Email

5 3 1
                                    

Semarang, Juni 2019

Meskipun dua hari lagi ia akan sidang munaqosah, Alif tidak meninggalkan kewajibannya di FORPAS. Ia tetap mengikuti agenda mingguan yang kali ini dilakukan di RM. Laras Rasa. Diskusi kali ini menghadirkan Tia Prameswari, Duta Baca Banjarnegara. Alif juga mengajak Shofiya, ia begitu suka membaca.

"Udah telat belum sih Lif kita?" Shofiya berjalan terburu-buru di depan Alif.

"Belum, Shof. Mba Tia masih di perjalanan. Santai aja, Shof"

Keduanya lalu berjalan menaiki tangga menuju lantai dua. Khusus untuk agenda pertemuan, rapat, diskusi, dll rumah makan itu menyediakan lantai dua yang lebih luas dan tenang. Lantai satu digunakan untuk tamu-tamu yang datang untuk makan seperti biasanya.

"Assalamu'alaikum" ucap Alif ketika memasuki ruangan dengan dinding kaca itu.

"Wa'alaikumussalam" serentak yang berada di dalam ruanganpun mengalihkan perhatiannya menuju pintu masuk. Alif menyalami mereka seperti biasanya. Shofiya yang sering mengantar Alif ketika mengikuti agenda FORPAS juga tampak sudah akrab dengan beberapa orang. Meskipun bukan anggota FORPAS, ia berteman baik dengan mereka.

"Katanya udah mau sidang munaqosah, Lif? Kok masih sempet keluar?" Mba Hanna melontarkan pertanyaan yang sepertinya jawaban Alif juga ingin di dengar mereka-mereka yang ada di ruangan tersebut.

"Masih dua hari lagi, Mba. Doakan, ya. Kalo maslah agenda, harus tetep dateng dong. Hehehhe" tawa Alif justru memunculkan kekaguman tersediri bagi teman-temannya itu. Mereka tahu, Alif tidak hanya sibuk dengan FORPAS namun ia bisa menyelesaikan studynya di semester tujuh mengalahkan mereka yang hanya terbebani tugas kuliah namun lulus di semester delapan.

"Aamin, kita doakan yang terbaik untukmu, Lif" perbincangan itupun terhenti ketika Tia Prameswari sudah hadir. Shofiya terlihat begitu antusias dan bersemangat. Ia terlihat begitu menikmati agenda itu. Wajah bersahaja dan ramah Tia membuat audiensnya betah berlama-lama berdiskusi dengannya hingga tanpa mereka sadari azan asar sudang berkumandang. Diskusipun diakhiri dengan foto bersama dan dilanjutkan dengan sholat berjamaah.

Salah satu kelebihan rumah makan itu adalah, ada mushola di sebelah ruang pertemuan yang ada di lantai dua. Mereka bergantian mengambil air wudu. Setelah semuanya siap barulah mereka menunaikan sholat asar berjamaah.

"Mba, Alif ya?" Alif yang masih melipat mukena memalingkan pandangannya menuju orang yang duduk di sampinnya. Ia baru menyadari jika perempuan itu adalah mba Tia.

"Iya, Mba. Kok bisa tahu?" Alif merasa aneh jika orang seperti Mba Tia mengenalinya.

"Dulu saya jadi peserta seminar di Hotel Horison yang diadakan oleh MenDikBud. Saya lihat Mba Alif menguaraikan cerita tentang Tan Malaka dengan jelas. Saya kagum" senyum manis Mba Tia membuat Alif justru tersipu malu. Ia mengingat gamabaran dirinya yang kala itu berdiri di atas podium. Ia mungkin tidak mengenali seluruh peserta yang hadir saat itu. Namun betapa gembiranya ia mendapati salah satu di antara mereka yang masih mengingat dirinya.

"Maa syaa Allah. Terima kasih, Mba tia. Saya juga kagum dengan sosok perempuan di depan saya. Menjadi duta baca di usia muda sungguh luar biasa"

"Setelah acara seminar itu, saya mengikuti tulisan-tulisan yang Mba tulis. Bahasa yang Mba gunakan begitu luwes, namun tidak bertele-tele. Saya suka. Saya juga pembaca setia dongeng-dongeng tulisan Wortelina. Jujur, saya sebenarnya juga ingin sekali menjadi penulis seproduktif dan sehebat Mba Alif, namun waktu lagi-lagi menjadi kendala"

"Bukankah membaca dan menulis saling berkaitan? Kita akan bisa menulis setelah kita membaca. Dengan menulis, orang akan membaca apa yang kita pikirkan. Tidak hanya fasih lisan, kita juga harus fasih tulisan, bukan?"

Tsuroyya; Mengejar Mentari di bawah PurnamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang