Part 3 | Nightmare

679 81 11
                                    

Pandangan Heinrich menembus jalanan gelap. Sepi, kental dengan suasana kota tua. Dari jauh, Heinrich menginjak rem beberapa meter sebelum mencapai persimpangan. Laju Triumph Tiger yang dikendarainya melambat.

Deru mobil pengendara lain berhenti tepat di belakang garis penyeberangan saat lampu merah, teredam raungan motor Heinrich yang memecah keheningan. Meski terdengar agak ribut, Heinrich membiarkan mesinnya tetap menyala. Kebisingan itu tidak akan bertahan lama. Dia sudah menghapal waktu pergantian lampu lalu lintas di masing-masing persimpangan.

Dengan sebelah kaki yang diturunkan, Heinrich melepas tangannya dari stang kemudi. Gantungan kunci motornya bergelantung sementara ia membuka kaca helm.

Kerah bajunya tertekuk keluar dari celah zipper jaket yang membungkus Heinrich di balik lapisan kaos polo abu-abunya. Jenis jaket yang dipakai Heinrich tidak terlalu tipis dan berbahan kulit, cukup untuk menghangatkan dari sengatan udara malam.

Jarak tujuannya sudah sangat dekat. Heinrich hampir tiba di kampung halaman Slania Delvaux, rumah ibunya, sekaligus tempat wanita itu membuka toko bunga yang akhir-akhir ini kabarnya semakin ramai dan membutuhkan tambahan pekerja.

Di beberapa kesempatan, tak jarang Slania menyodorkan gadis-gadis anak tetangga kepadanya. Rata-rata lebih muda sepuluh tahun dari Heinrich, berwajah manis, dan ramah. Pemalu serta lemah lembut. Dengan ciri-ciri itu, semuanya nyaris sempurna walaupun Heinrich tidak memedulikan kriteria khusus.

Hanya saja... para gadis itu kurang mental jika dihadapkan dengan sifat Heinrich yang memang mempunyai bawaan karakter keras. Padahal Slania berharap salah satu di antara mereka cukup menarik di mata Heinrich, tapi seperti biasa, usaha ibunya selalu berujung sia-sia.

Lamunan Heinrich kemudian lenyap begitu saja.

Saat ini, wanita itu pasti menyiapkan banyak makanan dan sedang menunggu kedatangannya di teras. Heinrich bersiap menancap gas, namun ketika merogoh bagian dalam saku, ia baru sadar ada yang hilang. Heinrich sama sekali tidak menemukan apapun di saku jaketnya. Rata. Kosong.

Alis Heinrich bertaut dan mengernyit geram. Dia bergerak tak nyaman menduduki sadel motor. Benda itu pasti jatuh karena kantongnya menganga lebar. Heinrich yakin tidak dicopet.

Kawasan ini termasuk daerah aman. Polisi rutin melakukan patroli keliling dan semua orang mengenalnya. Heinrich membungkuk, melongokkan kepalanya rendah. Mencoba mencari di bawah roda dan kembali menegakkan tubuh.

Tetap tidak ketemu. Jangan-jangan kalung yang seharusnya dia persiapkan untuk Slania bukan hilang, melainkan ketinggalan. Mungkin dia memang belum membawanya dan masih tergeletak di atas meja kerjanya. Heinrich melirik spion, terpaksa putar balik melewati jalanan yang sama ke arah berlawanan dan sampai hanya dalam hitungan menit.

“Kau melupakan sesuatu?” seru Robin kencang.

Heinrich langsung bangkit dan menoleh usai meletakkan helm yang baru saja dilepasnya ke salah satu kaca spion. Berjalan memutari motor, ia mendongak. Dari samping posisinya berdiri, Heinrich mendapati Robin bersiul sembari menyandar di pegangan besi tangga luar. Menyambutnya dengan seringai lebar begitu ia tiba di halaman depan pos jaga.

“Tidak masalah... Bukan kali ini saja kencanmu gagal kan,” lanjut Robin dibarengi tawa jail yang sontak menjadi pusat perhatian. Pintu bercat merah di belakang pria itu tiba-tiba terbuka, mendadak sesak dengan kehadiran anak buahnya yang muncul bersamaan.

“Siapa yang masih ingat?” timpal Grace menggeleng prihatin. “Inilah alasan kenapa sampai sekarang Kapten belum juga menikah,” sindirnya.

Sebagai staff perempuan minoritas dalam kompi Heinrich, perilaku Grace mau tidak mau berubah drastis menjadi tomboi terpengaruh lingkungan dan pergaulannya sehari-hari bersama para pria meski penampilannya terbilang feminim, dengan rambut hitam tergelung ke belakang yang biasa memamerkan dahi nong-nong selebar ikan louhan.

RAPUNZEL (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang