Chapter 15 - Amour

1K 146 10
                                    

      Begitu menyita perhatiannya, sabar menemani, menunggu—memegangi jaket Jungkook. Melihat penanganan medis di ruang unit gawat darurat rumah sakit. Untungnya bisa cepat ditangani dan membuat hati Roseanne tenang. Sampai tidak perduli pada siapapun yang melihat kepadanya.

      "Gak perlu rawat inap ya dok?"

      "Gak perlu bu."

      "Bapak Jeon, ini lukanya kalau terlambat dibersihkan bisa infeksi pak. Tidak sedikit kasus sampai harus diamputasi karena mereka pikir gak penting, disepelekan." Dokter menjelaskan seraya menyelesaikan jahitan ketiga di punggung Jungkook.

      "Sebenarnya sudah saya bersihkan sendiri dok. Tapi istri saya gak percaya."

      "Lukanya dari jam berapa pak."

      "Tadi pagi dok. Waktu saya berangkat kerja gak ada. Pulang kerja, babak belur begitu." Rose menyahut seperti kilatan cahaya tanpa jeda dan tidak juga menoleh pada Jungkook, ia terlalu menghayati proses menjahit daging dan kulit. Hampir berteriak karena terkejut. Ada yang mengusap-usap pinggangnya. Tidak lain itu perbuatan Jungkook, meminta dirinya mendekat.

      "Apa sih."

      "Gini aja." Jungkook mengeratkan pelukan dari samping. Rose terpaksa menggeser tubuhnya agar suaminya tidak terjungkal ke bawah.

      "Mungkin maksud ibunya bisa biar lebih yakin benar-benar steril. Gak cukup dibersihkan saja, tapi kalau sebesar ini ya harus ditutup pak."

      "Saya diomelin sepanjang jalan sama istri saya gara-gara ini."

      "Ya, masa dia bilang ini lukanya karena jatuh dok. Kan gak mungkin. Dipikir saya bego gak bisa bedakan jenis luka kali ya."

      "Kalau yang di sudut bibir bisa karena benturan. Sampai robek lumayan ngeri juga bu. Kalau ini tusukan ya dok, diameternya kecil. Tapi bukan dari pisau. Bener ya pak." Perawat pria yang sedang membantu dokter itu ikut menimpali menebak dan juga bertanya.

      "Gak bakal dijawab mas, saya yang istrinya aja tanya ke dia sampe sekarang gak dia jawab. Ini luka apa."

        Dokter wanita itu tertawa dengan tingkah pasangan ini. "Main rahasiaan ya bu. Hehe. Tapi sudah steril bu. Udah bersih. Gak perlu khawatir. Sebaiknya jangan mandi dulu hari ini pak. Tapi boleh kalau diseka-seka. Oke—mungkin tengah malam bapaknya agak demam. Saya resepkan obat demam dan pereda nyeri."

❄️❄️❄️

        Keadaan temaram di pekarangan rumah mereka cukup seram jika lampu-lampu hias atau lampu taman yang tersebar di luar area kediaman tidak menyala. Tetapi bisa dicoba saat penat untuk menikmati cuaca malam hari di luar sini sambil berjalan-jalan. Pemandangannya menyejukkan hati dan mata. Apalagi jika langit sedang bersahabat. Sangat cantik.

        Rose terperangah melihat pergelangan tangannya yang tiba-tiba berat karena diraih paksa oleh Jungkook. Baru satu menit lalu mereka berpisah. Kenapa sekarang suaminya bisa berjalan beriringan dengannya.

       "Istirahat sana. Minum obatnya." Usir wanita itu, sambil melepaskan jemari Jungkook disela-sela jemarinya, namun ditepis oleh sang suami. "Saya sakit, jangan marah-marah terus."

       "Astaga. Kita beda arah. Kamu kesanaaaaa." Rose menunjuk-nunjuk rumah besar milik Jungkook.

       "Tadi rencananya mau minta kamu nginep di rumah saya. Tapi bibi yang ketemu kamu di depan itu suka kebangun tengah malam, nanti dia curiga misal liat kamu keluar kamar saya."

       "Ya terus."

       "Makanya ini saya nginep di rumah kamu. Saya maunya sekamar malam ini. Jangan pisah kamar."

Roseanne berhenti melangkah, menyugar surai rambutnya. Stres sudah di ubun-ubun kepala. Menunjukan keadaan pakaian yang da di tubuh Jungkook. "Tidur pake kemeja. Gak mungkin kan."

        "Nanti dilepas semua. Biasanya tidur cuman pake boxer. Atau kamu mau saya gak pake boxer sekalian." Sahut Jungkook dengan entengnya.

        "Pulang ke rumah sendiri kenapa sih. Toh besok pagi kita ketemu."

Kali ini Jungkook yang berhenti melangkah. "Masa tidur sendiri. Lagi sakit lho ini suami kamu. Kenapa marah-marah aja dari tadi."

Roseanne menekuk wajahnya. Sudah tidak bisa berkata-kata lagi. Tidak sanggup berhadapan dengan tingkah laku Jeon Jungkook.

        "Besok hari Sabtu ya?"

        "Bukan, besok Jumat."

        "Hari Sabtu saya ikut massage."

        "Ngapain, mana bisa dipijet punggung kamu luka."

        "Siapa yang mau dipijet badan. Saya mau refleksi kaki, sering kram. Gejala asam urat kayaknya."

       "Duh, asam urat apanyaa. Ada-ada aja." Rose berjingkat-jingkat jengkel, bergaya seperti memukul-mukul dari kejauhan di belakang punggung suaminya yang berjalan bak supermodel.

       "Oh iya sayang."

       "Apalagiiiiiiiii."

       "Besok kamu masuk siangan aja. Saya yang anter ke kantor buat absensi. Terus langsung berangkat temenin saya larung abu jenazah mamah."

❄️❄️❄️

       Bukannya mendapat simpati, Joshua malah memberikan pelajaran yang setimpal. "Sakit gak gue pukul. Otak tuh dipake." Tonjokan keras itu membuat panas dan nyeri punggung tangan Joshua. "Capek-capek gue bikin lo bebas. Masih aja kelakuan lo."

      "Bukan maunya gue."

      "Alah. Bukan maunya lo apaan. Eunwoo cerita semuanya. Gue tau adek lo ya. Dia bisa aja bikin lo mampus waktu itu. Tapi Jungkook diem aja lo pukulin. Sinting lo. Adek lo itu. Dan kalau bukan Jungkook yang cabut laporan. Lo bisa masuk sel lagi Wonuuu."

      "Kenapa lo jadi belain dia. Gue yang jadi korban disini."

      "Terserah. Capek ngomong sama lo. Dari dulu lo selalu cemburu, iri sama apa yang adek lo punya. Sadar ya, yang bikin Jungkook sengsara, trauma itu lo. Nih terima." Joshua menaruh kartu debit di telapak tangan Wonu. "Dari Jungkook buat lo. Isinya bikin kaget gue. Mikir lo. Itu anak disia-siain sama keluarga lo. Tapi masih bisa baik."
    
      Joshua beranjak pergi. Wonu semakin marah dan melempar keras kartu ke lantai. Hanya kepada Joshua saja Wonu masih bisa bersikap baik dan sopan. Tidak berani bertindak di luar batas. 

Rote - Seide || Rosékook [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang