Surat Misi (#2)

17 7 1
                                    


Kota Kembang, 24 Desember 2018

Assalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuhu

Semoga ridlo Allah selalui membersamai langkahmu dimanapun, kapanpun, dan dengan siapapun engkau saat ini.

Apa kabar nona kecil?kudengar kau sudah mendewasa bersama mimpi-mimpimu. Sudah sampai mana engkau berlari mengejar mimpi-mimpi itu? Aku kau sudah berada di puncak? Meninggalkan aku yang masih tertatih di tengah perjalanan.

Maaf membuatmu bertanya-tanya, siapa kiranya pengirim kertas yang kini berada di genggamanmu? Percayalah! Tidak ada maksud apapun dibalik ini semua. Sebab, engkau akan mengeja namaku di penghujung kata.

Maaf, aku tidak mampu merangkai kata-kata picisan sebab kataku hanya sederhana bahkan biasa-biasa saja. Tapi percayalah! Tidak sekalipun akan kau jumpai dusta di setiap hurufnya.

Setiapkali temaram rembulan memantulkan cahayanya menembus jendela kamarku, aku terbangun dan segera menyadarkan diri. Merapalkan mantera bahagia agar seseorang yang sangat ingin kujumpa sedang baik saja. Mendoakannya adalah cara terbaik untuk meredam rindu. Setiap itu pula aku mengucapkan namamu, nona kecil. Menyertakannya dalam doa-doa panjangku. Apa engkau pernah melakukan yang sama? Menyertakan namaku dalam bait doamu? Atau sederhana saja, apa engkau masih mengingatku? Baiklah jika engkau masih bertanya-tanya,, apa engkau masih mengingat ritual kita menerbangkan layang harapan? Ya, layang harapan.

Kala itu, engkau begitu rajin menuliskan setiap mimpi di balik layang harapan. Lalu akan memasanginya dengan potongan bambu yang sudah kuhaluskan permukaannya dan kukaitkan dengan senar. Engaku akan dengan sabarnya menunggu tanpa pernah memalingkan pandangan barang sekejap mata. Setelah siap, kedua tangan kecilmu akan memegangi layang harapan itu kuat-kuat.

Satu,,,,,,,,,

Dua,,,,,,,,,,

Tiga,,,,,,,,,,

Bersaman dengan tanganku yang menarik senar, engkau akan menerbangkan layang itu. Membiarkannya seolah berlari menuju angkasa. Kedua bola mata kecilmu akan tetap memandanginya dan baru beranjak ketika ia berubah menjadi titik kecil di angkasa. Langkah kecilmu berlari bergerak meuju tempatku berpijak. Engkau akan mengambil alih senar, mengikatnya kuat-kuat di pohon besar. Engkau sampai berputar meengelilingi pohon itu, khawatir ikatanmu kurang kuat. Peluh lalu membasahi poni yang menyapu kedua alis tipismu. Hais, bahagia sesederhana itu ya bagimu.

Nona kecil, aku mungkin tidak lebih kuat dan tidak lebih tegar darimu. Namun, bersamamu mengajarkan aku untuk menjadi lebih kuat dan tegar. Engkau memang pernah rapuh setelah kejadian besar itu. Pipimu nyaris tak pernah kering. Mata kecilmu semakin tak terlihat. Pipi cabimu selalu basah. Engkau memelukku begitu erat, takut mengintip orang-orang yang menatapmu iba. Nona kecil, meski yang kulakukan hanya memelukmu untuk menenangkanmu, aku merasa memiliki kakuatan besar untuk menumbuhkan garis melengkuh di wajahmu.

Setelah itu, engkau berusaha untuk bangkit meski langkahmu masih tertatih. Aku dengan senang hati meminjamkan tanganku agar langah gontaimu tak terperosok. Yakinlah! Saat itu aku merasakan yang engkau takutkan. Namun aku berusaha agar duniaku baik-baik saja agar engkau percaya dan tak terjebak dalam kabut hitam itu.

Bagaimana nona kecil, kau sudah ingat?

Kedua matanya terasa panas, ada sesuatu yang igin keluar namun ia tahan. Ia lanjut membaca,,,

Aku tidak akan memaksa engkau untuk mengingat jika memang apa yang aku tuliskan tidak membuat kau menemukan keping kenangan sedikitpun, ada hal yang lebih penting yaitu tujuanku mengirimkan surat ini untukmu, nona kecil. Aku sebenarnya sempat ragu untuk benar-benar menerbangkan surat ini ke langitmu atau tidak. Namun pada kenyatannya surat ini sudah berada di tanganmu.

Aku sudah memikirkan ini dengan matang, menimbang baik buruk apa yang akan kulakukan. Nona kecil, Sebut saja ini surat misi. Ada misi besar yang menanti setelah datangnya surat ini. Bukankah misi adalah cara kita untuk menggapai visi, nona? Maka aku bisa pastikan misi ini dapat menjadi jembatan kita untuk bisa mencapai visi. Mungkin kamu belum paham dengan apa yang kumaksud. Namun, tunggulah sembilan purnama lagi. Aku akan menejelaskan semuanya. Langitku dan langitmu mungkin berbeda meski sebenarnya sama. Maka, setelah sembilan purnama berlalu, aku akan menyatukan langitku dan langitmu. Nona kecil, bersabarlah. Semoga purnama bisa menghiburmu dan menahan bosan menghampirimu.

Nona kecil, ada alasan mengapa sembilan purnama harus membuat kita menghitung, ada misi lain yang harus kuselesaikan dan kuperjuangkan agar misi ini bisa berhasil. Percayalah! Tidak ada usaha yang menghianati hasil.

Mungkin kalimatku terlalu panjang dan membuat engkau banyak menerka. Maaf ya, nona kecil. Semoga hari pertama setelah purnama kesembilan langit kita sama.

Dari aku

Mas Gondrong

Tsuroyya; Mengejar Mentari di bawah PurnamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang