The Untold Story

31 4 0
                                    

"Bukannya gue sudah bilang scene ini dihapus saja?" Adora menekan-nekan tak sabar pulpennya di atas naskah. "Lo gak dengerin gue?" tanyanya dingin kepada Kirana yang berdiri di sebelah kursinya.

"Lo sendiri yang pernah bilang kasih ruang buat penulis berkreasi lebih bebas--"

"Gue atasan lo dan jangan membantah!" Adora membanting pulpen di tangannya ke meja hingga menimbulkan bunyi keras yang cukup mengundang perhatian orang-orang di sekitar.

"What?! Gue cuma melakukan semua yang pernah lo ajarkan dan sekarang gue salah?" protes Kirana dengan kening mengernyit. "Menurut gue, sudah gak ada yang salah dari naskah ini. Bahkan sudah layak dikasih ke bagian percetakan."

Adora bangkit dari kursinya, menatap dingin Kirana yang belakangan membuatnya sangat muak. "Gue kasih waktu sampai besok. Naskah ini gak gue terima." Adora melempar naskah itu ke muka Kirana kemudian menyenggol bahu wanita itu dengan sengaja.

Kirana membuang naskah itu ke lantai. Tidak terima dengan perlakuan tersebut, Kirana dengan sigap menjambak rambut panjang Adora yang tergerai sampai wanita itu bergerak mundur. "MAKSUD LO APA, HAH?!!" bentak Kirana di depan muka Adora.

Adora menyentak kasar tangan Kirana. "Harusnya gue yang tanya begitu!" Adora mendorong dada Kirana dengan telunjuknya. "Maksud lo dekatin gue itu apa, Kirana?" tanya Adora dingin sekali.

"Hah? Ngomong apa sih lo?!" Kirana menelan salivanya susah payah karena sosok Adora begitu mengerikan saat ini. Tak pernah ia melihat wanita dengan pembawaan kalem bersikap sedingin dan sekasar ini.

Adora ingin mengatakan sesuatu namun urung. Hanya decihan yang keluar dari bibirnya. Kedua tangan Adora terkepal erat untuk menahan diri agar tak melukai lawan bicaranya. Sungguh, jika tidak ingat sedang berada di kantor, Adora ingin sekali menampar dan memaki wanita di depannya.

"Mba Kira, kita ngudud saja, yuk?" ajak Mas Agung sambil menepuk pelan kepala Kirana dengan naskah yang barusan ia pungut dari lantai. "Sekalian bahas soal kolaborasi penulis kita di edisi natal dan tahun baru nanti."

Kirana ingin membantah, namun Agung buru-buru menyeretnya untuk menjauh dari Adora yang wajahnya sudah memerah. Pekerjaan di kantor sudah banyak, jangan lagi perkelahian dua wanita itu menambah beban yang tidak diperlukan.

Ini bukanlah yang pertama. Sejak Kirana balik dari Seoul, Adora selalu marah dengan apapun yang Kirana lakukan. Pernah di satu momen, mereka saling berteriak dan Adora menyiram muka Kirana dengan sisa kopi hanya karena Kirana terlambat lima menit mengirim revisian naskah ke email Adora. Seluruh orang di ruangan itu tentu saja terkejut dengan apa yang Adora lakukan. Jika saja Kirana tidak langsung diseret pergi sama Novi, serta Aldo yang segera menenangkan Adora, mungkin ruangan itu bisa saja hancur akibat perkelahian mereka.

Aldo yang kebetulan berada tidak terlalu jauh dari lokasi Adora pun menghampiri. Ia melihat apa yang terjadi sebelumnya di antara Adora dan Kirana. Tangan besarnya mengusak rambut panjang Adora, berusaha meredakan emosinya.

"Masih sensi sama Kirana? Padahal sebelumnya lo galau banget waktu dia gak pulang-pulang." Aldo merangkul bahu Adora yang tegang, mengusap pelan dan menepuk-nepuknya ringan.

Emosi Adora perlahan mereda karena perlakuan lembut Aldo. "Sudah, lo balik kerja sana, Do. Gue juga ada meeting sebentar lagi." Adora menjauhkan tangan Aldo dari bahunya. "Oh iya, pulang nanti lo mau ikut ke Kafenya Keenan, gak?" tawar Adora seraya merapikan rambutnya.

"Kirana--"

"Enggak. Dia gak ikut," tukas Adora cepat.

"Kenapa?"

Adora menyisipkan rambutnya ke belakang telinga kemudian melirik sebal. "Ya sudah, gue pergi sendiri saja. Lo mau jalan sama dia, terserah. Gue gak ikut-ikutan." Adora berjalan meninggalkan Aldo dengan emosi yang kembali naik ke permukaan. Mendengar nama Kirana saja mampu membuat Adora naik pitam sekarang. Padahal, dia tidak pernah sebenci ini bahkan ketika mereka masih kecil dulu.

NemesisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang