Hujan Bulan September (Part 2)

30 6 0
                                    

Setahun yang lalu. Pertengahan Bulan Desember.

"Sendiri?"

Sebuah suara membuyarkan lamunanku yang sedang duduk termenung di teras depan sekolah. Menunggu waktu berlalu hingga sepi kembali bangun dari tidurnya.

Aku seorang remaja yang suka membuat puisi dan mencari inspirasi saat pulang sekolah. Teman-teman bilang aku anak eksentrik yang cantik. Rambutku hitam panjang berkilau seperti gadis sampul, kulit kuning langsat, sebuah lesung pipi di pipi kiriku, dan tubuh yang mungil.

"Hmm..." Hanya itu jawabanku. Orang itu duduk disebelahku dan aku masih menatap lurus kearah depan. Memperhatikan daun-daun coklat yang bergerak tertiup angin deras. Langit sudah digelayuti mendung.

"Kenalkan," sapanya lagi sembari mengulurkan tangan kanannya padaku, "Namaku Saga Wenjani,"

Aku tertegun. Nama yang aneh, pikirku.

"Reni Septiana," balasku tanpa menjabat tangan dan menoleh kearahnya. Dia terlihat biasa saja saat aku bersikap seperti itu.

"Panggil saja aku Sani," sambungnya lagi tanpa menungguku bertanya.

Lalu kami terdiam dalam pikiran masing-masing. Jeda mengudara.

"Mau ikut aku?" tanyanya tiba-tiba.

Aku terkejut dengan pertanyaannya dan menoleh secara cepat kearahnya dengan tatapan heran. Saat itu aku menatapnya untuk pertama kali. Dan saat itu pula aku sadar bahwa lelaki dihadapanku ini bukanlah lelaki biasa. Ada sebias cahaya dalam wajahnya. Rambut lurus yang awut-awutan, alis tebal, dan senyum yang menawarkan sebuah kehangatan.

Padahal jeans belel, kaos polos berwarna putih, dan sepatu kets yang dipakainya bisa membuat orang lain menyangka ia adalah pemuda jalanan yang suka menculik para remaja putri. Seperti yang diberitakan di koran dan televisi akhir-akhir ini. Namun tanpa pikir panjang aku mengiyakannya. Seperti ada kekuatan yang mendorongku untuk mengikutinya. Seperti air hujan yang mengalir.

"Mau kemana?" tanyaku polos.

Ia diam saja. Tapi ia tak mengajakku menjauhi sekolah. Ia malah masuk kedalam sekolah dan menaiki tangga menuju perpustakaan sekolah.

"Mau ke perpustakaan? Buat apa? Bukankah ini terkunci?" tanyaku bertubi-tubi, tak hiraukan diamnya. Ia pun dengan santai membuka pintu perpustakaan itu dengan sekali putaran. Dan ajaibnya, pintu itu terbuka dengan mudah. Seperti membalik telapak tangan.

"Ba... bagaimana bisa?"

Ia hanya tersenyum penuh makna. Kemudian ia menyalakan lampu dan memilih-milih buku. Aku masih bingung dengan sikapnya.

"Sebenarnya apa maumu?" tanyaku akhirnya. Ia masih sibuk mencari buku.

"Hanya ingin membaca," jawabnya singkat. Aku ternganga. Jadi hanya untuk itu keperluannya ke perpustakaan?! Seperti tak ada hal lain saja yang bisa dikerjakan. Berjalan-jalan kemana misalnya.

"Kalau begitu aku turun saja," kataku sambil menggendong ransel hitamku.

Ia kembali tersenyum. "Silakan,"

Aku mendengus sebal. Dengan langkah cepat kutinggalkan ruangan itu dan berlari menuruni tangga. Tapi ketika sampai di teras depan sekolah, tiba-tiba hujan turun lebat. Aku mengernyit heran. Apa ini mimpi? Mengapa semua hal tiba-tiba terjadi begitu saja tanpa alasan yang logis.

Saat kuputuskan untuk kembali ke perpustakaan, kulihat lelaki bernama Sani itu tengah asyik duduk di tepi jendela dan membaca sebuah buku. Sejenak aku tertegun. Pemandangan yang kulihat saat ini seperti sebuah lukisan. Ia nampak tampan duduk di tepi jendela lebar itu. Hujan seperti menerima keberadaannya dan terlihat indah dari balik kaca jendela. Terangnya lampu berwarna putih menyinari wajahnya yang nampak berusia dua puluhan itu.

Kidung AksaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang