter membuat rahang Erick mengetat. Apa katanya? Pelecehan? Tetapi semua masuk akal, kala Aisha tadi histeris terus menyebutkan kata pergi, lepasin, dan... jangan sentuh aku!

"Wil, Lo cari informasi sedetail-detailnya tentang kehidupan Aisha di kota XXX, gue mau tahu apa yang sebenarnya terjadi sama Aisha selama ini," seru Erick setelah dokter pergi—tidak dengan suster Wina yang masih disana.

"Oke gue bakal ca--"

"Saya jadi curiga, kalau Mas ini sebenarnya cuma ngaku-ngaku kenal sama Wulan. Mas ini orang jahat kan?" tanya Wina bersamaan dengan jawaban Wildan.

"Kamu itu gak tahu apa-apa, jadi jangan ikut campur urusan yang bukan milik kamu,"

"Urusan Wulan menjadi urusan saya juga, bagaimanapun Wulan sudah saya anggap adik sendiri," sahut Wulan.

"Kamu benar, saya memang gak kenal," jeda Erick. "Gak kenal dengan yang namanya Wulan, karena yang saya kenal bernama Aisha Ayu Safira," lanjut Erick sarkasme, membuat Wina mati kutu. Pergi adalah cara yang terbaik.

🔥🔥🔥

"Kapan Lo mau bayar utang Lo hah?" sentak penagih galak, mirip ibu-ibu kos.

"Gue belum ada duit Bang, kasih gue waktu lagi Bang, gue janji—"

Sang penagih menyela. "Alah, alasan! Bukannya Lo sekarang udah kaya raya, masa bayar utang dua juta aja gak mampu!"

Kenzo yang ditagih mengerenyit. Siapa yang kaya raya? Dirinya? Kenzo ingin tertawa, sepertinya orang ini rabun. Dari pakaiannya saja, bisa dilihat Kenzo orang tak punya. 

"Bang, gue—"

Lagi, Abang ini menyela. "Gue lihat Lo ada di TV, pakai jas kayak orang-orang kantor. Sekarang, kenapa Lo pake baju compang-camping gini? Lo mau coba ngibulin gue?"

"Ada di TV? Kantoran? Sejak kapan? Fix, orang ini rabun. Ya kali gue ada di TV, emangnya gue Ken—, wait... bukannya ini bisa dimanfaatkan?" ujar batin Kenzo jahat.

Ah, sepertinya Kenzo lupa, bukannya dari dulu dia sering memanfaatkan adiknya?

Waduh, Aisha trauma gara-gara apa yah? Coba tebak!🤔

Kenzo muncul lagi, pada kangen apa gak? Sapaan buat Kenzo apa nih?

SPAM KOMEN YANG BANYAK YA? BIAR AKU CEPET UPDATE🤗

SPAM NEXT DISINI😁

See you😘😘😘

Married With Mr DominantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang