Senyuman Lelaki Tua (Part 1)

13 6 0
                                    

"Anjir! Sial gila!" umpatku begitu turun dari bus yang membawaku melintasi Bontang-Balikpapan ini. Langkahku terseok-seok karena lelah berdiri selama kurang lebih lima jam dengan goncangan kesana-sini dan senggolan orang-orang yang juga berdiri. Peluh menjalar turun perlahan di balik kemeja lusuhku.

Tadi saat hendak turun, barulah aku menyadari bahwa dompetku beserta seluruh isinya raib dibawa orang. Pasti orang berkumis tipis dan berbaju biru pupus tadi yang telah mencurinya, pikirku. Bapak-bapak yang berumur sekitar empat puluhan itu tampak kumal dan dekil saat aku melihatnya naik ke dalam bus. Dia tidak membawa apapun selain tas sandang yang sudah kelihatan usang.

"Permisi ya, Nak..." katanya sambil melewati lorong tempatku berdiri. Ia tersenyum sekilas. Awalnya kupikir ia pastilah baik. Aku selalu saja mudah terkesima oleh senyuman orang lain.

"Bapak mau kemana?" tanyaku ramah, bosan karena tak ada orang yang ku ajak bicara sementara punggungku mulai pegal karena terus berdiri.

Bapak itu mengangguk, "Saya mau pulang kampung ke Malang, Nak. Sudah sepuluh tahun saya di Samarinda,"

"Kerja apa di Samarinda, Pak?"

"Hanya tukang kayu biasa. Saya merantau karena kondisi ekonomi keluarga kami. Terpaksa saya tinggalkan istri dan anak di sana. Untung saja mereka tak pernah mengeluh saat saya hanya mengirim uang sekedarnya. Untuk pulang kesana saja sekarang, saya harus menabung dulu selama sepuluh tahun," jelas bapak itu sambil menyeka peluh di dahi. Aku semakin iba melihatnya.

"Namamu siapa, Nak?" tanyanya sembari kembali menampakkan senyum.

"Saya Yudha. Saya mau pulang ke Balikpapan untuk kembali bekerja setelah liburan seminggu di Bontang," jawabku, "Oh ya, nama Bapak siapa?"

"Oh, nama saya Mahmudin. Tapi panggil saja saya Pak Mahmud,"

"Apa Bapak tak pernah sekali pun berkirim kabar dengan keluarga Bapak di Malang?" tanyaku lagi, heran dengan keadaannya.

"Ya begitulah, Nak Yudha. Dulu saya sering menelpon mereka, namun lima tahun terakhir saya kehilangan kontak. Mau memakai apa itu... email, saya juga ndak bisa. Jadi selama ini saya hanya berkirim sms saja. Istri saya ndak bisa nulis dan anak saya satu-satunya saja yang sering membalasnya. Tetapi hampir lima tahun belakangan ini ia tidak pernah memberi kabar lagi. Sepertinya nomornya sudah tidak aktif. Tetangga kami pun juga bilang tidak tahu,"

Raut muka Pak Mahmud nampak sedih, ia menerawang ke arah jendela bus. Pemandangan di luar berjalan cepat. Secepat pikiran dalam benakku yang semakin miris melihat kehidupan seorang lelaki tua ini.

"Nak Yudha sendiri bagaimana keluarganya?"

"Saya lahir dan besar di Balikpapan, Pak. Sudah dua puluh tujuh tahun saya tinggal di kota itu," Aku tersenyum tipis dan sedikit tersipu, "Sebenarnya... kedatangan saya ke Bontang bukan hanya ingin liburan saja. Tetapi saya ingin melihat calon istri saya yang tinggal disana,"

Pak Mahmud tertawa. Ia menepuk pundakku, "Ya, ya... saya lihat kamu memang sudah pantas berumah tangga. Selamat ya, Nak! Kamu membuat saya semakin rindu saja ingin segera bertemu istri di sana,"

Lalu kami berdua menikmati perjalanan dengan penuh obrolan tanpa pernah sekalipun terbersit rasa curiga dalam benakku. Aku pun tidak tahu bahwa selagi aku lengah dan sedikit mengantuk, ia lantas merogohkan tangannya ke dalam saku belakang celanaku. Sial!

Memang aku tak melihat kejadian itu. Tapi aku yakin sekali bahwa Pak Mahmud adalah pelakunya. Bersikap sok baik dengan senyuman palsu, mencoba akrab dengan para penumpang polos sepertiku, lalu diam-diam mencuri dompet. Pencuri yang sangat lihai, ia pasti sudah berpengalaman.

Kidung AksaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang