City of Stars

34 4 0
                                    

Adora sekuat tenaga menahan tawa ketika melihat reaksi Nathan saat bertemu Kirana berdiri di muka pintu dengan tangan terlipat dan dagu terangkat. Begitu mendengar Nathan mulai berani mengajak Adora jalan, Kirana tidak tinggal diam. Malam sebelumnya, Kirana langsung menginap di tempat Adora agar besoknya bisa bertemu sosok yang masih belum bisa ia maafkan. Dendam belasan tahun itu rupanya masih membekas di dalam diri Kirana.

"H-hai, Kir?" Nathan menyapa dengan senyum kikuk.

"Gak usah sok akrab. Lo bukan teman gue," balas Kirana sinis. "Ngapain lo ke sini? Belum puas lo dimusuhi waktu SD, hah?!"

"Astaga, sampai sekarang lo masih dendam sama gue, Kir?" Nathan menggaruk tengkuknya salah tingkah. "Begini saja, kita omongkan masalah itu nanti. Gue mau jalan dulu sama Adora. Boleh, ya?" Nathan menyatukan kedua tangan, memohon kepada Kirana yang sudah segalak calon mertua.

"Apa jaminan kalau teman gue bakal lo pulangin dengan selamat? Dengar ya, Nathan, gue masih benci dan gak percaya sama lo." Kirana menunjuk dada bidang pria di depannya. "Gue bisa bikin lo seratus kali lebih sakit dari apa yang lo dapat waktu bocah. Paham?!" hardik Kirana.

Nathan merasa serba salah. Dia ingin takut tetapi Kirana tidak seram sama sekali. Mau melawan pun Nathan khawatir jalannya akan lebih dipersulit. Masalahnya, Adora yang sekarang benar-benar lengket dan menurut dengan Kirana. Nathan punya firasat jika pengaruh Kirana akan sangat besar di dalam misinya untuk mendekati Adora.

Jadi, apa yang bisa Nathan lakukan adalah tetap sabar dan berusaha mendapatkan kepercayaan Kirana bahwa dirinya tidak seperti apa yang wanita itu pikirkan.

"Adora akan pulang dengan selamat tanpa cacat, Kir. Tenang saja." Nathan tersenyum meyakinkan. "Jaminannya nyawa gue. Kalau gue ingkar, lo boleh pajang kepala gue di ruang tamu rumah lo." Nathan mengusap lehernya ketika membayangkannya. Bulu kuduknya berdiri ketika melihat seringai di wajah Kirana.

"Kebetulan ruang tamu rumah gue memang masih lenggang. Gue sama Kak Mika belum nemuin dekorasi yang menarik." Kirana mencengkram rahang Nathan dengan kuat. "Wajah ini tidak terlalu buruk juga." Kirana menatap tajam tepat ke dalam manik kelam Nathan.

"That's enough. Lo bisa bikin Nathan ngompol nanti." Adora menarik Kirana untuk menjauh dari Nathan. "See? Mukanya jadi pucat gara-gara lo." Adora meraih bahu Kirana, kekehan kecil keluar dari bibirnya melihat betapa garang Kirana sekarang. "Gue sama Nathan cuma mau makan dan jalan-jalan sebentar. Kita sudah bicarakan ini sebelumnya, 'kan? Semuanya bakal baik-baik saja. Lagipula, gue bukan anak kecil lagi."

Kirana mendengus sebal. "Kalau ada apa-apa, lo harus segera hubungi gue, okay?" Kirana mengulas senyum simpul ketika Adora mengangguk pasti. Kirana melirik sinis ke arah Nathan dan berkata, "Mata-mata gue banyak. Awas lo!" ancamnya galak.

"Selagi nungguin Mikael jemput, lo main sama Marie atau baca-baca novel gue dulu, ya?" Adora mengusak rambut Kirana yang mulai panjang dengan sayang. "Gue jalan sama Nathan dulu. Dah, Kir!"

Kirana memperhatikan Adora yang berjalan berdampingan dengan Nathan menuju sebuah Hummer keluaran terbaru yang nampak garang dan mahal. Kirana melambai rendah saat Adora melambaikan tangan padanya dan Nathan menekan klakson tanda pamit. Ketika mobil itu sudah berlalu dari pandangannya, satu hela napas yang berat dan panjang keluar dari bibir Kirana.

"F**k! Masa gue kalah sama ... Nathan?!"

***

"Sore ini tea party di rumah aku, ya? Mamiku kemarin beliin aku set cangkir baru" ajak Kirana kepada teman-teman satu gengnya. Kirana tersenyum saat keempat temannya dengan kompak mengangguk dan setuju. "Kalian balik duluan saja. Aku mau ke ruang guru soalnya."

NemesisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang