Surat Misi (#1)

21 7 2
                                    

Semarang, Desember 2018

Jika biasanya Alif datang sebagai peserta di acara MenDikBud, kali ini dengan langkah mantap dan anggun ia datang sebagai tamu undangan. Tidak ada sepatah katapun yang mampu menggambarkan kebahagiannya mendapatkan penghargaan sekaligus kesempatan untuk menceritakan essay yang telah ia tulis. Meskipun sudah sering berbicara di muka umum, bahkan sering orasi ketika berstatus sebagai aktivis, Alif tetap mempersiapkan semuanya dengan baik. Ia melatih cara bicara dan gestur yang akan ia gunakan nanti. Semuanya harus sempurna. Maka, kini ia telah berada di salah satu BRT Semarang bersama Hama. Pagi tadi ia dan Hamma sempat berdebat mengenai kendaraan. Tidak mungkin mereka yang bukan mahrom berboncengan menuju tempat seminar. Setelah berdiskusi, akhirnya keduanya sepakat untuk berangkat menggunakan BRT. Di dalam BRT tempat duduk antara perempuan dan laki-laki sudah dipisah jadi mereka tidak akan bersentuhan, selain itu mereka juga tidak hanya berdua saja.

Porsi tempat duduk untuk perempuan memang lebih banyak dibandingkan laki-laki. Alif sebenarnya merasa tidak enak dengan Hamma. Sedari tadi ia berdiri dan hanya bertumpu pada tali menggantung yang tergenggam erat oleh tangan kanannya karena tempat duduk untuk laki-laki sudah penuh. Sedangkan ia sedari tadi duduk dengan nyaman. Namun Hamma justru melempar senyuman ke arahnya yang justru menambah rasa tidak enak pada diri Alif. Seolah menandakan ia kuat dan akan baik-baik saja. Melihat seyum itu, entah mengapa ia merasa begitu bahagia dan seolah mulai merasakan "nyaman".

Hamma begitu sabar membersamai langkah Alif. Ia tak henti-hentinya memberikan semangat ketika Alif menguraikan essay tentang Tan Malaka. Hamma juga mengabadikan moment bahagia itu. Tak pernah tangannya lepas dari kamera yang ia gantungkan di lehernya. Meski peluh membasahi rambut ikalnya, ia tetap lincah mengoperasikan kamera. Hamma layiknya seorang ibu yang tak ingin moment bahagia anaknya terlewat barang selangkah.

"Dari tadi kamu sibuk fotoin orang" ucap Alif ketika mereka duduk di salah satu bangku melingkar yang ada di Hotel Ranuar. Sebelum penutupan, seluruh tamu undangan dan peserta dipersilahkan untuk menikmati jamuan yang disediakan oleh pihak panitia.

"Gak papa lagi, aku seneng kok. Nanti kita foto ya pakai almamater, aku masukin kolom inspirasi Majalah Amanah"

"Emang segampang itu ya masuk kolom inspirasi?" Alif baru menyadari bahwa seseorang yang akhir-akhir ini menghabiskan banyak waktu bersamanya adalah jurnalis salah satu Surat kabar Mahasiswa (SKM) kampus. Co-card yang menggantung di lehernya dengan jelas memudahkan siapapun mengenalinya.

"Emang semudah itu ya dapet kesempatan jadi tamu undangan di seminar MenDikBud?" tak mau kalah, Hamma memutar balik perkataan Alif. Gadis itu lantas mengerucutkan bibirnya, menunjukkan ekspresinya yang tengah sebal namun justru membuat Hamma merasa gemas.

Setelah puas berfoto dan menyalami beberapa orang, Hamma menghampiri Alif yang sudah menunggunya di lobi hotel.

"Lama ya?" seolah Hamma takut membuat perempuan itu menunggu

"Engga kok. Yuk pulang keburu sore. Nanti ketinggalan BRT"

"Lif,,," dari nada bicaranya, Hamma terlihat begitu serius. Alif memalingkan pandngannya memandang rambut ikal itu.

"Iya?" Alif begitu penasaran dengan kalimat lanjutan Hamma.

"Maaf kita harus pulang pergi naik BRT" tatapan tulus itu seolah mengambil alih dunia Alif saat itu.

"Maaf juga ya, Ham. Udah banyak ngerepotin kamu" kalimat itulah yang saat terbayang di pikiran Alif. Hamma begitu sabar menemaninya pergi ke seminar hari itu, ia bahkan tidak menunjukkan rasa lelahnya sama sekali. Padahal, ia harus berdiri sepanjang perjalan tadi. Ia juga begitu telaten mengambil gambarnya. Semua yang dilakukan Hamma hari itu telah berhasil membuat perempuan itu menyadari rasa yang akhir-akhir ini menyapa hatinya. Mengetuk pintu itu untuk segera menyabut tamu istimewa yang hendak mengisi hari-harinya dengan tawa.

______________________________________________________________   

Alif baru saja menutup pintu gerbang asramanya ketika seseoranf memeluknya ketika ia baru saja membalikkan badan.

"Selamat Sayangku, utuutu. Capek pasti ya, Lif? Mau aku masakin ga?" Shofiya menyambut kedatangannya dengan begitu antusias.

"Ga usah, Shof. Aku udah makan kok" Alif tidak membuat sahabatnya itu kepayahan karena ia tidak mungkin memasak hanya untuk seorang saja. Prinsip berjamaah yang telah mengakar kuat di asrama membuat semua hal dilakukan untuk banyak orang. Karena itulah tak mungkin sahabat karibnya itu hanya memasak untuk satu orang saja, ia pasti juga akan memasak untuk yang lainnya.

"Oh ya tadi ada kiriman surat buat kamu, Lif" Shofiya memberikan amplop coklat berukuran sedang.

"Dari?"
"Ga ada nama pengirimnya"

Seperti biasa, usai jamaah sholat Isya, Alif segera mengamankan laptop dan peralatan menulis lainnya. Teman-teman asramanya banyak yang memberikan ucapan selamat padanya setelah membaca tulisan Hamma. Laki-laki tidak mengingkari ucapannya, ia benar-benar memasukkan Alif ke dalam kolom inspitasi. ingin rasanya ia menelpohe laki-laki itu, mengucapkan terima kasih. Namun, ketika ia barus saja membuka WA, ia merasa begitu gugup. Kalimatnya seolah tertahan sebelum sempat terucapkan. Iapun mengurungkan niatnya, memilih menata hatinya. Takut kalau-kalu nanti ia gugup.

"Udah dibuka belum suratnya, Lif?" perkataan Shofiya mengingatkan Alif pada amplop coklat tanpa nama itu.

"Lupa, Shof. Setelah ini ya"

Langkahnya menyusuri aula menuju kamar. Diraihnya amplop coklat yang tergeletak di atas meja belajarnya. Sebuah surat yang ditulis tangan dengan background bintik-bintik penghapus papan tulis berhasil Alif keluarkan. Sepertinya, si penulis sengaja memunculkan kesan 'artistik' melalui tulisannya.

Tsuroyya; Mengejar Mentari di bawah PurnamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang