Kabut pekat mengangkasa. Mengepul dari cerobong asap dan menyelubungi langit mendung. Rintik hujan tiba-tiba turun, menyapu api yang telah menjalar hingga ke atap menara.
Lalu lalang paramedis mengangkat tandu dorong Louis melewati Heinrich. Pria paruh baya itu setengah sadar dan mengerjap lemah, disokong alat bantu pernapasan sesaat setelah dibawa keluar oleh para pengawal. Kepalan tangan kurusnya mengendur.
Sementara itu, Heinrich tampak serius menyisir area. Dua lantai teratas bangunan megah di depan sana hampir sepenuhnya terbakar. Louis merentangkan tangan dan langkah paramedis yang hendak memindahkan pria itu ke dalam ambulan seketika berhenti.
Heinrich menoleh begitu lengan bajunya ditarik ke samping. Pria itu berusaha mengatakan sesuatu di balik masker ambu bag yang mengatup hidung dan mulutnya sembari menunjuk-nunjuk. Tak bertenaga.
Heinrich segera mendekat lalu menangkap jari Louis agar getarannya berhenti, namun pria itu justru menyodorkan lipatan kertas kepada Heinrich saat membuka genggaman tangannya.
“Jangan khawatir. Aku akan menggunakannya sebaik mungkin. Bertahanlah, kau harus tetap bernapas. Sekarang jalani perawatanmu terlebih dahulu.” Tanpa bertanya, Heinrich menerima kertas itu kemudian mengikuti arah telunjuk Louis tertuju.
“NONA! NONA ELLE!”
Seorang pemuda gila terus memberontak di antara kerumunan, membuat beberapa penjaga kelimpungan menahannya. Sebelum diangkut pergi, Louis ternyata menunjuk Ethan yang berhasil lepas dari kekangan, nekat menerobos masuk sambil menggumamkan satu nama yang Heinrich dengar cukup jelas.
“Tunggu, kau tidak boleh ke sana! Cepat kembali!” teriak Robin menegaskan larangan.
Heinrich terlalu jauh menjangkau pria itu. Situasi benar-benar kacau. Posisi Robin yang kebetulan lebih dekat dengan Ethan bergegas lari dan memaksa pria itu untuk mundur. Tidak mudah menanganinya. Ethan tetap mengotot meski kekuatan Robin bukan tandingannya.
“Henry––” Robin mengantar pria itu bicara dengan Heinrich tentang masalahnya. Heinrich mengangguk, melempar isyarat tanda mengerti dan Robin terdiam.
“Dengar, di dalam berbahaya. Kau tidak bisa masuk begitu saja. Tolong tenang dan serahkan pada kami. Kau bilang ‘Elle’ sebelumnya?” tanya Heinrich memastikan ketika mereka berdiri berhadapan.
“Ya. Nona Elle––namanya Rapunzel. Dia masih di atas, sedang tidur dan tidak ada yang membangunkannya.”
Ethan panik, pandangannya memburam. Tak henti-henti menangis dan mengusap mata puluhan kali. Pria itu mengacak rambutnya frustasi sembari mengatakan itu.
“Bagaimana caranya lari dari kebakaran? Nona Elle tidak bisa berjalan. Selama ini dia hanya mengandalkan kursi roda. Kumohon temukan dia, Sir.” Ringis Ethan. Kilat di dalam matanya dipenuhi ketakutan.
“Jangan biarkan dia terluka lagi. Dia sudah cukup menderita.”
“Baiklah... Aku janji. Elle pasti selamat. Aku yang akan membawanya keluar hidup hidup. Aku tidak akan pergi sebelum menemukannya.” Heinrich menepuk-nepuk pundak Ethan.
“Bisa kau tunjukkan dimana dia berada?”
Heinrich mulai membuka kertas berisi denah rumah yang Louis berikan padanya dan mengamati gambar ruangan-ruangan di kertas itu bersama Ethan. Heinrich yakin pria itu tahu banyak mengenai seluk beluk tiap bagian rumah.
“Kamarnya terletak di lantai tiga, dekat dengan tangga difabel yang diapit perpustakaan dan ruang seni.” Ethan menjelaskan.
Heinrich mengernyit, menyetel alarm waspada. “Ruang seni? Apa saja yang kau ingat tersimpan di sana?”
KAMU SEDANG MEMBACA
RAPUNZEL (SUDAH TERBIT)
Short Story(Tersedia di Karya Karsa @namuma) Malam itu, Heinrich memimpin tim pemadam kebakaran menuju tengah hutan. Ke sebuah menara tinggi terpencil, jauh dari desa. Di atas sana, Heinrich melihat untaian rambut pirang panjang seorang gadis membelakangi jend...