Kabut Berarak #1

58.9K 2.5K 29
                                    

Tak sengaja Yana menabrak tubuh seseorang saking asyiknya memperhatikan pakaian yang dipajang di etalase sebuah outfit.

"Oh, maaf!"

"Nggak apa-apa, saya harusnya cepat menghindar tadi." jawab cewek itu.

"Tara?!"

Yana memperhatikan, benar dialah Tara, teman kuliah yang tiba-tiba saja keluar padahal beberapa semester lagi ia bisa meraih gelar sarjana Arsitekturnya. Yana dan teman-temannya bingung. Tara salah satu mahasiswa yang berprestasi, itulah sebabnya saat mereka tahu jika Tara sudah tidak melanjutkan kuliahnya lagi, mereka sangat menyayangkannya karena mereka tidak tahu apa penyebabnya. Mereka berusaha mencari tahu tetapi selalu gagal. Tara seolah-olah hilang ditelan bumi.

"Maaf, saya bukan Tara. Mungkin saya hanya mirip dengan teman anda itu."

"Maaf ya."

Cewek itu kemudian bergegas beranjak menjauh. Memang ia tidak seperti Tara yang dikenalnya. Yang ini kurus dan pucat. Tetapi wajahnya persis Tara, rasanya ia tidak salah. Tara mempercepat langkahnya. Yana maaf, aku memang Tara, ucapnya lirih. Tara menuju ke pantai dan memilih duduk di atas tanggul yang sedikit tertutup oleh rerimbunan pohon kelapa. Dikeluarkannya sebatang rokok dari kantung hoodie yang dikenakannya, lalu dihisapnya dalam-dalam. Inilah satu-satunya yang dapat menghilangkan kerisauan hatinya. Setelah habis, puntung rokok dilemparkannya ke laut bebas dan seketika tersapu ombak. Tara mengalihkan pandangannya ke anak-anak nelayan yang sedang berenang. Betapa riangnya mereka,walau hidup dalam kesederhanaan. Sementara aku, harus mengubur impian-impianku. Kalau boleh protes, ia ingin Tuhan mengembalikan kedua orang tuanya yang meninggal karena kecelakaan lalu lintas. Tara menarik napas lalu menghembuskannya dengan kuat. Tidak ada lagi yang tersisa. Semua peninggalan orang tuanya satu persatu habis digerogoti oleh kakaknya beserta istri-istri mereka yang kemaruk harta. Bahkan sebentar lagi, rumah tempat satu-satunya ia berteduh bakal dirampas juga oleh mereka.

Tara membuka tote bagnya. Diambilnya sebuah kartu nama. Ditimang-timangnya kartu nama tersebut pemberian seorang ibu yang pernah ditolongnya dari anak-anak berandalan yang hendak mengambil belanjaannya. Ia harus mencari pekerjaan, apa saja yang penting halal dan mungkin ibu itu bisa menolongnya.

"Dicky, tadi aku ketemu Tara!" Yana menarik Dicky dari teman-temannya sesama anggota senat yang lagi santai di kantin.

"Tara?!"

"Iya, Tara!"

"Lalu?"

"Anehnya ia menolak mengaku sebagai Tara."

"Sebentar... kamu ketemu Tara tapi dia nggak mengakui kalau dia itu Tara. Begitu?"

"Tepat sekali."

"Kok bisa?"

"Tadi aku ke mall dan nggak sengaja menabrak seseorang. Setelah aku perhatikan, ternyata cewek yang aku tabrak tuh Tara. Rasanya nggak salah deh, dia benar-benar Tara, Dicky!"

"Tapi nyatanya dia menolak sebagai Tara, kan? Siapa tahu aja dia memang bukan Tara atau jangan-jangan kembarannya?"

"Nggak mungkin deh. Aku yakin benar dia, Tara!" Yana tetap mempertahankan apa yang diyakininya. Setahu dia, Tara tidak punya saudara perempuan apalagi saudara kembar.

Tara memperhatikan nomor rumah yang tertera di kartu nama dan mencocokkan dengan nomor yang ada di pagar. Benar, sudah tepat rumah ibu itu. Tara mengetuk pintu pagar, tetapi tidak ada sahutan. Perlahan ia membuka pintu pagar yang tidak dikunci. Pos Security nampak kosong. Tara beranjak memasuki rumah yang sangat besar, bercat putih dengan pilar-pilarnya yang kokoh. Halaman yang luas, ditumbuhi tanaman beraneka ragam dan warna, juga stepping stone dan koral yang semuanya ditata dengan rapi. 

"Cari siapa Mba?"

Seorang wanita keluar dari garasi.

"Apa benar ini rumah Ibu Natakusumah?"

"Benar. Mba ini siapa ya?"

"Saya, Tara. Saya pernah bertemu Ibu dan Beliau mengajak saya berkunjung. Apa saya bisa ketemu?"

"Mari Mba, Ibu ada kok di dalam." Tara dipersilahkan memasuki ruang tamu. Tara mengedarkan pandangan. Di sana-sini dipajang beberapa barang seni berartistik tinggi. Benar-benar sangat mewah.

"Sebentar ya Mba, saya beritahu Ibu dulu."

"Silahkan."

Tidak lama, Ibu Natakusumah masuk dari arah foyer yang terletak diantara ruang tamu dan ruang tengah. Melihat beliau, Tara langsung berdiri dan memberi salam.

"Selamat siang Ibu. Semoga masih mengenal saya."

"Ehh, Nak Tara kan?" tanyanya dengan sangat ramah.

"Iya Bu."

"Silahkan duduk. Wahhh, akhirnya kamu datang juga ke rumah Ibu." 

"Sebenarnya saya kesini karena ada perlu Bu."

"Owh ya? Apa itu? Mudah-mudahan Ibu bisa bantu."

"Saya lagi butuh pekerjaan Bu."

"Kebetulan kalau begitu. Ibu juga lagi membutuhkan seseorang juga nih, untuk bantu Ibu. Tapi apa Nak Tara mau menerima pekerjaan ini ya?" Ada keraguan di wajah yang masih nampak cantik meski kerutan sudah mulai terlihat di sana-sini. 

"Yang penting pekerjaan itu halal, saya pasti menerimanya Bu?"

"Pekerjaan ini sebenarnya lebih tepat dikatakan sebagai pekerjaan untuk seorangan asisten di rumah sih Nak Tara."

Tidak butuh waktu untuk berpikir lama, Tara langsung menerimanya.

"Saya mau Bu. Saya sangat butuh pekerjaan. Boleh ya Bu?"

Wajah itu menatap Tara, mencari kesungguhan pada ucapannya.

"Tolonglah Bu, saya betul-betul membutuhkan pekerjaan." ucap Tara penuh harap.

"Baiklah. Anak bungsu Ibu membutuhkan seseorang yang bisa memasak, mencuci, membersihkan rumah, pokoknya segala macam pekerjaan rumah tangga Nak Tara. Dia sudah kerja dan tinggal sendiri di apartmentnya. Anak saya ini rada unik sih Nak, semua pekerjaan tadi mau dikerjakan sendiri, karena nggak suka jika yang mengerjakan tidak dilihat secara langsung sama dia, padahal dia kerja, nggak ada waktu selain hari Sabtu dan Minggu. Tetapi hari Sabtupun dia masih kerja."

"Saya menerimanya Bu. Kapan saya bisa mulai kerja ya Bu?"

"Besok pagi kamu datang ke sini jam 10.00 wib ya. Ibu yang akan mengantar kamu ke sana."

"Terima kasih ya Bu!"

Tara sangat gembira. Ia kini sudah mendapatkan pekerjaan meski pekerjaan sebagai asisten rumah tangga. Dengan ringan dilangkahkannya kaki keluar dari rumah mewah tersebut.

Anak yang manis! Rasanya masih ada pekerjaan yang lebih layak untuknya, bisik sendu Ibu Natakusumah sambil menutup pintu. Sepertinya ada sesuatu yang mendesak sehingga ia tidak perlu pertimbangan lagi dan langsung menerima pekerjaan ini.

🕊️🕊️🕊️

Kabut Berarak (complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang