Kabut Berarak #9

16.1K 1.1K 25
                                    

Aria tiba di kantor tepat jam delapan. Ia memang selalu tepat waktu datang ke kantor. Tipe disiplin yang sangat disegani bawahan. Di lobby beberapa orang yang berpapasan denganya tersenyum dan memberikan hormat. Beberapa tamu wanita yang duduk di sofa ruang tunggu, saat Aria masuk tadi, sontak melirik ke arahnya. Tatapan memuja pun seketika terpancar dari wajah-wajah yang full make up itu. Aria jadi silau, padahal bukan melihat cahaya. Jauh banget jika ia membandingkannya dengan wajah Tara yang polos tanpa riasan apapun. Aria jadi kangen Tara, padahal baru beberapa menit lalu ia tinggalkan. Ada apa dengan hatinya ini?

Aria melangkah dengan lebar menuju lift. Wanita yang tadi melihatnya masih belum melepaskannya hingga tiba di depan lift. Aria jengah. Selalu seperti ini jika berjalan di depan kaum hawa. Padahal Aria merasa dirinya biasa-biasa saja, tidak ada yang istimewa. Dia memang biasa tampil di majalah, tetapi itu pun yang berhubungan dengan profesinya. Dia bukan selebriti!

Belum lagi kalau sedang berjalan dengan Bowo, semakin parah aja tatapan dari wanita yang berpapasan dengan mereka. Ada yang terang-terangan menghampiri, menyapa atau meminta nomor ponsel. Luar biasa..! Dan itu beberapa kali terjadi. Bowo yang pada dasarnya punya sifat yang keras dan tidak suka berbasa-basi, kadang sudah ingin memaki, tapi Aria menahannya. Tentu tidak elok jika memaki wanita di depan umum. Tetapi itu dulu sebelum Bowo menikah dengan Via. Sekarang Bowo jauh berubah dan itu berkat Via. Satu lagi, bosnya itu bucin sangat sama istrinya. Tidak pacaran, tetapi langsung menikah. Bos Bowo memang hebat! Aria hanya bisa berharap bisa mendapatkan wanita seperti Via.

Begitu lift tiba di lantai 12, Aria keluar dan berjalan menuju ruangannya. Dino, sang asisten menyambutnya di depan counter dengan senyum bak iklan pasti gigi di televisi. Aria hanya membalasnya dengan menarik sedikit sudut bibirnya. Moodnya berantakan akibat kejadian di looby tadi. Sepertinya untuk mengembalikannya, baiknya ia menelpon Tara.

Panggilan pertamanya, belum tersambung. Kedua, juga bernasib sama. Aria sudah siap membanting ponselnya jika panggilan ketiga, Tara belum juga meresponnya.

"Ya Pak?"

Yes..! Finally, tersambung juga akhirnya. Aria sumringah.

"Kok lama banget sih jawabnya?"

"Maaf Pak, lagi mau nyuci. Tadi nggak kedengaran suara teleponnya." Tara bingung, baru juga pergi, sekarang sudah menelpon? Apa ada yang ketinggalan?

"Ada yang kelupaan ya Pak?" tanya Tara kemudian. Tetapi setahunya, Aria tidak pernah ceroboh meninggalkan sesuatu saat akan berangkat ke kantor. Bukan kebiasaannya.

"Nggak ada kok. Ya udah, lanjutin deh nyucinya." Aria memutuskan sambungan. Moodnya sudah kembali setelah mengobrol sebentar dengan Tara.

Tara menaruh ponsel di dekat mesin cuci. Ia takut, jika Aria menelponnya, suara ponselnya tidak kedengaran, bisa-bisa ia kena marah. Pakaian Aria tidak kotor-kotor amat juga tidak banyak, tetapi Tara rutin mencuci setiap hari. Tara hanya menjaga jika tiba-tiba Aria akan memakaian pakaian tetapi belum dicucinya. Lagipula, ia tidak suka menumpuk pakaian kotor walaupun hanya beberapa lembar.

Doni cepat masuk ruangan begitu mendengar suara Aria memanggilnya. Ia tak lupa membawa note berisi schedule bosnya.

"Doni, coba kamu cek biaya kuliah untuk satu semester di jurusan Arsitektur. Cari untuk beberapa Universitas yang terbaik di kota ini, kemudian hasilnya segera infokan ke saya."

"Baik pak." Doni keluar ruangan dan segera searching sesuai permintaan Aria. Bosnya sekarang agak berbeda dari beberapa waktu yang lalu. Sudah mulai peduli dengan hal-hal lain.

Tidak berapa lama Doni keluar, Indra masuk ke ruangan Aria. Program beasiswa akan dipercepat setelah hasil pengumuman telah keluar.

"Pagi, Bro." Indra langsung duduk di kursi yang berada di depan meja Aria.

Kabut Berarak (complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang