Percakapan Pertama

13 4 1
                                    

Semarang, Mei 2019

Usai sholat zuhur di masjid kampus satu, Alif berniat menuju tempat fotocopy di dekat asramanya. Ia harus segera mencetak berkas revisian dan menyerahkannya ke Prof Adnan, dosbim 1 skripsinya. Satu langkah lagi ia bisa melakukan sidang munaqosah sebagai syarat kelulusan. Sebentar lagi namanya akan menyandang gelar S.H. setelah hampir dua bulan ia berpindah tempat tinggal di salah satu desa binaan untuk melaksanakan KKN, ia bisa menyelesaikan skripsinya. Karena mengejar terget, Alif beberapa kali harus bolak balik dari tempat KKn ke kampus untuk bimbingan karena ia ingin segera menyelesaikan skripsinya. Alif masih mengenakan sepatu ketika Handphone-nya tiba-tiba berdering. Sebuah panggilan masuk dari nomor baru. Hati Alif bertanya, siapa gerangan yang menelphonenya? Ah, daripada penasaran lebih baik ia segera mengangkat telephone itu.

"Assalamu'alaikum. Dengan siapa, ya?" gadis berkerudung hitam panjang itu menyapa terlebih dahulu. Rasa penasarannya sudah membuncah.

"Wa'alaikumussalam wa rohmatullah. Ini Mas Hamzah." Mendengar nama itu, Alif menautkan kedua alisnya. Suara itu ternyata milik orang yang selama ini dekat dengannya, namun tidak pernah menyapanya. Mas Hamzah, putra sulung Buya yang selama ini sudah seperti ayah kedua baginya.

"Mas Hamzah, tumben menghubungi Alif?" gadis itu belum bisa menyembunyikan rasa penasarannya. Ia tidak habis pikir, putra sulung Buya menghubunginya. Semenjak kecil, ia sering sekali bermain di rumah Buya bersama seseorang. Namun, ia tidak pernah melihat sosok Hamzah karena semenjak kecil, Hamzah memilih untuk belajar dan menghafal di pesantren tahfidz tempat ayahnya dulu juga menghafal. Saat pulang, Hamzah juga tidak pernah menyapanya. Meskipun masih saudara, kata Buya, Hamzah tidak terbiasa bercengkrama dengan perempuan. Tetapi kali ini, Hamzah menghubunginya. Ada apa?

"Iya, kamu pasti heran, Lif. Mas Hamzah mau memastikan, kapan kamu sidang munaqosah?" rasanya Alif masih belum percaya jika Hamzah hanya ingin bertanya tentang sidang munaqosahnya.

"Minggu depan, Mas. Besok insyaa Allah jadwalnya akan keluar. Hari ini Alif mau ketemu dosbim buat ngumpulin hasil revisian. Kenapa, Mas?"

"Tadi Buya bertanya. Kebetulan Mas Hamzah hari ini di rumah. Kemarin Mas baru sidang juga, alhamdulillah."

"Alhamdulillah, Mas Hamzah lulus S2nya cepet ternyata. Baarokallahu lak, Mas. Semoga nanti Alif juga bisa lanjut S2 seperti Mas Hamzah ya. Sudah dulu ya, Mas. Alif sudah ditunggu. Assalamu'alaikum"

"wa'alakumussalam wa rohmatullah." Sambungan telephone itu terputus. Di salah satu sudut pesantren Aziziyah, Hamzah tersenyum setelah mengakhiri panggilannya. Meskipun masih sangat sederhana dan singkat, percakapan barusan berhasil menyihir dirinya. Laki-laki yang telah menyelesaikan pendidikan Magister IQIT (Ilmu Qu'an dan Ilmu Tafsir) di Universitas Islam ternama di Yogyakarta itu menunjukkan rona bahagia dengan mata yang berbinar. Tidak biasanya ia merasa bahagia seperti saat ini. Satu nama itu mengganggu pikirannya saat ini.

Selesai dengan semua berkas revisian, Alif segera menuju kampus. Kali ini ia ditemani oleh Shofiya, teman seperjuangan sekaligus teman seasramanya. Dua gadis itu berjalan menuju gedung Dekanat Fakultas Syari'ah dan Hukum. Di bagian kanan gedung terdapat wall climbing yang menjulang tinggi seolah menantang siapapun untuk bisa menaklukkannya. Setelah berada di bagian dalam gedung dekanat, langkah keduanya mendekati meja resepsionis.

"Prof Adnan ada, Bu?" tanya Alif pada salah satu staff yang berjaga. Saking seringnya mondar mandir di dekanat, pernah suatu ketika Alif diajak makan siang bareng oleh ibu tersebut ketika ia tertunduk lesu di pojok ruang tunggu karena jenuh menunggu dosen pembimbing.

"Ada, Mba di lantai dua. Segera ya, Mba kalau ada keperluan. Sebentar lagi ada jadwal rapat bersama WR 3" Ibu itu terlihat begitu ramah dan bersahabat.

"Baik, Bu. Terima kasih"

Selama mengerjakan skripsi, Alif jadi sering berputar-putar di lantai dua mencari ruangan dosbim. Awalnya, ia selalu berputar-putar dan kebingungan, tak jarang ia sampai merasa pening dan sebal. Pasalnya, di lantai dua ini ada banyak sekali ruangan dosen di tambah ruang khusus prodi. Seiring dengan berjalannya waktu dan semakin ia rajin bimbingan, ia mulai hafal dan bisa mengingat ruangan-ruangan yang ada di lantai dua. Di atas pintu itu, Alif mengeja nama Prof Adnan yang terukir di kayu berwarna coklat, memastikan ia masuk ke ruangan yang sama. Dengan mantap tangan mungil itu memegang kanel pintu lalu mendorongnya. Langkahnya mulai memasuki ruangan dengan nuansa putih itu.

"Assalamu'alaikum" ia ucapkan salam keselamatan untuk Prof Adnan.

"Wa'alaikum salam. Kamu datang tepat waktu. Untungnya saya belum ke auditorium." Pria paruh baya itu terlihat ramah dan bersahaja. Ia juga terlihat murah senyum. Padahal saat mengajar Alif di semester lima lalu, Prof Adnan sangat killer.

"Alhamdulillah, Prof. Tadi Bu Sonya memberitahu saya kalau sebentar lagi ada rapat bersama WR 3. Jadi saya sesegera mungkin kesini. Ini berkas revisian saya, prof"

"Sudah kamu perbaiki semua kan? Insyaa Allah revisian ini yang terakhir. Persiapkan semuanya dengan baiknya sebelum hari H nanti ya, Mba. Saya buakan surat ACC sebentar." Betapa senang hati Alif mendengar kalimat terakhir Prof Adnan. Akhirnya ia bisa segera menyandang gelar S.H. Meskipun ia mengambil jurusan Islamic Astronomi, ia akan mendapatkan gelar S.H karena prodinya itu masuk ke dalam Fakultas Syari'ah dan Hukum. Dilihatnya Prof Adnan tengah menabuhkan tinta di atas sebuah kertas.

"Nanti kamu minta tanda tangan ke Pak Suryo sama Husein yah. Semua dosen pembimbing harus memberikan acc sebagai syarat mengikuti munaqosah." Prof Adnan memberikan selembar kertas pada Alif. Di bagian bawah sebelah kiri, ia melihat Nama Prof Adnan sudah bertemankan tanda tangan. Tersisa dua nama di samping Prof Adnan yang menunggu tanda tangan si empunya. Mata Alif terlihat begitu berbinar-binar. Ia tidak bisa menyembunyikan kebahagiannya. Seketika itu Alif memeluk Shofiya yang duduk di sampingnya. Tingkah dua gadis itu menimbulkan garis senyum di wajah Prof Adnan.

"Terima kasih banyak, Prof. Insyaa Allah besok saya sudah mendapatkan semua tanda tangan." Melihat tanda tangan Prof Adnan, Alif serasa mendapatkan suntikan semangat baru untuk mendapatkan dua tanda tangan lainnya.

"Ya sudah, saya duluan ya, Mba. Sudah ditunggu. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam."

Dua perempuan itu mengikuti langkah Prof Adnan keluar ruangan. Awalnya Alif berniat menghadap dua dosbim lainnya, namun melihat lorong dipenuhi lalu lalang dosen yang bergerak menuju lantai tiga, ia teringat pesan Bu Sonya di bawah tadi. Iapun memutuskan untuk mengajak Shofiya menuju kantin yang terletak di sebelang gedung kanfak. Kebetulan ia belum makan siang, padahal sebentar lagi sudah masuk waktu ashar. Kantin tidak terlalu ramai siang itu mengingat waktu itu masih jam mata kuliah. Mahasiswa lain masih sibuk di ruang kelas.

"Selamat lho, Lif. Lulus semester tujuh beneran kamu. Salut aku, Lif." Shofiya begitu bahagia melihat sahabat karibnya sebentar lagi akan mengakhiri masa kuliahnya.

"Iya, Shof. Makasih, ya. Kamu segera nyusul. Doain Munaqosahku lancar ya. Kalau nanti kita ga wisuda bareng kaya cita-cita kita dulu. Aku doakan kamu jadi lulusan terbaik, Shof. The best lah kamu pokoknya." Tak lupa ia juga menyemangati temannya itu. Ketika Ospek dulu, mereka pernah berkomitmen untuk bisa wisuda bareng di semester tujuh. Namun, tanpa diduga Shofiya mengalami sakit yang lumayan serius dan sering membuatnya terbaring tak berdaya dengan selang melilit di tangan. Ia harus tertinggak materi dan pernah tidak mengikuti UAS. Akhirnya, ia harus mengulang beberapa mata kuliah. Tentunya itu berimbas pada tugas akhir atau skripsinya. Tapi, meskipun mempunyai sakit, Shofiya merupakan perempuan yang tangguh. Ia selalu mendapatkan nilai nyaris sempurna di akhir semester. Semangat dan visi besar mampu membuat ia bertahan melawan rasa malas dan sakit.

"Aamiin. Aku doakan semoga munaqosah kamu lancar. Meskipun aku ga bisa wisuda bareng kamu di semester ini, setidaknya kamu sudah mewakili mimpi kita untuk bisa wisuda di semester tujuh."

Dua perempuan tersebut disatukan oleh visi yang sama. Menjadi sahabat terbaik yang selalu mengingatkan apabila ada yang mulai keluar dari misi yang harus dilakukan. Mereka berusaha menjadi sparing-partner terbaik.

Tsuroyya; Mengejar Mentari di bawah PurnamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang