Running Through the Storm

31 4 0
                                    

Aldo menatap kosong layar hitam televisi yang memantulkan betapa menyedihkan sosoknya yang sedang duduk meringkuk di atas kasur. Wajah tampannya berantakan karena jejak air mata. Tubuh tegap dan gagahnya gemetar tak berdaya. Sosok yang selalu terlihat kuat dan disegani itu sangat rapuh malam ini.

Kedua tangan yang memeluk lutut bergerak mencengkeram rambut yang sudah acak-acakan. Semua yang dikatakan oleh Kirana beberapa saat lalu berputar-putar dengan liar di kepalanya. Ributnya hujan di luar sana terasa seperti bisikan tak berarti bagi Aldo. Hanya kata-kata Kirana yang menguasai seluruh pikirannya sekarang.

"Mas Aldo, jangan diam aja lo, brengsek!" hardik Kirana terdengar terlalu jelas di balik airpods milik Aldo. "Kenapa selama ini lo diam?! Harusnya lo kasih tahu Adora dari dulu kalau tunangannya titisan setan!"

"Dia gak akan percaya gue," sahut Aldo putus asa. Setetes air mata jatuh lagi di pipi kirinya. "Lo gak ngerti posisi gue, Kir. Dia tahu gue sayang sama dia dan kalau gue ngasih tahu kebusukan cowoknya dari mulut gue sendiri akan terkesan mengada-ngada. Dia terlalu memuja bajingan itu dan mencari celah buat ngasih tahu segalanya hampir mustahil!"

"Hampir. Masih ada kemungkinan kecil!" pekik Kirana penuh emosi. "Lo terlalu takut. Dasar pengecut! Potong aja burung lo sana!" cerca Kirana. "Apa susahnya bilang kalau lo pernah mergoki cowoknya jalan sama cewek lain BAHKAN KELUAR DARI HOTEL! MEREKA DI SANA GAK MUNGKIN LATIHAN JOGET TIKTOK BARENG, ANJING!"

"GAK SEMUDAH ITU, KIRANA!" balas Aldo berteriak frustasi. "BAHKAN SETELAH APA YANG LO KATAKAN, GUE TETAP GAK TAHU CARANYA GIMANA! GAK MUNGKIN GUE TIBA-TIBA MUNCUL DAN BILANG COWOKNYA SELAMA INI ORANG SINTING YANG DOYAN SELINGKUH!"

Kirana terdiam saat mendengar isakan pelan namun menyedihkan dari Aldo. Di tempat yang berbeda nun jauh di sana, Kirana menyesap dalam-dalam batang rokok ke sekiannya. Asbaknya sudah penuh oleh berpuntung-puntung rokok yang telah ia habiskan. Tinggal menunggu saat paru-paru wanita itu jebol karena adiksi buruknya.

Kirana mendesah berat dan lelah. "Waktu gue dengar salah satu selingkuhan Ares adalah kenalan lo, rasanya kesal sekali, Mas. Terus lo bilang ternyata itu bukan satu-satunya perselingkuhan yang lo ketahui? Seandainya lo kasih tahu lebih awal, urusannya gak akan serumit sekarang. Mereka mau menikah dua bulan lagi. Ares juga mulai bergerak setelah anggota-anggota yang dia pimpin mulai berjatuhan. Gue bisa mati kalau tidak ada Papi dan si kembar!"

"Gue pikir dia cuma orang yang suka main api, ternyata dia membawa neraka juga. Kirana, kalau Rara tahu semua ini, dunianya akan hancur lebur. Mungkin bisa tak bersisa lagi." Aldo mencengkeram erat seprai kasurnya sampai kusut. "She doesn't deserve this, Kir."

"Semua orang gak deserve, Mas Aldo." Kirana mendongak, menatap hampa langit-langit kamar hotelnya. "Ares itu licik dan gue yakin dia sedang melakukan sesuatu juga. Badai yang dia buat tidak akan berlalu. Kalau mau menyelamatkan Adora, kita harus berlari melawan, bukan duduk menunggu." Kirana memejamkan matanya dan kembali berkata, "Pertanyaannya, Mas Aldo masih mau tetap duduk atau lari sama gue? Kita bantu Adora sama-sama?"

Satu kilatan petir tertangkap netra Aldo dari balik jendela kamarnya. Pria itu mengulas senyum tipis dan kedua tangannya terkepal erat. Tanpa ragu ia menjawab, "Gue bakal carikan jas hujan dan payung terbaik. Kita lawan badainya sama-sama."

***

Keenan yang sedang mengunci Kafe dikejutkan oleh kehadiran sebuah mobil yang ia kenali. Seorang pria ada di sana, bersidekap dada dengan punggung bersandar di belakang mobil itu. Keenan ingin pura-pura tidak melihat dan segera pergi namun suara bariton pria itu memanggil namanya. Mendecih tak suka, Keenan menoleh dan menatap malas sosok tersebut, yaitu Aldo.

NemesisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang