Melupakan sifat menyebalkannya, Adora harus akui kalau Kirana bertanggung jawab atas pekerjaannya. Adora juga tidak melibatkan rasa jengkelnya jika menyangkut pekerjaan. Perempuan itu tetap memantau dan membimbing Kirana yang masih fokus mempelajari tumpukan manuskrip yang ia berikan tiga hari lalu. Bahkan, Adora pernah melihat Kirana membuat catatan untuk beberapa poin dan menempelnya di meja kerja sebagai pengingat.
Pikiran Adora terbang ke masa sekolah dasar. Harus Adora akui lagi kalau Kirana bukanlah sekadar anak menyebalkan dan tukang cari masalah kepada dirinya saja. Keinginannya untuk menjadi pusat perhatian itu termasuk saat di dalam kelas juga. Adora jadi ingat beberapa kali melihat sisi Kirana yang satu ini dan membuatnya percaya ranking 1 selama hampir 6 tahun adalah buah manis dari kerja keras Kirana.
"Dora belekan," panggil Kirana membuat Adora tersentak pelan.
Adora mengalihkan perhatian dari depan layar komputer kepada Kirana yang kini berdiri di sebelah mejanya. "Ada apa?" tanya Adora ke mode datarnya yang selalu muncul jika berhadapan dengan Kirana. "Kalau mau gangguin gue, jangan sekarang."
"Cih. Mana ada, ya!" seru Kirana tak terima. "Ini. Gue gak ngerti bagian yang lo tandai di sini maksudnya gimana." Kirana menunjukkan apa yang tak ia mengerti kepada Adora.
Adora mengecek manuskrip itu sebentar lalu menggeser kursinya agak menjauh dari Kirana. "Lo tunggu dulu di sini. Sebentar." Jemari lentik Adora menyusuri berkas-berkas yang tersusun rapi di file holder miliknya untuk mencari apa yang ia butuhkan.
Kirana menunggu dengan sabar sembari mengintip pekerjaan Adora di layar komputer yang menyala di depannya. Kirana meringis pelan melihat grafik-grafik memusingkan di layar itu. Daripada semakin pusing, Kirana memutuskan untuk melihat kesibukan orang-orang sekitar saja.
"Ah, ini dia." Adora menarik sejilid kertas dan menggeser kembali kursinya ke tempat semula sembari membalik halaman kertas tersebut. "Bagian itu memang agak rumit. Gue ada bikin rekapan soal masalah itu yang juga jadi masalah buat beberapa penulis dan editor baru." Adora menunjukkan satu poin dalam rekapan itu kepada Kirana. "Ini. Bagian yang lo gak ngerti maksudnya ini, 'kan?"
Kirana melihat kemudian mengangguk dua kali.
"Lo bawa dan coba pelajari lagi. Kalau ada yang lo---"
"Gue pikir lo bakal ejek gue," gumam Kirana pelan tanpa sadar yang dapat didengar jelas oleh Adora. "Eh?! Maksud gue---"
"Usaha lo untuk mendapatkan hasil terbaik gak akan pernah gue ejek." Adora berkata cuek kemudian mengangkat telepon di meja kerjanya yang berdering. "Ya, halo?" bukanya saat menerima panggilan, total mengabaikan Kirana yang masih membatu di tempatnya.
Kirana menggenggam erat kertas di tangannya.
***
Adora menatap malas gadis berbando merah yang sedang menggeram kesal di depannya. Situasi di mana mereka dipasangkan untuk tugas kelompok berisi dua oranglah yang menjebak sekarang. Inilah mengapa mereka tidak menyukai sistem pemilihan acak untuk tugas kelompok.
Hening menyelimuti mereka yang sibuk bergelut dengan tugas matematika dari guru. Mereka berusaha mengerjakan bagian masing-masing tanpa mengganggu satu sama lain. Berbeda sekali dengan kelompok lain yang cukup berisik dan sedikit bermain-main.
Hingga Adora menangkap gelagat Kirana yang mulai gelisah. Gadis yang selalu membuatnya jengkel itu menggaruk pelan pelipis dengan kening berkerut samar. Sesekali, terdengar helaan napas dan ketukan pensil yang membuat Adora terganggu.
"Ada apa?" tanya Adora tiba-tiba, membuat Kirana terkesiap dan hampir menjatuhkan pensil di tangannya.
Kirana awalnya ragu dan gengsi. Namun akhirnya menghela napas panjang dan berkata canggung, "Aku gak ngerti bagian ini." Kirana menunjuk nomor soal yang membuatnya gelisah sejak tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nemesis
ChickLit[17+] ♡♡♡ Belasan tahun telah berlalu, rupanya semua terasa seperti kemarin saat mereka bertemu. Senyum menyebalkan dan sorot mata lelah; tak satupun dari mereka yang melupakannya. Perseteruan selalu menjadi nama tengah untuk hubungan mereka. Tidak...