Dialog Tiga Pagi

24 7 0
                                    

03.00 – dialog pertama

Re belum bisa tidur.  Ia memainkan ponsel di tangannya sambil rebahan di atas kasur. Bibirnya tersenyum sumringah saat Uni menelpon. Berdua mereka bercumbu dalam suara. Menebar rindu yang lama tak bisa disalurkan. Termasuk bergosip tentang salah satu sahabat mereka, Ta. Itu pun jika kata sahabat masih bisa sesuai arti dalam KBBI.

"Dia hamil!"

"Dia hamil?"

Uni mendengus, "Iya, dia hamil. Test pack itu nggak mungkin bohong!"

"Sama siapa? Kok nggak kelihatan ya? Kamu juga tahu dari mana?" tuntut Re tak puas.

"Ah, nggak penting aku tahu dari mana. Kayak nggak tahu aja, intel aku kan hembring. Hamil sama siapa? Yaa nggak jelas gitu, deh. Dia kan suka gonta-ganti." jelas Uni, "Iya deh. Kita kan nggak munafik kayak dia. Terbukti yang sekarang bunting siapa. Kamu tahu nggak, dia pernah ngatain kita binal. Bibi-bibi nakal."

Re tersulut, "Hah? Nggak ngaca apa itu orang? Jelas-jelas dia yang liar kok ya berani ngatain kita gitu. Ah, aku tahu. Ini mungkin gara-gara cowok yang dia taksir itu malah minta nomor hapeku dan ngajak jalan kemarin. Tuh cowok nggak sadar kali ya, kalau aku nggak doyan jantan."

Uni tertawa di seberang, "Dan mereka pun nggak tahu kalau kita sepasang kekasih. Kasihan, sia-sia aja godain kita. Eh, tapi Tita nggak mungkin diam aja. Pasti deh sudah minum sprite, makan nanas, minum obat, sampai usaha jamu-jamuan."

"Masa, sih? Dia gitu?"

"Yah, masih pucuk. Sayang kalau udahan icip-icipnya."

"Eh, bentar ya. Aku balas sms dulu." Re menahan panggilan Uni.

Say, kamu dijelek-jelekin sama dia. Dasar yaa, tahu darimana dia kalo kamu hamil? Sabar ya!

Sent to : Ta

"Sampai mana tadi?" tanya Re menempelkan ponsel di telinganya kembali.

Uni menyahut, "Belum lagi tahu nggak, cowoknya kan nggak jelas siapa gitu. Jadi pengen lihat nanti anaknya gimana. Hidung si X, mata si Y, rambut si Z. Eh, eh, aku bales sms juga nih. Sebentar ya, jangan ditutup."

Iya say, dia bilang kamu munafik. Tapi don't worry lah, aku belain kamu kok.

Sent to : Ta

Ta hanya menatap nanar layar ponselnya. Dua sms penuh dusta menghiasi benaknya. Ia sadar, percuma bertahan dengan hubungan yang penuh kebohongan. Karib yang hanya di bibir saja. Ia bertekad ini terakhir kali ia memutuskan hubungan dengan mereka.

Meskipun Re dan Uni adalah penolongnya saat awal masuk kampus ketika tidak memiliki siapa-siapa. Namun kadang kebaikan saja tidak cukup tanpa adanya kejujuran. Tapi sudahlah, ia mengusap perutnya. Lebih pedih lagi ketika ia mengingat kalimat yang muncul tiba-tiba di saat ini, tepat jam tiga pagi.

***

03.00 – dialog kedua

Hujan turun deras di luar jendela kamar Ta. Matanya sembab, pikirannya melayang, teringat kejadian kemarin sore. Saat itu Ta duduk di sebuah café dan menyesap segelas kopi hitam bersama seorang lelaki yang sudah lima tahun ia kenal sejak akhir kuliah.

"Aku tak bisa berjanji tidak tergoda dengan wanita lain kelak. Dan aku tahu kau juga tak bisa berjanji tidak akan tergoda dengan lelaki lain, bukan?

Ta tersedak dan berusaha menguasai diri, "Mungkin, tapi kamu tahu arti dari komitmen. Kita sudah sama-sama dewasa, Ki!"

"Ikuti saja air. Ikuti saja angin. Ikuti saja alam. Sekeras apapun kita mengikat menurutku tidak akan berarti jika akhirnya tidak jadi."

"Tapi bagaimana bisa kita membuat itu jadi sementara untuk prosesnya pun kita tanpa tujuan dan keinginan. Kamu sedang pesimis atau kamu memang tidak menginginkan adanya kita?" desak Ta, hatinya sesak dan penuh ingin tumpah.

Kidung AksaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang