***
Hari telah berlalu semenjak kejadian dimana Harry memberikan sebuah kalung kepada Thalassa. Semenjak hari itupun Thalassa selalu menunggu Harry di tempat duduk yang biasanya laki-laki itu singgahi.
Thalassa menatap kalung yang berada dilehernya. Ia masih mengingat bagaimana cara Harry memasangkan kalung tersebut ke lehernya. Ia masih mengingat bagaimana cara laki-laki itu membuat rayuan yang selalu saja dibalasnya dengan ekspresi datar.
Terlalu banyak kenangan yang telah dibuat mereka berdua di toko roti tersebut. Thalassa mengesap coffeenya. Mungkin ini untuk yang pertama kalinya ia berani memesan coffee yang biasanya di pesan oleh Harry.
“Thalassa, kau masih menunggunya?” Sahut Brianna yang tiba-tiba saja datang lalu duduk di hapadan Thalassa tetapi gadis itu sama sekali tidak menoleh sedikitpun.
Pandangannya masih tertuju kearah pintu masuk. Hujan yang membasahi seluruh kota sejak satu jam yang lalu, membuat beberapa bagian kaca berembun.
Thalassa tersenyum kecut saat memorinya terputar seperti kaset kusut. Mulai dari hari pertama saat dia bertemu dengan Harry. Lalu hari dimana saat Harry melontarkan kata-kata rayuannya. Begitupun saat dimana Harry memberikan sebuah kalung di sehari sebelum ia pergi entah kemana.
Thalassa menghela nafa berat sebelum akhirnya bangkit dari duduknya. “Aku ingin keluar sebentar, jangan ganggu aku. Aku ingin sendiri.” Sahutnya lalu pergi meninggalkan Brianna yang hanya terdiam dan menatap gadis itu dengan sendu.
Seperti mengerti apa yang dirasakan oleh sahabatnya, Brianna memilih untuk melanjutkan pekerjaannya di dapur.
***
Angin malam yang begitu kencang berhembus mengenai tubuh Thalassa. Gadis itu duduk di sebuah bukit, tempat biasa mereka datangi. Sudah lebih dari seminggu sejak pertemuan terakhir Thalassa tidak melihat Harry datang lagi ke toko roti tempat dia bekerja.
Thalassa merekatkan syalnya, dan menggosok telapak tangan untuk mengurangi dingin yang menerpa pori-pori tubuhnya.
Pandangannya tertuju kepada bintang jatuh yang meluncur melintasi langit. Thalassa menutupkan kedua matanya sedangkan jari-jari tangannya saling bertautan menjadi satu.
Aku ingin semua berlalu dengan cepat. Aku ingin dia berada di sampingku sekarang. Aku ingin menarik semua perkataanku. Aku ingin dia ada disini menggodaku sedang semua rayuannya. Aku ingin dia tersenyum kepadaku. Aku ingin dia—kambali ke sini, bersama denganku.
Memori tentang Harry beberapa hari yang lalu terbesit di pikirannya seperti kaset rusak. Kenangan disaat Harry mengucapkan perkataan terakhirnya. Kenangan disaat Thalassa mengatakan sesuatu yang membuat Harry sakit hati. Perkataan dimana Thalassa ingin agar Harry menjauh dari hidupnya.
“Did you know? Making memories with you, is my favorite thing to do.” Jawab Harry saat Thalassa menanyakan kenapa Harry bisa menyukai Thalassa. Padahal gadis itu tahu kalau ia bukan apa-apa dan tidak pantas untuk di cintai oleh Harry.
“Aku tahu, jika aku tidak bisa melakukan apa-apa karena aku bukan siapa-siapamu. Tetapi yang aku tahu, kau telah melakukan itu kepadaku. Padahal kau itu bukan siapa-siapaku.” Harry menggigit bibir bawahnya, “Terima kasih untuk semuanya. Aku sangat berterima kasih untuk hari-hari berwarna yang pernah kau berikan kepadaku.”
Pandangan Harry tertuju kepada bintang jatuh yang melintas di atas kepalanya. Harry menunjuk bintang jatuh itu, “Lihat ada bintang jatuh! Buatlah permohonan, ayo!” Ajaknya lalu menutupkan matanya.
Sedangkan Thalassa hanya bisa terdiam sambil memandang Harry yang sedang serius dengan permohonannya.
“Aku bingung kenapa semua orang mempercayai sebuah bintang jatuh. Padahal itu hanya sebuah batu dan bukan tuhan yang bisa mengabulkan sebuah permohonan.” Thalassa berkomentar sambil terus memandang langit yang di penuhi oleh bintang-bintang yang bertebaran.
Thalassa menatap Harry yang masih tetap pada posisinya. Gadis itu tersenyum kecut sebelum akhirnya melontarkan sebuah perkataan yang bahkan ia tidak menyadarinya.
“Aku sudah belajar, Harry, di dunia ini, satu-satunya orang yang bisa melindungi perasaan kita adalah kita sendiri. Aku tidak ingin berharap banyak, lalu dikecewakan. Aku tidak ingin mempercayai, lalu dikhianati. Aku tidak ingin menyayangi, lalu disakiti. Dan,” Harry menatap Thalassa dengan pandangan murung yang membuat gadis itu pedih melihatnya.
“Kau berpotensi untuk melakukan semua itu padaku.” Lanjutnya sambil menatap Harry dengan sendu.
Thalassa bangkit dari duduknya lalu menatap kearah langit sambil tersenyum menyemangati dirinya sendiri. Baginya hidup seperti ini hanya akan menyita masa depannya dan ia tidak ingin cita-citanya terhenti hanya karena terlalu memikirkan sesuatu yang tidak pasti.
Thalassa tahu kalau Harry pasti akan mendukungnya jika laki-laki itu ada di sampingnya sekarang. Walaupun jika nanti Harry tidak akan bisa melihat kerja keras Thalassa untuk membangun sebuah toko roti miliknya sendiri. Tetapi ia tahu kalau Harry akan senang jika itu semua berhasil.
Tetapi satu hal yang sangat Thalassa sesali adalah disaat ia baru saja mulai untuk mencintai Harry tiba-tiba saja laki-laki itu pergi. Bahkan Thalassa belum mengucapkan selamat tinggal kepadanya.
***
a/n: tbh gue gatau nulis apaan ini but thanks a lot buat yang udah mau baca dan vomments cerita abal ini setiap harinya! see you di epilog ya nanti;p
gimme a vomments pls? xx
![](https://img.wattpad.com/cover/28848691-288-k122996.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Bakery At Night // h.s
Hayran KurguPercintaan yang berawal dari toko Bakery, yang sering di kunjungi oleh Harry di malam hari. [ #27 FanFiction] cover by @mersgranfoy