Senyuman Lelaki Tua (Part 2)

12 6 0
                                    

Kulihat Pak Mahmud terbaring lemah tak berdaya diatas kasur putih itu. Aku masuk dan mengucapkan salam. Hatiku terus saja diliputi perasaan yang sangat bersalah. Teganya aku sampai berpikir dan menuduhkan sesuatu yang buruk pada seseorang yang menjadi penolongku.

"Pak, saya benar-benar berterima kasih pada Bapak...," kataku seraya menaruh bingkisan berupa buah-buahan di meja kecil di samping ranjangnya.

Pak Mahmud tersenyum tabah, "Tak apa, Nak Yudha. Memang sudah takdir Bapak seperti ini,"

Aku yang teringat suatu hal kemudian menggenggam sebelah tangan Pak Mahmud dan berkata, "Pak, biar saya saja yang menanggung semua biaya rumah sakit dan tiket pesawat. Saya minta maaf karena kejadian ini perjalanan Bapak menuju Malang jadi terhambat. Biarlah saya meminta maaf dengan ini, Pak. Saya akan lega jika Bapak mau menerimanya,"

"Terima kasih, Nak. Kau benar-benar memiliki hati yang baik,"

Hatiku tersentak pelan. Hati yang baik? Sudah berapa lama aku tak mendengar seseorang mengucapkan kata itu padaku. Aku merasa tak pantas menerima kata itu, terlebih aku sudah berprasangka buruk dan mencaci-maki orang itu. Pantaskah aku?

"Nak Yudha... sebenarnya jika saya melihatmu, saya jadi teringat kepada anak saya yang mungkin usianya kini sudah sama sepertimu," kata Pak Mahmud tiba-tiba.

"Anak Bapak itu seorang lelaki?"

Pak Mahmud menerawang kembali, mengingat masa lalunya. "Iya, dia anak satu-satunya. Ia membuat saya dan Ibunya bangga. Bagaimana tidak, sejak kecil ia selalu meraih juara MTQ di kampung kami. Alhamdulillah, kami berhasil menyekolahkannya sampai SMA walaupun dengan beasiswa pemerintah dan kerja pas-pasan kala itu. Dia benar-benar anak yang baik dan sholeh. Mungkin kini ia sudah menjadi seorang ustadz,"

Senyum itu kembali nampak di wajah Pak Mahmud yang penuh kerut karena mulai termakan usia. Senyuman sederhana yang tulus. Senyum yang tertutupi oleh kotornya prasangka hatiku.

Tanpa ada pikiran apapun tiba-tiba saja aku bertanya, "Siapa nama anak Bapak itu?"

"Namanya Yusuf Syaifullah," Pak Mahmud mengatakan nama anaknya dengan pelan dan jelas. Membuatku sangat terkejut untuk kesekian kali dalam hari ini...

***

Aku mengajak Josh untuk bertemu di sebuah café favorit kami. Kalimat dari Pak Mahmud kemarin pagi masih terngiang-ngiang di pikiranku. Dan aku harus memastikannya.

"Jo, aku mau bertanya satu hal. Aku harap kau jawab dengan jujur," kataku serius. Sementara itu Josh sedang asyik memilih menu yang ingin ia pesan.

"Tumben kau mau berbicara serius denganku, Yud. Sudahlah... kau katakan saja apa pertanyaanmu itu,"

Aku memesan cappucino sementara Josh memilih café latte sebelum kemudian aku berkata, "Waktu kau titipkan dompetmu malam itu di bar, aku tak sengaja melihat KTP milikmu,"

Josh menatapku tajam, "Lalu? Kau sudah tahu..."

"Namamu ternyata bukan Josh," selaku singkat.

Ia terdiam sejenak, kemudian menghela nafas. "Ya, nama asliku... Yusuf Syaifullah,"

"Mengapa, Jo? Kau tak pernah bercerita tentang ini padaku. Kupikir kita ini sahabat."

"Baiklah, akan kuceritakan kehidupanku sebelumnya padamu..." jelas Josh yang mulai meminum kopinya.

"Aku lahir di sebuah keluarga kecil dan miskin yang tinggal di Malang. Bapakku pergi merantau ke Samarinda sepuluh tahun lalu saat aku masih berumur tujuh belas tahun. Awalnya kupikir nasib kami akan bertambah baik jika bapak mencari kerja di Kalimantan.

Kidung AksaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang