Berani Berbeda
Semarang, November 2018
Selain menjadi aktivis perempuan, Alif juga aktif menulis di beberapa media masa. Ia sempat menyesal mengapa tidak dari dulu ia rajin menulis. Mengapa ia menyadari pentingnya menulis ketika sudah duduk di bangku kuliah. Ia tidak mungkin menyalahkan lingkungannya yang ketika itu masih belum melek teknologi. Alif masih ingat, ketika duduk di bangku sekolah mengengah atas, ia dan teman-temannya hanya mendapatkan jatah untuk masuk lab. Komputer sekali dalam setiap minggunya. Itupun satu komputer harus digunakan oleh 2-3 anak secara bersama-sama.
Meski begitu, dulu Alif sering mencuri-curi jam ketika pulang sekolah untuk mampir di warnet. Jika biasanya anak-anak seusianya datang ke warnet untuk membuka FB, Youtube, dan mencari lirik lagu yang sedang trend kala itu, Alif melakukan hal yang berbeda. Ia akan menghabiskan waktu di warnet untuk mengetik seluruh tulisan tangan sebelum menyimpannya di flashdisk tosiba putih kesayangannya. Ia punya cita-cita menjadi seorang penulis novel yang hebat. Namun, ia tidak pernah tahu bagaimana caranya agar tulisan-tulisan itu yang kebanyakan merupakan cerpen dan puisi bisa dibaca banyak orang. Ia belum tahu bagaimana mempengarungi seseorang melalui tulisan. Alif memiliki teman masa kecil yang membuatnya tertarik menjadi penulis.
"Lif, tadi aku mendengarkan percakapan Buya dengan Pak dhe Hasan." Kata teman kecilnya itu, rambutnya yang gondrong basah oleh keringat saking asyiknya ia bermain layang-layang.
"Percakapan apa, Kak?" Alif kecil menimpali perkataan teman laki-lakinya itu, tangannya menggereak-gerakkan benang layangan.
"Kita tidak akan pernah dikenal orang jika kita tidak menulis. Aku lupa siapa nama orang yang tadi disebut Buya. Pokoknya, Buya mengutip perkataan orang itu. Oh ya aku ingat, nama panggilannya Pram. Tapi Pram siapa aku lupa" tangannya mengusap peluh yang membasahi rambutnya.
"Kalau begitu, akan akan jadi penulis hebat saat besar nanti." Alif kecil tersenyum mengungkapkan mimpinya dan sejurus kemudian berlari menarik layang-layangnya.
Mengingat kisah kecilnya membuat guratan senyum terlukis di wajahnya. Ia beruntung memiliki teman masa kecil yang membuat ia hidup dalam mimpinya. Dialah satu-satunya teman yang menemani serta menuntunnya membangun mimpi setelah mimpi buruk menjemputnya. Memaksakan kesedihan bergelanyut dalam hari-harinya. Memaksanya melupakan mimpi-mimpi lama yang terbang bersama malaikatnya. Karena lahir di lingkungan pelosok yang masih mengagungkan adat dan tradisi masa lalu, ia kadang ditertawakan ketika meceritakan tentang impiannya. Jarang sekali ada yang percaya bahwa ia mampu mewujudkan semua mimpi itu. Budaya patriarki memang masih sangat melekat di kampung kelahirannya, tak jarang Alif diledek oleh teman-teman sebayanya saat memiliki sesuatu yang tidak sama.
Memasuki usia ke-15 Alif tahu siapa yang dimaksud oleh teman masa kecilnya. Orang tersebut adalah Pramoedya Ananta Toer. Ia pernah berkata :" Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian." Namun ketika itu ia belum paham apa maksud dari perkataan Pram tersebut. Bertanya pada orang-orang di kampungnya hanya akan menghabiskan tenaga, sia-sia.
Barulah ketika masuk Asrama Tahfidz Qur'an YHS ia mengerti maksud dari perkataan Pram tersebut. Ustaz Faiz menjelaskannya ketika MATAMASA (masa ta'aruf maha santri). Beliau menyampaikan tentang pekerjaan-pekerjaan yang apabila dilakukan akan menyuguhkan keabadian. Salah satunya adalah menulis. Setiap bakda isya', agenda di asrama TQ YHS adalah jurnalistik. Agenda tersebut dimentori langsung oleh Ustaz Faiz. Semenjak semester satu hingga saat ini, Alif telah memiliki puluhan tulisan yang dimuat di media masa dan totalnya bisa ratusan bila dijumlah dengan tulisan yang dimuat oleh media online.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tsuroyya; Mengejar Mentari di bawah Purnama
Ficção Adolescentekita pasti pernah merasakan friendzone. kata orang, tidak mungkin dalam hubungan persahabatan antara laki-laki dan perempuan tidak ada yang menyimpan rasa. entah salah satu atau bahkan kedunya. "Jika memang dia jawaban atas doa-doamu, bukankah kau...