Istimewa

28 8 2
                                    

Istimewa

Semarang, Desember 2018

Mingu-minggu menjelang Ujian Kahir Semester (UAS) Alif harus bekerja lebih ekstra lagi. Pasalnya, ia harus menyelesaikan banyak tugas mandiri dan pengamatan. Teman-teman sekelas Alif biasanya melakukannya bersama di akhir pekan. Selain mengerjakan tugas, mereka punya waktu untuk berkumpul bersama dan saling menyemangati untuk UAS nanti. Atau setidaknya teman-temannya yang mengambil kelas lain di makul-makul tertentu bisa berkumpul kembali bersama mereka.

"Lif, sabtu nanti jangan lupa ya ikut pengamatan." Vivi mengehampiri Alif yang berjalan menuju parkiran.

"Oke, Vi. Insyaa Allah aku ikut. Besok kalau mau berangkat kabarin ya." Jawab Alif sambil mengenakan helm.

"Oke, Lif. Nanti aku kabari lagi. Duluan ya." Gadis itu tersenyum dan melambaikan tangan kanannya ke arah Alif.

"Iya, hati-hati" Ucap Alif ketika ia sudah menstater motornya. Karena keluar ketika jam makan siang, Alif harus sedikit bersabar mengantri untuk bisa keluar gerbang. Ia siapkan kartu tanda mahasiswa agar tidak mencari benda kecil itu ketika melewati pos satpam nanti.

Semarang merupakan salah satu kota yang memiliki suhu tinggi di musim panas. Salah satu penyebabnya adalah banyaknya pabrik yang beroperasi di kota tersebut. Itulah yang menjadikan Alif dan teman-temannya lebih sering melakukan pengamatan di luar kota. Jika pengataman hilal (ru'yatul hilal) untuk menentukan awal bulan tertentu seperti awal Bulan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah mereka mencari tempat yang sekiranya hilal bisa dilihat di tempat tersebut. Namun jika pengamatan yang dilakukan untuk melakukan tugas tertentu yang tidak terlalu menuntut mereka untuk melihat hilal namun lebih mengarah ke penerapan materi, mereka melakukannya di Semarang.

Alif memarkirkan sepeda motornya. Tak lama kemudian, ia sudah memasuki perpustakaan universitas yang berada di kampus III. Meskipun di kampus I, kampus dimana ia banyak melakukan rutinitas belajar juga terdapat perpustakaan Alif lebih sering berada di Perpus Kampus III. Alasannya sederhana, di perpustakaan kampus III, ia bisa lebih lama merasakan suasana senyap dan tenang. Di tempat itu, ia bisa mendapatkan banyak waktu untuk menulis dan membaca. Saking seringnya Alif datang ke perpuustakaan, ia cukup kenal dengan petugas perpustakaan.

"Kok sendiri terus sih Mba datangnya?" goda salah satu petugas seraya menyerahkan kunci loker untuk Alif.

"Kan kesini buat dapat ketenangan, Bu. Jadi, ngga perlu ngajak orang to?" jawab Alif seraya tersenyum. Ia segera melangkah menghindari godaan petugas perpustakaan.

Siang itu, perpustakaan kampus III tidak sepi, ada sekitar lima belas mahasiswa di ruangan berukuran 15 x 15 di lantai satu itu. Dari jas yang mereka kenakan, bisa dipastikan kebanyakan dari mereka adalah mahasiswa pascasarjana.

Alif duduk di tempat favoritnya, bangku yang menghadap tembok dengan stop kontak yang terpasang di dekatnya. Ia sudah mengeluarkan laptop ketika sebuah panggilan masuk mengalihkan perhatiannya. Tangan kanannya lalu mengambil handphone dan menggeser tombol hijau.

"Assalamu'alaikum" suara di ujung sana menyapa.

"Wa'alaikumussalam. Ada apa, Ham?"

"Lagi dimana, Lif? Sibuk ngga?"

"Lagi di perpus kampus III, Ham. Kenapa?"

"Aku kesana ya. Ada berita penting. Assalamu'alaikum" belum sempat Alif bertanya, Hamma sudah mengucap salam dan mengakhiri panggilan.

"Wa'alaikumussalam" ucap Alif meskipun panggilan sudah diakhiri.

Berita apa yang hendak disampaikan Hamma? Sebegitu pentingnyakah? Kenapa tidak disampaikan melalui telephone tadi saja? Mengapa ada perasaanku seperti sedang melambai-lambai? Mengapa hal sesederhana ini membuatku sedikit grogi? Ais, pikiran macam apa ini?

Lima belas menit berlalu, sosok dengan rambut ikal itu menyembul dari balik pintu.

"Ada berita apa, Ham?" tanya Alif ketika Hamma sudah berjarak dekat darinya. Tak sabar ia ingin mendengar kabar dari laki-laki yang telas membuat hatinya mulai merasa ada yang berbeda.

"Belum juga duduk, Lif. Udah ditanya-tanya" balas Hamma sambil tersenyum. Kini, sebuah bangku kosong memisahkan Alif dan Hamma. Kebetulan tempat duduk yang menghadap tembok hanya satu baris.

"Coba deh buka chat dari aku"

"Emang kamu nge-chat ya?" tanya Alif, ia lalu mengecek pesan masuk. Seketika itu mata sipitnya mengecil tertutup pipinya yang mengembang. Rona berseri menghiasi wajahnya.

"Udah?" Tanya Hamma setelah melihat reaksi Alif.

"Ini beneran, Ham?" tanya Alif seolah belum percaya dengan yang ia baca lalu mengeceknya kembali. Namun hasilnya tetap sama.

"Iya, Lif. Selamat ya" ucapan itu ia selingi dengan senyum yang begitu renyah.

"Alhamdulillah. Makasih bantuannya ya, Ham."

"Iya, sekali lagi selamat ya, Lif. Oh ya, kamu tahu tempatnya kan?"

"Tempat apa?" mendengar pertanyaan Hamma, Alif menautkan kedua alisnya.

"Kan juara satu sampai tiga diundang ke seminarnnya MenDikBud, Lif. Lokasinya tertulis itu di bawah nama-nama pemenang. Tadi aku juga sempet dapet info katanya ketiga pemenang diminta menceritakan essaynya ketika seminar."

"Kapan seminarnya, Ham?" Alif membuka kembali file yang dikirim Hamma.

"Sabtu nanti"

"Sabtu?" Gadis itu sedikit menekankan nada bicaranya. Alif teringat percakapannya dengan vivi di parkiran tadi.

"Kenapa" tanya Hamma melihat ekspresi Alif yang sedikit kebingungan.

"Sabtu ini aku ada pengamatan sama temen-temen kelas sebagai syarat UAS. Gimana dong?"

"Gampang. Nanti kita ngerjain di MAJT aja. Kelasku kemarin udah sih. Kalau kamu mau nanti aku bantuin. Gimana?" laki-laki berambut ikal itu selalu bisa membuatnya tenang. Melihat senyumnya membuat Alif mendapatkan celah untuk juga tersenyum.

"Gak papa, Ham? Ngerepotin pasti ya?" rasanya tidak enak jika ia harus merepotkan orang yang baru dikenalnya belum genap dua minggu ini.

"Engga kok. Aku seneng lagi. Kan di essay itu kamu juga membawa nama HMJ. Jadi, aku juga harus bantu kamu kan?" kedua alisnya terangkat, menadakan pada Alif untuk tidak bertanya lagi.

"Terima kasih, Hamma. Tapi maaf ya, baru bisa jadi yang kedua" ucap Alif dengan begitu polosnya.

"Gak papa lagi, Lif yang kedua. Kamu tetep istimiwa"

Mendengar ucapan itu, Alif tersipu malu. Ia menghadap laptop, berusaha menyembunyikan wajahnya dari Hamma, meskipun masih bisa terlihat.

"Nanti aku yang nganter ke tempat seminarnya ya, Lif"

"iya"

"Kok cuma iya sih jawabannya?"

"Terus aku harus jawab apa, Ham?" ekspresi Alif justru membuat Hamma tersenyum.

"Lucu banget sih ekspresinya" Hamma terlihat begitu gemas dengan ekspresi perempuan yang membuatnya menyadari banyak hal yang belum ia ketahui. Perempuan yang membuat dunianya membuka jendela, bahkan pintu.

"Tahu ngga persamaan kamu sama permata?"

"Apa?"

"Sama-sama istimewa" sempurnalah muka Alif bak udang rebus. Hamma selalu bisa membuatnya senang, meskipun terkadang membuatnya malu seperti saat ini. Ingin rasanya ia berteriak saking gemasnya dengan tingkah Hamma. Namun, laki-laki itu justru membuatnya hanya mampu menahan mukanya yang mulai meleleh.

Tsuroyya; Mengejar Mentari di bawah PurnamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang