🎑Roti Bakar Kenangan🎑

524 36 6
                                    

Aku sudah berdiri didepan pintu kayu ini selama sepuluh menit lebih. Tanganku masih ragu untuk mengetuknya. Ponsel disaku celanaku bergetar, kutemukan pesan dari Mama kalau dia sudah mengabari Tante Diah tentang kedatanganku.

Aku menyerngit, paksaan yang benar-benar membuatku dilema. Dulu, aku sudah bertekad tidak mau datang lagi kesini, kuputuskan hal itu setelah seseorang menyakitiku, entahlah apakah aku bisa mengatakan kalau aku disakiti? Wow, menyedihkan sekali dirimu, Aumy.

Tapi karena aku juga ingin bertemu Tante Diah, ya sudah, kutelan bulat-bulat rasa maluku. Kuketok pelan pintu itu, sampai dua kali, langkah kaki seperti berlari mendekat, aku menelan ludahku, berharap Tante Diah lah yang akan membukakan pintu untukku.

"Maaa, ada tamu." Lelaki didepanku menatapku acuh. Aku mengerjap, mencari tahu siapa orang yang didepanku ini. Tante Diah tergopoh-gopoh sambil membawa dua gelas jus dinampan.

"Masuk sayang. Ayo." Tante Diah meletakkan jus itu dimeja dan berjalan kearahku. Dia memelukku erat setelah itu.

"bagimana bisa kamu lupa sama Kak Aumy sih Rey? Dasar!" Tante Diah menepuk pundak lelaki itu cepat.

"Ei, ga mungkin. Tante ini Reyga?" Aku terkejut mengetahui siapa sosok lelaki gagah didepanku.

Tante Diah mengangguk cepat dan tersenyum. Wajahnya tampak lemah.
Reyga, anak bungsu Tante Diah, dulu sewaktu aku bersekolah menengah disini, SMP, si Reyga masih SD, masih imut-imut gitu. Sekarang, luar biasa tampannya. Tingginya melebihiku, kulitnya putih mulus, seperti biasa point pentingnya terletak dihidung mancung Reyga. Serius Reyga ganteng!

Aku memeluk Reyga cepat. Menggosok rambutnya pelan sambil berjinjit. Aku masih geleng-geleng tak percaya. Sedangkan Reyga hanya menatapku tanpa ekspresi. Aku menatapnya, sesaat Reyga sangat mirip dengannya. Ya, mirip dengan lelaki itu.

Reyga pamit masuk kedalam setelah mencomot roti bakar bawaanku. Aku mengedarkan seluruh pandanganku kerumah itu. Dulu, aku sangat sangat sangat sering main kesini, hampir tiap hari. Rumah ini masih terasa familier untukku, padahal sudah bertahun-tahun yang lalu kenangan itu terjadi.

"Dia belum pulang, Aumy. Mungkin sebentar lagi." Tante Diah menepuk-nepuk tanganku. Aku kaget dengan perkataannya. Ending-nya aku hanya ketawa canggung. Sedikit merasa dipergoki.

"Tante sehat? Mama sama Papa titip salam. Mungkin akhir bulan ini Mama bakal kesini Tan." Aku menatap Tante Diah sambil tersenyum. Tante Diah hanya mengangguk dan terus saja menatapku.

"Kamu masih saja seperti dulu sayang. Tetap cantik, sopan dan juga ceria." Tiba-tiba saja tante Diah memujiku. Aku mengelak sambil malu-malu.

Jujur, aku merasa diriku bukanlah Aumy yang dulu, maksudnya, dulu sewaktu aku SMP disini, aku benar-benar kucel. Seorang Aumy yang tidak mementingkan penampilan, ke sekolah hanya memakai bedak tabur, kemudian berbekal parfum anak bayi juga.

Sebaliknya teman-temanku sudah ber-makeup ria dengan gaya luar biasa. Jadi penampilanku dulu dengan sekarang benar-benar bertolak belakang. Aumy yang dulu cuek dengan polesan-polesan, sekarang sudah mulai memperhatikan penampilan, berkat seseorang dari penghuni rumah ini tentunya.

"Echa minggu besok datangnya sayang, kalian udah saling mengabari?" Tante Diah mengambil roti bakar dan mencelupkannya kedalam jus, kebiasaan yang masih aneh dipikiranku.

Aku mengangguk, ya Echa sahabat baikku sampai saat ini. Echa adalah keponakannya tante Diah, dulu Echa tinggal disini saat SMP, maka dari itu aku sering main kesini. Sekarang Echa akan bertolak dari Semarang kesini. Bandung. Kota kenangan masa sekolahku.

Tante Diah terbatuk saat aku tengah bercerita tentang kehidupanku di Padang. Aku memandang perempuan yang sebaya dengan Mamaku itu penuh telisik. Tante Diah sepertinya kurang sehat, dia memakai selendang tebal dan juga memakai syal. Tidak seperti dulu. Dengan hati-hati aku beralih duduk kesisinya, bertanya hati-hati. Ternyata benar, Tante Diah tidak dalam kondisi baik-baik saja.

"Rey, beliin Mama martabak depan Gor, Rey. Sekalian buat Kak Aumy. Rasa nangka ya, pesen tiga sayang." Tante Diah memanggil Reyga yang berada diruang tengah.

"Ma, serius Rey banyak tugas, lagi online buat tugas kelompok." Penolakan dari Rey membuat Tante Diah menghela nafasnya. Aku memberanikan diri memberikan opsi kalau aku saja yang pergi.

"Kamu kesini bawa mobil sayang?" Suara Tante Diah terdengar.

Aku menggeleng dan menjawab aku kesini dengan taxi. Berhubung mobil belum dikirim dari Padang, yasudah aku terpaksa kemana-mana sampai akhir bulan pakai taxi atau angkutan umum lainnya.

"Atau tunggu satu setengah jam lagi Ma, dikit lagi selesai diskusinya." Suata Reyga kembali terdengar.

"Satu setengah jam itu lama. Kamu gimana sih. Keburu tengah malam Mama dan Kak Aumy menyantapnya." Tante Diah merajuk.

"Aku bisa pergi kok tante, bawa motor aja juga gapapa." Aku jadi menggaruk kepalaku ragu-ragu. Tadi sempat kulihat sebuah motor matic didepan garasi. Tante Diah menolak keras saat opsi itu kusampaikan.

"Udah malam, tante ga mau lepas kamu keluar." Tante Diah memperbaiki syalnya.

Aku mulai cemas. Takut kalau aku tak bisa pulang malam ini, takut kalau tante Diah memaksaku untuk menginap. Tuhan tolong. Aku tak ingin bertemu dengan lelaki dingin itu.

Bunyi klakson mobil terdengar dari luar, bulu kudukku meremang seketika, menyadari seaeorang yang akan datang.

"Kok klaksonnya beda?" Tante Diah berjalan kearah pintu.

Aku meremas ponsel ditanganku, menghela nafas kasar. Kenapa aku nervous begini? Hahah Aumy Aumy.

"Juan masuk dulu, minum dulu sini." Terdengar suara Tante Diah dari luar. Aku masih dag dig dug.

"Ada tamu Ma? Kok lampu ruang tamu hidup?" Indra pendengaranku menangkap suara berat itu secepat kilat. Aku menelan ludah berkali-kali. Aku menyesal tidak pulang cepat. Aku terbuai cerita-cerita Tante Diah. Dalam hati aku menangis.

Tante Diah masuk dan langsung duduk disampingku. Aku tak berani menatap sesosok bayangan disampingku. Tante Diah tersenyum menatapku, sepertinya Tante Diah tahu akan maksud sikapku.

"Ganti baju dulu, Mama mau minta tolong." Tante Diah menyuruhnya masuk kedalam. Setelah kepergian lelaki itu aku masih saja tak berani mengangkat kepalaku. Aku benar-benar ingin pulang saat ini.

"Kalian masih belum berkomunikasi? Kamu masih marah sama Arav sayang?" Tante Diah mencari manik mataku.

"Bu.. Bukan tante." Aku mengelak cepat.

Sekitar dua puluh menit aku duduk dengan tidak nyaman. Perkataan Tante Diah tentang Arav yang akan mengantarku pulang menjadi pusat stres ku saat ini. Aku sudah menolak keras tawaran Tante Diah, beralasan aku ingin singgah dulu untuk membeli bahan makanan untuk besok, akibat alasan bohongku Tante Diah semakin menjadi-jadi menyuruhku pulang dengan Arav saja, karena hari sudah malam.

"Kalian harus berbaikan, sudah berapa tahun ini? Sekalian Tante juga ingin beli martabak." Perkataan Tante Diah tak bisa kutolak lagi.

Aku meneguk jus didepanku karena tenggorokkanku tiba-tiba terasa kering, pikiranku melayang jauh, apa yang akan aku katakan nantinya diperjalanan pulang? Sedikit sesal menjalar dihatiku, seandainya aku pulang lebih awal aku tidak akan bertemu dengan lelaki itu.

Will be continued ...

HAPPY READING~♡

PRECIOUS WOUNDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang