Sukomakmur 2007
"Kalian tahu, lulus dari SD nanti aku akan ikut pamanku ke kota" Lia, gadis seusia Fauzan yang sebentar lagi tamat SD. Dengan bangga dan semangat mendeklarasikan rencananya.
"Iya kah, Lia? Mau apa kamu ke kota, bukannya hidup di kota itu lebih mahal ya?" Nunung, anak kelas 5 SD itu keheranan dengan perkataan sahabatnya.
"Aku akan mencari pekerjaan disana. Kata pamanku, kerja di kota gajinya akan lebih banyak daripada di desa. Kalau nanti aku punya pekerjaan yang bisa menghasilkan banyak uang, aku akan belikan ibuku mobil dan rumah bertingkat," dengan nada penuh semangat dan mata berbinar-binar, Lia menumbuhkan rasa percaya pada mimpi-mimpinya.
"Kalau aku, masih belum tahu. Masih satu tahun lagi, yang terpenting aku bisa sekolah dan membantu bapak ibuku. Aku tidak tahu orang tuaku mau menyekolahkan aku atau tidak. Sekarang saja, aku harus rajin memberi makan sapi dan membereskan rumah supaya bisa dapat uang jajan." Rona pasrah itu jelas tergambar di muka Nunung. Tubuhnya yang kurus kering semakin membuat orang yang mendengarkan kalimatnya akan menaruh belas kasihan padanya. Sayangnya, di desa ini semua orang memiliki kebutuhan dan penghasilan yang tidak jauh berbeda, ditambah dengan para pemimpin yang seolah tuli dengan keadaan rakyatnya membuat rasa kasihan itu hanya bertahan tanpa bantuan.
"Kalau kamu, Lif. Kamu mau lanjut kemana?" kalimat itu terlontar dari bibir mungil Lia.
"Aku mau manut sama keinginan Ayah. Yang terpenting, saat sudah besar nanti aku akan jadi jurnalis. Kalian tahu? Kata ibu, berita zaman sekarang banyak yang disiarkan tidak sesuai dengan kenyataan. Padahal kan berita itu tujuanya memberitahu banyak orang. Kalau tidak sesuai dengan kenyataan, berartikan berbohong. Makanya aku mau jadi jurnalis dan akan kuliah nanti." Tidak mau kalah dengan Lia, Alif juga ikut mendeklarasikan mimpinya. Tubuhnya memang paling kecil diantara kedua temannya itu, hingga tak jarang ia selalu ketinggalan jika mereka berlari menyusuri jalanan desa saat berangkat sekolah bersama. Berangkat dan pulang sekolah, mereka bertiga selalu bersama-sama.
"Kamu yakin mau kuliah, Lif?" kedua alis Nunung saling bertautan dan matanya menyipit seolah sedang menghakimi Alif.
"Memangnya kenapa kalau aku kuliah?" tidak mau kalah, Alif balik bertanya pada sahabatnya itu.
"Kamukan perempuan, Lif. Buat apa sekolah tinggi-tinggi. Kata ibuku, perempuan
itu tidak perlu sekolah tinggi-tinggi lha wong nantinya juga ngurusin dapur sama rumah, buat apa sekolah tinggi-tinggi." Nunung bergaya seperti ibu-ibu yang sedang menasihati anaknya."Iya, Lif. Sekolah tinggi itu bukannya membuat kamu dapet banyak uang malah menghabiskan banyak uang. Mending uangnya ditabung buat daftar berangkat haji atau beli mobil. Mending kerja kaya aku, cari uang yang banyak buat nyenengin orang tua." Nunung menguatkan pendapat Lia.
"Kalau perempuan ga boleh sekolah karena ujung-ujungnya cuma ngurus dapur sama rumah, kok sekarang kalian sekolah?" Jawaban skak mat dari Alif membuat dua temannya itu saling memandang sebelum akhirnya sama-sama mengangkat bahu.
Alif ingat sekali, dulu ayahnya pernah bertanya tentang cita-citanya. Dengan spontan dan penuh semangat ia menjawab ingin menjadi dokter. Pekerjaan mulia yang bisa membantu banyak orang. Apalagi di tempatnya belum ada yang menjadi dokter ditambah lagi masyarakat di daerahnya masih kesulitan mencari pelayanan kesehatan. Puskesmaspun adanya baru di kecamatan. Alif ingin menjadi dokter untuk masyarakatnya, supaya mereka yang sakit bisa mendapatkan perawatan dan banhkan tidak perlu mengeluarkan seperser uang karena uang mereka harus dihemat untuk kebutuhan esok hari.
Namun, seiring dengan berjalannya waktu, keinginan itu berubah. Alif sering ikut ayahnya menyimak berita yang terpampang di layar Tv. Memperhatikan isu-isu yang sedang hangat dibahas. Meskipun belum paham, Alif sangat menikmati acara berita di TV dibandingkan acara-acara yang lain. Seusai menyimak berita, ayahnya biasanya berkomentar tentang sesuatu yang tidak ia mengerti. Beberapa kali bertanya, kata ayahnya berita-berita yang ditayangkan itu tidak semuanya benar. Ada permainan di dalamnya. Alif yang masih kelas 4 SD tentunya tidak paham apa yang dimaksud dengan permainan oleh ayahnya. Intinya, banyak berita yang disebarluaskan namun tidak sesaui dengan realita di lapangan untuk melindungi kepentingan seseorang atau lembaga yang takut kehilangan kekuasaan. Alifpun menyimpulkannya dengan sebuah kebohongan. Kata ayah, orang-orang di daerahnya sudah sering dihongi oleh pemerintah, oleh pengusaha yang hanya mengincar keuntungan, oleh penegak hukum, dan masih banyak lagi. Keinginan untuk menjadi dokter itupun terganti dengan keinginan untuk menjadi jurnalis. Alif ingin menebarkan kebaikan dan kebenaran untuk semua orang.
Percakapan tiga anak berusia beliau itu terlihat sangat ringan namun sebenarnya menyimpan arti yang sangat dalam. Di lingkungan pedesaan, seperti sudah menjadi adat bahwa perempuan tidak perlu bersekolah tinggi, tugasnya hanya mengurus rumah saja, pendidikan membutuhkan biaya yang mahal. Jangankan untuk memenuhi biaya pendidikan, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja terkadang pas-pasan. Belum lagi anggapan yang berkembanh bahwa perempuan yang berpendidikan tinggi akan sulit mendapatkan pasangan. Namun, Alif bukanlah kebanyakan anak di luar sana. Meskipun lingkungannya seolah menghapus pendidikan tinggi dari kehidupan seorang perempuan, baginya ia tetap memiliki hak untuk memilih mimpi yang ingin ia wujudkan. Yang terpenting adalah ia harus mendapatkan restu dari orang tuanya. Kata Buya, ridla Allah itu terletak pada rida orang tua. Maka, alif memberanikan diri untuk mengutarakan keinginannya pada ayahnya.
Malam hari merupakan waktu yang begitu menyenangkan untuk Alif. Ia bisa bercerita panjang tentang apapun kepada ayahnya dan ia bisa bertanya tentang apapun.
"Ayah, kalau besar nanti, boleh Alif kuliah?"
"Harus, anak ayah harus kuliah. Alif mau kulih dimana?" ayah terlihat senang dan antusias dengan keinginan anaknya itu.
"Alif mau kuliah di Bandung. Boleh, yah?" satu-satunya tempat yang ada di bayangannya adalah Bandung. Dari cerita yang ia dengar, bandung adalah kota yang memiliki banyak lembaga pndidikan yang bagus dan tempat yang indah dan asri.
"Boleh. Ayah dukung dimanapun Alif mau menuntut ilmu"
"Ayah tidak melarang Alif seperti ayah teman-teman Alif? Katanya, perempuan ga perlu sekolah tinggi." Meskipun Alif jelas-jelas tidak setuju dengan anggapan tersebut, ia berusaha mengetahui kebenaran melalui ayahnya.
"Hadits tentang mencari ilmu, ditujukan untuk muslim laki-laki dan perempuan. tidak ada pula ayat Qur'an yang menyatakan bahwa perempuan tidak boleh berpendidikan tinggi."
"Terima kasih, Ayah. Alif sayang Ayah. Gadis kecil itupun memeluk ayahnya. Rasanya, ia tidak ingin berpisah dengan ayahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tsuroyya; Mengejar Mentari di bawah Purnama
Novela Juvenilkita pasti pernah merasakan friendzone. kata orang, tidak mungkin dalam hubungan persahabatan antara laki-laki dan perempuan tidak ada yang menyimpan rasa. entah salah satu atau bahkan kedunya. "Jika memang dia jawaban atas doa-doamu, bukankah kau...