EPILOG [1.1]

1.4K 132 17
                                    

        Seokjin berdiri memandanginya dari kejauhan dengan wajah super tenang. Enam bulan lalu, setelah kematian istrinya. Jungkook pergi ke rumah sakit jiwa mengamuk disana, menghajar Wonu habis-habisan. Hampir membuat kakaknya kehilangan nyawa. Untungnya Namjoon orang pertama yang berhasil tiba kemudian membawa Jungkook pergi dari sana lalu Eunwoo lah yang memberikan kabar kepada dokter Seokjin untuk penanganan psikisnya. Setelah kejadian itu, Jungkook tidak pernah menunjukkan reaksi marah, kecewa, bahagia, sedih, menderita. Semuanya tidak ada—

        Reaksi yang selalu mengikutinya diam, diam dan tidak bicara. Jika melihat kehadiran teman-temanya, Jungkook memilih pergi dan mengabaikan mereka semua. Suatu hari, ketika mereka hendak membawa pergi melakukan pengobatan di rumah sakit jiwa. Jungkook marah besar, melukai semua orang, sampai membuat Jimin terluka parah di lengan. Alhasil perawatan untuk Jungkook terpaksa dilakukan di kediamannya. 

      "Saya menanganinya sejak sepuluh tahun lalu. Sekarang diminta menanganinya kembali oleh pihak perwakilan keluarga. Saya sudah coba, dan hasilnya tidak bagus. Hari ini saya serahkan kasusnya ke kamu. Sudah dipelajari medical reportnya—dokter Jiho." Seokjin tersenyum teduh sedangkan wanita ini melihat ke arah berbeda. Yakni pada orang-orang di sekelilingnya dengan tatapan sulit dijelaskan. "Siklus kehidupan." Itulah garis besar kesimpulan yang Jiho buat.

      "Sudah dok." Sahut Jiho tegas. Ia kembali memperhatikan Jungkook yang duduk seorang diri di teras depan rumah, tatapan matanya kosong.

      "Mohon bantuannya dokter Jiho." Eunwoo menunduk dengan kedua tangan ditangkupkan. Jimin menjadi sendu, kadang mengeluarkan air mata tanpa sadar. Namjoon dan Saerom saja yang lebih kuat.

       "Sudah berapa bulan, beliau begini?"

       "Enam bulan." Saerom menjawab.

       "Ada empat pesan kehidupan. Pertama: tidak baik mencintai makhluk hidup melebihi cinta kepada Tuhanmu. Kedua: Tidak baik bersedih berlebihan sehingga mengabaikan dirimu sendiri atau melukainya. Ketiga: Dua hal sebelumnya itu membuatmu jauh dari Tuhan sehingga luka-lukanya terus berkembang. Padahal dari-Nya dan kepada-Nya semua berasal. Terakhir: jangan mengambil pekerjaan Tuhan, karena bukan wewenang kita." Sampai pada penjelasan terkhir, Jiho tersenyum pada semuanya. Ia mengeluarkan kitab untuk di dekap dan melilitkan kalung di jemari tangannya. Melangkah dalam damai menuju Jungkook yang masih diam bak mannequin, hanya mata saja yang berkedip-kedip dengan tatapan kosong. Di belakang sana semua orang harap-harap cemas. Hanya Seokjin yang benar-benar tenang.

       Diletakkan kitab dan kalung di atas meja. Pada awalnya Jungkook tidak perduli, dua detik kemudian, kepalanya menunduk. Melihat keduanya dengan seksama.

       "Setiap yang bernyawa pasti meninggal. Termasuk kita berdua." Suaranya membuat Jungkook mendongak. Eunwoo, Namjoon, Saerom dan Jimin terkejut dengan reaksi yang Jungkook tunjukkan.

       "Dibandingkan saya, Tuhan lebih menyayangi Anda pak Jeon."

        Jungkook meringis mendengarnya, seperti sebuah ejekan.

         "Jangan dibuang ya pak. Silahkan kitabnya dibaca saat senggang. Saya permisi."

         Tiba-tiba air mata Jungkook luruh, ketika Jiho bersiap pergi.

        "Nama Anda siapa?"

         "Jiho, saya teman dokter Seokjin." Sahut wanita itu tersenyum simpul. Jungkook berusaha membalas senyumannya. Sulit.

         "Saya tidak keberatan Anda disini dokter." Suaranya parau, sesak sekali menahan tangis.

        "Bersedia menerima perawatan, dan arahan dari saya pak."

         Jungkook mengangguk. Setiap hari otaknya semakin gila. Berusaha meyakinkan jika mengakhiri hidup adalah satu-satunya jalan terbaik. Keinginan itu semakin besar saja.

         Lagi-lagi Jiho tersenyum. "Lakukan semuanya, ulangi semuanya. Seperti yang mereka berdua lakukan. Semua ketakutan dan rasa bersalah harus dilawan. Perlu waktu. Tentu saja. Semakin hari akan membuat Anda terbiasa pak. Masih bersedia?"

         Tidak ada anggukan atau penolakan. Jungkook kembali diam. "Reanne orang yang penting di masa lalu saya. Roseanne orang yang penting dimasa sekarang saya. Keduanya sama-sama terluka karena ke-egoisan saya. Reanne saya abaikan karena saat itu saya merintis usaha. Hingga dia terbunuh oleh kakak saya sendiri. Roseanne meninggal dalam keadaan hamil. Bayi kami. Saya tidak jujur padanya tentang kematian saudari kembarnya, selama ini cara yang saya gunakan untuk melindunginya ternyata senjata yang paling menyakitinya." Jungkook tidak tahan. Isak tangisnya pecah.

        "Anda bisa mengadopsi anak kembar pak." Jawaban Jiho sontak membuat Jungkook berhenti menangis, ia mengangkat wajahnya. Melihat seksama pada wanita itu.

       "Maksud Anda bagaimana dok?"

       "Nantinya setiap hal yang membuat hati Anda berat, rasa bersalah, dan penyesalan. Bisa digantikan dengan kebaikan baru terhadap subjek yang sama."

        "Apa bisa?"

        "Berbuat baik itu tidak terbatas pada apapun pak, nanti Anda mengerti maksud saya. Bagaimana setuju dengan saran saya?"

        "Jika tidak ada anak kembar?"

        "Tidak masalah. Beda satu tahun juga masih bisa. Saya tetap mendampingi pak Jeon dalam prosesnya."  
       
        Sekarang beban di hati Jungkook sedikit berkurang. Setelah pembicaraan mereka. Jiho pamit. Sebelum pulang ia membuka kitab di depan Jungkook. Terselip kertas. Jungkook membaca semua kalimatnya yang tertulis sama persis yang disampaikan kepada Namjoon, Jimin, Eunwoo dan Saerom (empat pesan kehidupan).

Rote - Seide || Rosékook [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang