Pancarona

17 5 0
                                    

Alunan musik terdengar merdu dari ukulele dan tifa yang dimainkan oleh beberapa pemuda Kampung Maralol, yang terletak di Pulau Salawati Selatan kala sore menjelang malam itu. Tampak muda-mudi serta orang tua sedang menggerakkan badannya mengikuti lantunan musik sembari menyanyikan lagu-lagu khas Papua Barat.

Aku ikut hadir dan duduk bersama murid-muridku. Memandang penuh minat pada budaya yang masih terasa baru di hidupku. Indonesia benar-benar keren! Tak salah aku jauh-jauh dari Sumatera pergi ke Papua.

"Na ma ma na' se*, Ibu Erin!" ujar seorang mama menyentuh bahuku. Sebutan mama di Papua adalah hal yang lumrah bagi seorang wanita yang telah menikah dan memiliki anak. Semua orang bisa memanggil dengan sebutan seperti itu.

"Mama, ibu guru dong tra tahu bahasa kitorang e!**" sahut anak si mama menarik baju mamanya sambil menggerutu. Sang mama terlihat malu dan tertawa di depanku. Aku hanya tersenyum menanggapinya.

"Iyo mama, sa cuma bisa bahasa Papua yang umum saja. Tra tahu bahasa Suku Moi lai***," jawabku cepat. Aku adalah Erinna, seorang peneliti sekaligus guru yang mengabdi selama lima tahun di Papua. Kebetulan aku mendapat wilayah penempatan di Pulau Salawati yang mayoritas dihuni oleh orang-orang Suku Moi. Mereka menyebut Pulau Salawati dengan sebutan malaibinkeyam yang artinya tanah kecil atau pulau kecil. Mala dalam bahasa mereka berarti tempat atau gunung, ibin berarti tanah, dan keyam berarti kecil.

Hari ini adalah hari pernikahan kakak salah seorang muridku. Di kampung ini orang-orang merayakan pernikahan, penyambutan tamu, perpisahan, dan pengangkatan ondoafi atau ketua adat dengan cara berpesta. Mulai dari memanggang berbagai macam makanan, memainkan musik, bernyanyi, dan berjoget sampai malam. Aku memenuhi undangan tetapi tidak sampai malam karena aku harus segera kembali pulang ke rumah untuk melaksanakan ibadah solat magrib.

"Ibu guru, besok kita akan praktik pelajaran Bahasa Indonesia tentang puisi. Saya tidak sabar rasanya!" seru Sarkeus saat ia menemaniku dalam perjalanan pulang menuju rumah. Disini tidak ada listrik, jadi kami menggunakan senter untuk menyusuri jalan setapak yang banyak dilalui anjing-anjing peliharaan warga.

Lusinda ikut menyahut, "Saya mau membuat tulisan seperti cerita yang ibu guru beri tahu kemarin. Saya akan siapkan di rumah,"

"Iya, besok kita coba e. Sekarang kalian segera pulang dan tidur. Jangan ikut pesta terlalu larut karena besok kita masih harus masuk sekolah. Setelah pulang sekolah besok, ibu akan ikut kalian mencari ikan," jawabku ketika tiba di ambang pintu rumah. Serentak Lusinda, Sarkeus, dan tiga orang anak kelas enam lainnya bersorak gembira mendengar rencana tersebut dan mereka pun pamit dengan segera.

Semburat emas dari matahari terlihat tepat pada pukul enam pagi. Di timur Indonesia memang seperti ini, bumi baru nampak terang tatkala aku sudah selesai mandi dan bersiap sarapan. Ibu Kalsum, teman satu rumahku yang merupakan ibu guru dari Ternate selesai menjerang air panas. Kami berdua lahap memakan nasi putih, sayur terong, dan ikan samandar goreng.

"Ibu guru, saya sudah bawa buku. Ayo, kita segera baca puisinya! Saya sudah berlatih semalam sebelum tidur," kata Mikael. Beberapa anak nampak bersemangat untuk segera berlatih membaca puisi. Di kelas ini saya mengajar kelas lima dan enam. Kelas lima berjumlah enam orang dan kelas enam berjumlah lima orang. Jadi total satu kelas berjumlah sebelas orang saja. Meskipun sedikit namun guru yang mengajar juga minim, hanya tiga orang untuk satu sekolah. Padahal antusias anak-anak sangatlah tinggi untuk belajar dan menuntut ilmu.

Aku pun mengajak mereka untuk berlatih di lapangan sekolah yang penuh dengan rumput hijau dan dikelilingi pohon kelapa. Kami membentuk lingkaran dan masing-masing memegang buku berisi puisi ciptaan mereka. Bergantian mereka bersuara lantang membacakan hasil karya mereka yang masih sangat sederhana. Meskipun intonasi dan nada bicara mereka masih terbawa bahasa suku namun yang terpenting mereka bisa merasa senang.

"Puisi yang baru saja kalian baca tentang cita-cita, kan? Nah, sekarang coba ibu ingin mendengar secara langsung apa saja cita-cita kalian!" kataku setelah mengajak mereka duduk di atas rerumputan.

Lusinda memainkan rambut keritingnya yang diikat rapi keatas, "Saya ingin menjadi seperti ibu guru. Saya mau menjadi guru di kampung ini. Karena disini sangat kurang guru, Bu. Kasihan anak-anak yang nanti tidak dapat bersekolah seperti saya sekarang jika guru asli dari Papua saja kurang."

Aku sangat terharu mendengar penuturan polos dari Lusinda Kemerai, salah satu murid kelas enam yang memang terkenal lebih cerdas di kelasnya. Ia adalah anak sulung dari ondoafi atau ketua adat di kampung ini. Dia seorang anak yang mandiri dan rajin. Setiap sore selalu menimba air dari sumur untuk mengisi tangki persediaan mandi di rumahnya. Ada juga seorang anak yang tak kalah rajin dengan Lusinda, namanya Romario Sabarofek. Ia memiliki wajah rupawan dan gemar dengan beragam hal berbau seni.

"Saya ingin menjadi seorang pelukis, Bu. Atau mungkin juga seorang pemahat seperti ayah dan kakek saya. Kemarin saya berhasil membuat miniatur kapal Sail Raja Ampat bersama kakek. Tapi saya tidak mau seperti ayah yang suka melaut dan lama meninggalkan kami meski saya tahu ayah pergi ke Biak untuk menjual hasil pahatannya." Kata Romario nampak sekilas sedih. Tetapi ia cepat kembali tersenyum lagi.

Julianus Kalapain, murid yang harusnya sudah mengenyam bangku SMA ikut berbicara, "Kalau saya mau menjadi tentara, Bu. Minimal jadi petugas keamanan di desa."

"Kalau begitu kalian rajin-rajinlah belajar, ya. Setelah lulus SD kalian mau melanjutkan SMP, kan?" tanyaku lagi. Beberapa dari mereka mengangguk dan beberapa lagi terdiam saja. Salah satunya adalah Sarkeus. Aku melihat ia tidak seheboh biasanya saat itu.

"Mengapa kamu tidak mau lanjut SMP, Milus?" tanya Lusinda pada Sarkeus yang biasa dipanggil dengan sebutan Milus oleh teman-temannya.

"Saya ingin menjadi pelaut. Saya ingin melanjutkan jejak orangtua saya. Mereka telah tiada, hanya ada saya dan Kak Eron. Kami tidak memiliki biaya juga untuk melanjutkan sekolah saya. Lagipula saya sangat mahir membawa perahu. Kalian lihat to, minggu kemarin saya sudah bisa menyusuri Pantai Seget sampai ke Teluk Kabui? Saya tahu saya memang dilahirkan untuk itu!" seru Sarkeus sambil berdiri dan membusungkan dadanya. Si kecil ini seharusnya juga sudah duduk di bangku SMP, namun karena keterlambatan sekolah dan kemampuannya menyerap pelajaran yang tidak secepat kawannya menjadikan ia masih ada di SD hingga sekarang.

Semua tertawa dan saling menghibur satu sama lain. Aku bersyukur telah dipertemukan dengan mereka, para mutiara hitam dari pulau cendrawasih ini. Pancarona asa mereka kelak akan melesat sebagai doa yang tak kunjung putus membelah langit. Walaupun aku dan mereka berbeda suku serta agama, kami tak pernah sekalipun mempermasalahkan hal itu. Bagi kami rasa cinta dan sayang antara guru dan murid cukuplah menghapus segala perbedaan yang ada.

"Sepertinya saya punya bakat jadi koki," sela Mikael diantara tawa kami, "Buktinya kalian semua suka dengan kesu buatan saya!"

Kesu adalah singkatan dari kelapa susu. Mikael menciptakan nama minuman racikannya yang terdiri dari kelapa, susu, dan fanta. Minggu kemarin kami meminum langsung dari gelas buah kelapa yang dibuatkan olehnya sehabis pergi ke hutan.

"Ah, itu kemarin waktu kau buat kebetulan kami sedang haus. Makanya kami mau," jawab Sarkeus mengejek. Sarkeus memang suka usil dan mengerjai temannya.

Mikael merengut dan menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Padahal hari ini saya bawa kesu di dalam kelas. Kalau tidak mau baiklah, kalian tak usah dapat!"

Serentak semua rebutan untuk berseru, "Kesu buatanmu paling enak sedunia, Mikael!"

*mari makan

**mama, ibu guru, beliau tidak tahu bahasa kita!

***iya mama, saya cuma tahu bahasa Papua yang umum saja. tidak tahu bahasa Suku Moi.

Kidung AksaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang