"Jadi hari ini kita akan ada pengukuran tubuh untuk pakaian yang akan dipakai selama menjuri," ucap produser. "Nah, Ibu Arsya yang tadi saya perkenalkan akan mengukur secara pribadi di butiknya."
Arsya yang dipanggil akhirnya tersenyum dan mengangguk.
"Seluruh pakaian nantinya akan di-support oleh ibu Arsya, seperti yang sudah saya jelaskan di awal," lanjut produser. "Kira-kira hari ini jam berapa, Bu?"
"Setelah rapat ini selesai bisa langsung ke butik saya," ucap Arsya. "Nanti saya akan dibantu dua asisten saya untuk melakukan pengukuran."
Semua yang hadir di situ mengangguk, termasuk Arjun. Ia memainkan jarinya di meja, berusaha mengalihkan perhatiannya dari Arsya.
Sial. Tidak biasanya dia begini. Kenapa rasanya Arsya yang ada di seberangnya lebih menarik ditonton daripada pak produser yang sedari tadi mengoceh?
"Bagaimana, Pak Arjun?" panggilan itu membuyarkan lamunan Arjun.
"Oh, iya, saya bisa kok," ucap Arjun.
"Oke baik, mungkin itu saja yang bisa dibahas di rapat kali ini, setelah rapat selesai, nanti kita pergi bersama-sama ke butik Bu Arsya," ucap pak produser. "Sekian yang bisa saya sampaikan, mohon maaf apabila ada salah kata. Rapat selesai."
Semua orang bangkit berdiri dan bersalam-salaman.
"Sistematisnya, nanti kita akan pakai satu mobil untuk menuju butik Bu Arsya, termasuk Bu Arsya sendiri. Iya, Bu?"
Arsya mengangguk. "Iya."
"Baik, untuk Chef Arjun, Chef Ardan, Chef Riana, dan Bu Arsya mari saya antar ke mobil perusahaan. Nanti akan ada sopir yang sudah disiapkan," ucap pak produser. "Untuk tim iklan diharap tinggal di ruang rapat dan saya akan segera kembali setelah mengantar."
Kelimanya berjalan menuju basement dan di sana mereka telah ditunggu oleh mobil berstiker Mister Kitchen.
"Baik, ini mobilnya, saya tinggal dulu, ya?"
Keempatnya mengangguk.
Arsya mengambil duduk di depan, di samping sopir, sementara kursi tengah diisi Ardan, Arjun, dan Riana.
"Akhirnya selesai juga," ucap Ardan membuka pembicaraan. "Butiknya jauh nggak, Bu?"
"Hmmm, lumayan. Mungkin 30 menit kalau tidak macet," ucap Arsya.
"Oh iya," ucap Ardan. "Ohya, Bu.."
Arsya menoleh. "Iya kenapa?"
Ardan tersenyun dan mengulurkan tangannya. "Saya Ardan. Kita belum kenalan secara langsung."
Arsya tersenyum. "Ah iya, saya Arsya." Lalu ia menjabat tangan Ardan.
Setelah itu tangannya terulur ke arah Riana dan menjabatnya. "Saya Arsya."
Riana tesenyum. "Riana."
Arsya mengangguk dan tersenyum. "Maaf agak susah salamannya."
Ardan tertawa melihat tangan Arsya yang terbentur kursi.
"Ini Chef Arjun, kok nggak kenalan?" tanya Ardan.
"Udah kenal," ucap Arjun pelan.
"Loh?"
"Iya, saya sudah kenal sama Arjun," ucap Arsya. "Dia seorang teman."
Arjun menoleh ke arah Arsya yang tersenyum manis.
Sementara Arjun dan Riana diam, Ardan tak henti-hentinya mengajak Arsya berbincang.
Sampai akhirnya mereka telah tiba di butik Arsya, dan kedua asistennya langsung menggandeng Ardan dan Riana.
Arsya sendiri diam dan menatap Arjun. "Ar, sama saya ya?"
Arjun menarik napas panjang. "Mau sama siapa lagi?"
Arsya menuntun Arjun masuk ke dalam suatu ruangan dan duduk.
"Jasnya bisa minta tolong dibuka?"
Arjun mengangguk dan melepas jasnya.
"Saya akan mengukur. Mohon berdiri ya, Ar," ucap Arsya yang sudah siap dengan alat ukur dan pensil di tangannya.
Pertama-tama ia mengukur lingkar lengan dan panjang lengannya. Ia mengukur lalu mencatat. Begitu terus sampai akhirnya ia mengukur lingkar dada dan perut Arjun.
"Permisi ya, Ar," ucap Arsya lalu ia melingkarkan alat ukurnya ke tubuh Arjun. Posisinya sama seperti orang berpelukan.
Arjun melirik ke arah Arsya yang badannya sudah sangat dekat dengannya.
Sialan, gue ini kenapa?
Arjun berdeham kecil dan Arsya kembali mencatat hasil pengukurannya barusan. Ia kembali mengukur lingkar perut Arjun setelah ia mencatat bagian dada.
"Kalau orang yang nggak tahu pasti mikirnya kamu lagi meluk saya," ucap Arjun tanpa menghadap bawah.
Arsya yang masih di posisinya langsung menengadahkan kepalanya dan tersenyum. "Jadi ini rasanya meluk cowok?"
"Emangnya nggak pernah?"
Arsya tertawa. "Pernah sih."
"Nah itu pernah," jawab Arjun.
Arsya kembali tertawa dan mencatat. "Tapi kan papa. Kalo cowok lain baru kamu aja barusan."
Arjun berdehem begitu Arsya melakukan pengukuran dengan kakinya.
"Itu tadi kan bukan pelukan," ucap Arjun. "Tapi posisinya udah bener sih."
Arsya tidak menjawab dan berfokus pada pengukurannya.
"Kamu bisa serius juga ya?" celetuk Arjun tiba-tiba.
Arsya berhenti dan melingkarkan kedua tangannya di pinggang. "Biasanya saya juga serius."
"Tapi lemot," balas Arjun. "Pake banget."
Arsya memutar bola matanya. "Sudah selesai."
Arjun mengangguk. "Lalu saya harus?"
"Kembali ke depan lah, mau ngapain lagi?" tanya Arsya.
"Kok jutek?"
"Eh itu jutek ya?" Arsya malah balas bertanya.
Arjun memutar bola matanya lalu menjitak dahi Arsya. "Sekali lemot tetep lemot."
"Sakit heh!" kesal Arsya. "Nanti sore saya ke apartemen kamu ya."
"Kamu nggak sibuk?" tanya Arjun sambil memperhatikan catatan Arsya.
"Nggak. Ini bisa saya lembur malam ini kok. Lagian saya udah ada design mentahannya. Tinggal ngukur aja," jawab Arsya. "Bisa ya?"
"Cewek tuh jangan begadang terus, nanti kantung mata kamu tambah tebel," ucap Arjun sambil memperhatikan mata lelah Arsya.
Arsya malah memelototkan matanya. "Udah biasa jadi panda wle."
"Yaudah nanti jam 6 aja," ucap Arjun.
"Siapppppp!!!!!"
••
ENJOYXX!
KAMU SEDANG MEMBACA
Yes, Chef!
RomanceArjuna Agustinus, pria tampan nan manis itu ternyata punya sisi dinginnya. Chef andal itu mempunyai cabang restonya di mana-mana. Sikapnya yang dingin itu tidak membuat kaum hawa menyerah akan dirinya. Tapi yang ada dalam fokusnya tidak berpihak pad...