"Tempat tidurnya kosong. Kemana pasien yang ada di sini? Kau bilang seorang petugas damkar terluka."
"Mr. Delvaux... Dia kapten yang datang bersama nona Janssens. Jahitan di punggungnya terbuka," kata wanita berseragam suster itu bingung sekaligus terkejut.
Lalu buru-buru meletakkan nampan berisi perban, sarung tangan latex, dan alat-alat medis lainnya ke atas meja.
Sejak ambulans tiba, Rapunzel langsung dipindahkan ke ruang khusus sementara Heinrich menunggu di UGD. Derap langkah kaki dan suara gelindingan roda brankar beradu dengan lantai rumah sakit.
Heinrich berhenti mengikuti perawat yang membawa Rapunzel semakin menjauh dan membuat mereka terpisah.
Heinrich tidak pernah mengingkari janji. Apapun yang terjadi, Heinrich tidak sedikit pun meninggalkan Rapunzel. Terus menemaninya sepanjang perjalanan, terus menggenggam tangannya, dan terus berada di sisinya. Mengabaikan rasa sakit dari luka menganga di punggungnya––akibat tikaman pisau saat dia mencoba menangkap pasien gangguan jiwa yang kabur beberapa hari lalu dan merusak jahitannya yang belum tertanam sempurna––meski Rapunzel tidak tahu dan tidak sadarkan diri.
Namun hanya sebatas itu yang bisa Heinrich lakukan. Dia pergi diam-diam dan menghilang begitu saja sebelum ditangani.
Unit gawat darurat di Rumah Sakit Maria Middelares yang menjadi rujukan emergency call masih dipenuhi korban kebakaran hingga larut malam, bahkan hingga menjelang pagi saat Heinrich terlihat baru saja membasuh wajahnya dan keluar dari dalam toilet dengan kondisi agak segar.
Sisa noda paparan asap yang melapisi wajah bertopeng hitam Heinrich juga sudah hilang, bersih sepenuhnya. Tapi itu malah membuat goresan luka di bawah mata dan rahangnya membekas jelas.
Heinrich benar-benar tidak tidur semalaman begitu ia melihat gerak jarum jam yang menunjukkan pukul 4. Heinrich tidak berniat kabur, dia akan kembali lagi setelah memastikan sesuatu. Jadi dia sengaja meninggalkan radio komunikasi, beserta mantel khusus yang dilepaskannya setengah kering, tersampir di pinggir ranjang ketika dokter membuka tirai penyekat antar bilik untuk memeriksa keadaannya dan mendapati tempat tidur itu kosong.
Meski dengan tampilan kaos polo abu-abu dan celana panjang yang tampak lusuh, Heinrich tetap dihormati. Orang-orang menganggap pekerjaannya luar biasa. Dimana pun ia berada, mereka akan menghormatinya sebagaimana pahlawan.
Usai bertanya ke meja bagian administrasi dengan menyebutkan nama belakang Rapunzel, Heinrich tahu kemana arah yang harus dituju. Mengandalkan papan penunjuk, Heinrich berangsur memasuki elevator, naik hingga lima lantai sebelum akhirnya tiba di area VIP station.
Heinrich bersedekap, menyandarkan tubuhnya ke tembok sembari meluruskan pandangan. Di depan ruang operasi, sepasang suami istri duduk menempati deretan kursi tunggu, tampak begitu panik sampai tangisan pilu terdengar menggema ke ujung-ujung lorong. Wanita paruh baya lain datang menyusul bersama anak perempuannya tak lama kemudian. Gadis itu sedikit lebih muda dari Rapunzel. Jika Heinrich amati, sepertinya mereka orang tua Rapunzel, bibi, dan sepupunya.
Tanpa terasa satu jam lewat. Heinrich masih mengawasi dari jauh dan kakinya yang sejak tadi berdiri tiba-tiba kebas. Bercak darah merembes semakin lebar ke tempelan kain kasa yang membalut luka di punggungnya.
Dokter bedah berpakaian biru terang menurunkan masker, muncul dengan raut yang menampilkan berita penuh kelegaan begitu pintu terbuka.
Mr. Janssens bangkit tergesa. Kedua alis tebalnya berkerut, menunjukkan ketidaksabaran. Ingin segera mendengar hasil yang akan dikatakan oleh dokter spesialis kulit sekaligus dokter bedah plastik terbaik di rumah sakit itu setelah mempercayakan kesembuhan Rapunzel padanya dengan harapan besar.
"Syukurlah... Operasi berjalan lancar. Karena derajat luka bakarnya cukup parah, untuk menghilangkan bekas luka itu, efek rekonstruksi pada wajah nona Rapunzel akan terlihat membengkak selama beberapa minggu awal. Tapi jangan khawatir... Kami masih akan terus mengecek perkembangannya. Begitu kondisi nona Rapunzel stabil, segera dia akan dipindahkan dari ruang ICU."
Sepeninggal dokter itu dari hadapan mereka, Heinrich mendengar suara Mrs. Janssens bergetar dan merosot lemah. "Jelaskan padaku. Apa maksudnya?"
"Ines.."
"Katakan kalau mereka tidak mengubah wajah Francescaku!"
Heinrich mengernyitkan kening. Francesca? Dia baru tahu jika itu nama tengah Rapunzel.
"Bukankah dokter yang menanganinya para profesor ahli? Aku setuju dengan operasi plastik ini karena kau berjanji wajah Francesca akan kembali!" teriak wanita itu bernada putus asa seraya menarik lengan sang suami. Menelungkupkan kepalanya ke bawah, amat putus asa.
"Tentu saja, wajahnya akan kembali normal. Seperti dulu... bahkan lebih cantik. Meskipun berbeda, dia tetap Francesca kita. Bukan orang lain. Kendalikan dirimu.. Setidaknya dia masih selamat dan baik-baik saja. Itu sudah cukup."
Perkataan Oscar Janssens menjadi hal terakhir yang Heinrich dengar sebelum ia berbalik dan memutuskan untuk pergi.
Iring-iringan mobil kerajaan Heinrich temukan terpakir di halaman rumah sakit saat ia mengintip melalui jendela. Dan kehadiran para pengawal bersetelan hitam lengkap dengan earpiece yang terpasang di telinga mulai berbaris mengamankan jalan utama hingga ke sepanjang lorong-lorong bangsal.
Sadar akan perubahan keamanan yang mengetat, Heinrich merasa pilihannya tepat, turun melalui tangga, karena Duke of Ixelles saat ini pasti sedang berada di dalam lift. Menuju lantai yang sama.
Jangan lupa vote + komentar + share
❤❤❤❤
_________________________________________
Next Part : 6 ( The Touch )
KAMU SEDANG MEMBACA
RAPUNZEL (SUDAH TERBIT)
Short Story(Tersedia di Karya Karsa @namuma) Malam itu, Heinrich memimpin tim pemadam kebakaran menuju tengah hutan. Ke sebuah menara tinggi terpencil, jauh dari desa. Di atas sana, Heinrich melihat untaian rambut pirang panjang seorang gadis membelakangi jend...