Epilog

4.2K 620 139
  • Didedikasikan kepada my lovely readers
                                    

***

Langkah beberapa orang yang baru saja turun dari pesawat menyulitkanku untuk berjalan menuju pintu keluar. Terlalu banyak orang di bandara ini, bahkan ada beberapa yang tidak sengaja menabrakku karena takut ketinggalan pesawat.

Aku menyeret koperku dengan tangan kanan. Sedangkan tangan yang satunya lagi sedang memegang sebuah ponsel. Sedari tadi aku mencoba untuk menelepon Thalassa, tetapi nampaknya dia sudah mengganti nomor.

Kacamata hitam yang kupakai, kulepaskan begitu saja. Terlalu gelap untuk suasana siang seperti ini. Tanganku terjulur untuk menyetopkan sebuah taksi yang ingin melewatiku. Taksi tersebut berhenti tepat di depanku, membuatku langsung membuka pintu penumpang dan memasukinya.

Sudah lebih dari 5 tahun aku pergi meninggalkan kota London dan menetap di LA. Aku memang telah membeli rumah disana jauh hari sebelum aku bertemu dengan Thalassa. Selama aku berada di LA, ingatanku terus tertuju kepadanya.

Sampai akhirnya aku memutuskan untuk balik ke kampong halamanku. Sementara rumahku yang di LA, aku tinggalkan untuk waktu yang lama atau mungkin akan kujual nantinya.

Suara deringan ponsel membuyarkan lamunanku. Aku memencet tombol hijau dilayar, lalu mengangkatnya.

“Hei, Harry!” Pekik seseorang di sebelah sana. Aku terkekeh pelan ketika mendengar suara cempreng milik temanku.

“Ya, Niall? Kenapa kau meneleponku? Padahal aku belum meninggalkanmu satu hari, tetapi kau sudah meneleponku berkali-kali.” Gurauku sambil membayangkan betapa rindunya dia saat aku meninggalkannya di LA.

Aku mendengar dia tertawa kecil mendengar pertanyaanku. “Kau terlalu percaya diri, mate. Ah! Apakah kau sudah bertemu dengan pujaan hatimu yang tak pernah berhenti kau bicarakan kepadaku itu?”

“Belum, sudah lebih dari sepuluh kali aku mencoba untuk menghubunginya tetapi tidak di angkatnya. Mungkin Thalassa sudah mengganti nomornya dengan yang baru.” Jawabku sambil menoleh kearah jendela.

Aku bersyukur karena hari ini tidak hujan, karena aku malas sekali kalau harus berhujan-hujanan.

“Tapi apa kau serius jika Thalassa masih bekerja di toko roti yang sama? Maksudku, hei, ini sudah lebih dari lima tahun dan aku tidak terlalu yakin jika dia masih bekerja di sana.” Komentar Niall yang membuatku berpikir sejenak.

Memang sebelum aku ingin pulang ke London kembali. Aku sempat berpikiran yang sama dengan Niall, aku juga tidak terlalu yakin dengan dugaanku. “Entahlah, tapi bukankah lebih baik jika mencoba? Kalau memang dia sudah tidak bekerja di sana, mungkin aku harus tinggal lebih lama di sini.”

What? No, Harry, it’s not a good idea. Apakah kau tega meninggalkan aku sendirian di sini?”

Aku memutar bola mataku malas. “Shut up, Niall. Aku tahu kau memang terlalu berlebihan orangnya. Tetapi—god! Seperti aku memang harus menjual rumahku disana lebih cepat.” Kataku asal. Aku bisa mendengar makian yang keluar dari mulut Niall.

You're such a lil shit. Don’t you fucking dare, okay?” Ancamnya yang membuatku tertawa. “Tidak aku hanya bercanda, Harry. Lagian tidak ada kau disini, bukankah itu lebih baik? Jadinya fansku akan bertambah lebih banyak.”

“Uh, sudahlah! Seperti taksinya sudah mau sampai ke tujuan. So, bye Niall.” Kataku menyudahi percakapan tidak penting ini. Aku mendengar Niall menggumamkan hal yang sama denganku. Otomatis membuatku mematikan sambungan.

Taksi yang kutumpangi berhenti tepat di sebuah toko roti. Aku memberinya beberapa lembar uang kertas, lalu membuka pintu penumpang.

Aku memandang toko roti di depanku dengan pandangan kagum. Tidak kusangka jika bangunan tua yang biasa kudatangi dulu, sudah di renovasi dan tampak lebih baik dari yang lama. Aku melangkahkan kaki jenjangku dan masuk kedalam.

Bakery At Night // h.sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang