priyambada

3K 512 247
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.































Pagi ini ramai terdengar orang berkumpul di pelataran batu milik kerajaan Mataram Hindu. Suara debuman pintu logam besar yang ditutup oleh enam penjaga memekakkan telinga pendengarnya. Ricuh manusia Jawa berbicara akan peristiwa yang terjadi berhenti tatkala langkah raja muda itu mendekati tiga orang yang bersujud minta ampun atas perbuatannya.

Malam kemarin jejak tersangka yang berani membunuh Maharaja Panangkaran sudah terendus baunya, pihak keamanan dan ketertiban dari kerajaan Mataram Hindu mengikuti jejaknya dan menangkap tiga orang yang jadi dalang pembunuhannya. Mereka para pelayan yang baru saja masuk menjadi pegawai di istana, yang ternyata kiriman dari Singasari yang menyimpan sakit hati atas penolakan perjodohan putri mereka serta Jeno si calon raja.

Bunyi gemerincing dari gelang kaki kulit dan logam yang dikenakan oleh Jeno terdengar begitu nyaring karena keadaan pelataran yang sepi mencekam. Bayangkan saja, pejabat korupsi dihukum potong lengan dan sekarang pelayan yang membunuh raja, hukuman apa yang sekiranya pantas diberikan?

"Baginda raja, saya beserta teman saya tidak punya pilihan lagi selain mengikuti perintah pangeran Damanwitah. Keselamatan keluarga saya yang jadi taruhan, saya mohon ampun Baginda. Saya mohon ampun.", rintihan menyedihkan keluar dari salah satu pelayan yang bersujud tadi. Tubuhnya sudah nyeri tidak karuan karena disiksa saat ditahan di penjara bawah tanah oleh para penjaga istana. Beberapa buah giginya sampai lepas karena kerasnya hantaman yang dilayangkan.

Jeno yang mendengar suara memuakkan dari si pelayan menatap orang berdosa itu dengan nyalang. Dirinya berjalan hingga ke hadapan si pelayan dan berjongkok untuk menatap lurus pada wajahnya yang sudah membiru.

"Apa Maharaja Panangkaran juga kamu beri ampun? Apa salah ayah saya sehingga kamu berani meracuninya?" Jeno berkata datar sambil mendongakkan kepala si pelayan.

Raja baru Mataram Hindu itu lantas menepuk-nepuk pipi lebam si pelayan dengan lumayan keras, "Sekarang katakan, hukuman apa yang paling pantas diberikan kepada manusia yang menghilangkan nyawa sesamanya, terlebih itu adalah seorang raja. Seorang Maharaja Mataram Hindu yang sudah membawa beribu orang menjadi manusia yang sebenarnya."

Kedua orang di kanan kiri pelayan yang daritadi diajak berbicara oleh Jeno saling bersitatap tegang, niat mereka melakukan hanyalah untuk menyelamatkan nyawa keluarga mereka baik itu dari ancaman pembunuhan oleh pangeran Singasari ataupun dari kelaparan.

Tiba-tiba senyum tampan terukir di wajah Jeno, lengkungan bulan sabit di matanya elok sekali, jika ini bukan waktu-waktu eksekusi, orang-orang pasti akan mengagumi indahnya rupa si raja. "Kalau begitu karena kalian tidak menjawabnya, saya yang akan memutuskan hukumannya."

Tubuh kekar itu berdiri, berjalan menuju kursi yang disiapkan untuknya dan duduk nyaman diatasnya. Kepalanya dimiringkan ke arah kanan dan ditumpu oleh tangannya yang berlapis gelang emas.

Buntara Asmara | Nomin☆Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang