Hujan Bulan September (Part 1)

80 8 0
                                    

Ciplak! Ciplak! Cpraat!!

Aku berlari kencang. Air muncrat kemana-mana.

Kubentangkan tangan lebar-lebar sambil menjerit keras pada angin, "Selamat tinggal semuaa! Aku telah bahagia!"

Hujan turun dengan lebatnya. Bunyinya berirama memainkan melodi hatiku yang sedang bahagia. Rinai-rinainya membasahi rambut panjang hitamku yang berpotongan rata. Jarum-jarumnya yang bening menetes pelan dari ujung rambutku, tepi wajahku, dan bulu mataku. Bergulir di tiap pori wajahku, terjatuh, dan mengalir bersama kawannya di halaman sekolah tempatku berdiri mematung saat ini.

Badanku gigil dingin yang menusuk sampai kedalam kulit. Bahkan baju seragam putihku sudah menerawang, memperlihatkan kulit kuning langsatku yang kata orang-orang, sangat indah sebagai wanita Asia. Rok abu-abu yang kukenakan pun telah berat menyerap air yang banyak.

Tanpa tas ransel yang biasa kupakai dan tanpa satupun alas kaki yang kugunakan, aku mematung di depan sekolahku saat ini. Kupandangi langit. Awan-awan berwarna perak berlari secepat jarum-jarum kristal yang ia jatuhkan. Desau angin kencang menerpa pipiku yang kemerahan karena menahan bahagia ini. Aku tersenyum pada hujan.

Kutatap sekolahku sekali lagi. Bangunan yang tak begitu besar untuk ukuran sebuah sekolah di ibukota Kalimantan Timur ini. Tetapi cukup apik dan bersih untuk ukuran sekolah kumuh yang didirikan dipinggiran kota. Kini sekolah ini nampak sepi tanpa ada satupun manusia selain diriku. Ya, aku tahu itu.

Sekolah libur hari ini. Mulai dari guru sampai murid, semua diliburkan karena hari ini sekolah hanya khusus untukku sendiri. Sungguh. Bahkan Pak penjaga gerbang serta para Mbok-Mbok kantin pun enggan datang ke sekolah. Sekali lagi, karena sekolah hanya untukku sendiri hari ini. Bersama hujan tentunya.

Tadi pagi ketika kulihat hujan turun lebat, aku dengan senang hati melompat bangun dari kasur dan memakai baju seragamku. Setelah itu aku makan di warung depan rumahku. Sendiri. Aku tak memiliki ayah dan ibu lagi. Mereka meninggal saat aku berusia lima tahun. Kata paman, mereka pergi ke surga karena merindu Tuhan. Paman bilang ia akan menjagaku sampai mereka kembali datang.

Aku pun menunggu. Dengan senyuman polos anak ingusan yang masih asyik mengemut permen murahan. Sampai akhirnya paman tak menepati janjinya seperti dulu. Ia mulai sibuk pergi keluar kota dengan alasan yang terlalu dibuat-buat. Dan ketika pulang, selalu ada saja bau alkohol serta sisa-sisa lipstik wanita yang merah menyala di kerah kemejanya. Padahal istri paman telah bercerai lama dengannya.

Tepat saat itu kusadari paman telah berbohong padaku. Dan aku mulai mengenal kebohongan. Aku harus menyadari kenyataan. Bahwa ayah dan ibu tak akan pulang. Bahwa paman adalah seorang playboy kelas kakap yang hanya mengirimkan uang-uangnya saat ia tak ada. Bahwa aku kini hanya sendiri.

Kadangkala aku berpikir, mengapa ayah dan ibu tak membuatkan aku saudara lagi. Aku merasa kesepian karena kesendirian ini. Namun kusadari, sendiri bukan berarti sepi. Aku adalah anak yang kuat. Terlahir di bulan setelah Agustus dan sebelum Oktober. Manakala hujan deras sering terlihat di bulan ini.

Sambil berdiri mematung, kenangan-kenangan manis itu kembali hadir dalam helaan nafasku.

***

"Aku benci dengan hujan. Semuanya terasa menyebalkan ketika hujan turun. Kencanku dengan si Edo batal gara-gara hujan lebat. Bete banget nggak sih!" Itu kata Lita si petualang cinta.

Lain Lita, lain pula si Marni. Cewek kampung itu berkomentar dengan logatnya yang khas, "Sebel aku! Gara-gara jemuranku kehujanan kemarin, ibuku marah-marah dan nggak memperbolehkan aku keluar main. Lagian bukan salahku juga, kan! Masa hujannya turun waktu aku lagi asyik mandi kembang tujuh rupa di WC belakang. Setidaknya kalau mau turun pakai permisi dulu kek!"

"Kenapa sih, hujan itu selalu identik dengan kesedihan. Duka yang mendalam seperti air yang dingin itu terus mengalir dalam sanubari setiap insan di muka bumi ini..." celetuk Reno si seniman sableng yang sekelas denganku. Semua gara-gara hujan dan karena hujan. Semua orang selalu menyikapinya dengan rasa yang negatif. Dan bagiku sendiri yang broken home, hujan adalah bahagia.

"Reni... lo ini terobsesi sama hujan, ya?! Lo kok nggak pernah setuju sih, kalau hujan tuh menyebalkan sekali," kata Lita sahabatku itu. Marni juga mengangguk sama. Reno ikut latah dan mengangguk juga.

Aku hanya bisa tersenyum dan berkata, "Ya... pokoknya aku cinta hujan!"

Mereka melongo dengan mulut separuh terbuka dan sedetik kemudian tertawa.

"Ya ampyuun... Ren, pantas saja kamu dinamakan Reni. Karena kamu benar-benar Miss Rainy sih!" cetus Reno. Setelah itu semua anak di kelasku ramai-ramai memanggilku Miss Rainy. Sejak saat itu pula, lelaki itu datang di kelas suramku yang berada di pojok belakang sekolah.

Lelaki berbaju merah bata dengan senyum secerah mentari. Ya, lelaki mentari. Begitulah aku menyebutnya. Karena dia yang telah merubah kelasku yang suram ini menjadi penuh semangat. Dia yang memusnahkan para preman-preman sekolah yang sering mangkal di pojok depan kelasku dengan lembut kasih cahayanya. Dan dia pula yang membuatku terpesona sejak pertama kali aku mengenalnya. Jauh sebelum ia masuk kedalam komunitas kelasku. Jauh sebelum itu....

(Bersambung)

Kidung AksaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang