19. Satu tujuan

12.3K 2.4K 598
                                    

Hari ini, kita menapaki jalan dengan satu tujuan. Semoga suatu hari nanti, kita dapat satu tujuan dalam setiap langkah kehidupan.

Maafkan aku yang selalu memintamu dalam doa.

-Humaira-

~HASEIN~
Adelia Nurahma

Pukul lima pagi.

Gadis itu sudah duduk di dalam mobil dengan wajah menghadap jendela, menatap jalanan yang dilewati. Tubuhnya masih dibalut jaket kebesaran milik lelaki yang lima belas menit lalu rumahnya ia tinggalkan karena dirinya dijemput sang ayah. Tau-tau saat bangun sudah ada di dalam mobil. Katanya Om Alan menelfon ayahnya dan memberitahu kalau dirinya ada di sana. Tak basa-basi, dia minta ayahnya untuk segera menjemput di pagi buta.

"Kamu kok bisa di rumahnya Om Alan?"

"Jalan sama Hasan," jawabnya, tak jujur. Karena tak mungkin ia bilang kalau Hasan menemukannya di jalan mau pergi ke club. Bisa ngamuk ayahnya.

Satya melirik putrinya yang sejak tadi lebih tertarik melihat ke arah jendela.

"Udah gak sama Martin?"

"Pa, aku kan udah bilang kalo sama Martin udah gak ada hubungan apa-apa," jelas Syila, jengah.

"Sama Hasan?"

"Cuma temen."

"Terus kenapa kamu tidur di rumahnya? Kamu bilang mau kerjain tugas di tempat temen kamu terus kalo kemaleman mau tidur di sana."

"Ya Hasan kan temen aku."

"Kamu bilang tadi jalan sama Hasan. Bukan belajar."

Syila mengulum bibirnya. Ayahnya memang pandai memutar-mutar percakapan sampai ia terjebak. Namun tentu Syila tak kalah cerdik.

"Abis belajar kita jalan terus kemaleman, Om Alan gak bolehin pulang, jadi nginep."

Satya mengangguk-angguk sambil memarkirkan kendaraannya di halaman rumah.

"Kalau antara Martin sama Hasan, Papa lebih dukung kamu sama Hasan."

Barulah kini Syila menoleh. "Gak usah ngada-ngada, Pah. Syila sama Hasan itu mimpi buruk."

"Loh, kalo mimpi buruk ngapain jalan bareng?"

"Itu cuma coba-coba," jawabnya, sudah kelewat ngarang.

"Jadi kamu lebih milih Martin?"

"Ck, ya gak gituuuu. Martin lebih mimpi buruk."

"Mungkin kamunya aja yang terlalu buruk menilai orang."

Syila berdecak keras lalu melepas seat belt nya.

"Terus aja salahin aku."

"Gak gitu, Cila."

"Papa emang gak pernah bisa ngertiin Syila." Kedua matanya sudah memanas saat ini. Syila membuka pintu mobilnya dan keluar dari sana. Sebelum Satya sempat buka suara untuk membalas ucapannya, Syila kembali berbicara dengan setitik air matanya yang terjatuh.

"Semua laki-laki itu sama. Egois, mau menang sendiri, otoriter, dan gak mau ngertiin perempuan. Gak punya hati!"

Blam

Pintu mobil tertutup rapat karena terdorong keras. Satya menghela napas dan menyandarkan punggungnya pada kursi. Membesarkan seorang putri ternyata sangat tidak mudah. Malah lebih mudah menjalankan banyak bisnis daripada mengerti isi hati satu orang perempuan.

Hasein [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang