Visi di luar Kepala

30 10 2
                                    


Lampu merah di pertigaan Pasar Jeruk membuat kendaraan yang tadinya melaju kencang harus berhenti beberapa saat. Panasnya terik matahari di tambah polusi udara tidak menghambat penduduk Kota Semarang untuk tetap beraktivitas. Seolah panas sudah bersahabat dengan kulit mereka. Di antara kendaran yang saling berhimpit menunggu lampu berubah hijau, tampak seorang anak usia delapan tahunan menyempil di sela-sela kendaraan. Kedua tangannya membawa tumpukan koran, berusaha menawarkannya kepada siapapun yang berhati dermawan. Kedua kakinya seolah tak merasakan aspal yang panas, tanpa alas kaki ia berjalan kesana-kemari.

Alif menarik uang puluhan dari tas kecilnya. Menukarnya dengan koran yang anak itu bawa. Ia tahu, anak itu menjual koran bukan untuk mencari keuntungan. Ia hanya mengumpulkan rupiah demi rupiah agar mampu bertahan di tengah kerasnya kehidupan. Berusaha mengisi perut dengan hasil keringatnya, bukan hasil merendahkan diri dengan meminta-minta. Anak itu tersenyum memandang Alif sembari menyerahkan koran. Siang itu, Alif sudah rapi dengan sweater rajut berwarna dongker sepanjang lutut yang ia kombinasikan dengan bawahan rok panjang berwarna hitam. Pasmina diamond berwarna hitam membuat penampilan sederhanaya terlihat stylish

Suara klakson dari berbagai arah memekakkan telinga ketika lampu di atas sana berubah warna, Alif segera melajukan motornya mengambil jalurkanan. Tujuannya kali ini adalah Taman Indonesia pintar. Agenda diskusi mingguan FORPAS dilaksanakan di tempat-tempat umum yang ada di sekitaran Semarang. Karena anggotanya tidak hanya dari satu universitas saja maka, tempat diskusi biasanya diacak. Kebetulan kali ini di Taman Indonesia Pintar. Tempat diskusi yang beda-beda membuat Alif hafal jalanan dan gang-gang di Semarang, meskipun awal-awal dahulu ia sering tersesat dan salah jalan. Meski selalu pergi kemana-mana sendiri, perempuan itu tidak pernah benar-benar merasa sepi. Ketika berada di atas motor, disamping fokus dengan jalanan, ia juga sering mencari-cari ispirasi melalui tempat-tempat yang ia lalui. Puisinya kebanyakan menceritakan tempat yang pernah ia lalui.

Setengah jam berlalu, Alif sudah berjalan mencari teman-temannya yang sudah datang. Mereka sudah menggelar MMT di bawah pohon-pohon yang rindang di dekat kolam. Segera Alif menghampiri mereka.

"Kak Alif" sapa salah seorang perempuan yang berwajah masih imut. Kemungkinan besar  ia mahasiswi semester satu.

"Hey, udah lama?" Alif menyalami mereka satu persatu sebelum kemudian duduk di antara mereka.

"Belum, Kak. Masih nunggu yang lain juga ini." Timpal perempuan yang duduk di seberang Alif.

"Dongeng terbarunya udah di update belu, Lif? Hehe. Adikku udah nungguin, kemarin tak bacain dongeng kamu yang terakhir. Eh, tadi pagi dia udah nayain kelanjutanya lagi." Evi, teman Alif satu kampus, namun berbeda fakultas. Evi merupakan mahasiswi semester tujuh yang masuk FORPAS bareng Alif.

"Belum, Mba. Kalau dongeng biasanya saya up pas weeked. Maaf, yah. Tiga hari ini saya ngejar essay, jadi harus bagi-bagi waktu" selain mengirim tulisannya ke berbabagi media, Alif juga rajin menulis di Wattpad.

"Sibuk banget kamu kayanya, Lif. Ngga capek po?"

"Justru kalau diem aja malah lebih capek. Capek mikir mau ngapain hahahaha. Engga ko, Mba. Kalo udah suka sesuatu pasti ga ada kata capek, deh. Kaya kita ini, karena kita sevisi di FORPAS kita sama-sama dateng meskipun mungkin ada kegiatan lain bahkan meskipun kita baru saja selesai dari satu kegiatan yang lain dan membuat kita lelah. Karena kita udah cinta sama FORPAS kita pasti dateng gitu"

"Bisa aja, deh Mba" 

"Nah itu, Mba. Masalah visi sama misi, kok aku masih nggak ngeh ya, Mba. Sekarang juga lagi sering banget orang ngebahas masalah visi hidup, misi, apalah itu pokonya" mendengar pertanyaan itu Alif tersenyum. Dalam hati, ia bersyukur bisa memiliki kesempatan untuk berkumpul dengan banyak orang. Setidaknya, ia bisa menyampaikan apa yang ia ketahui. Menjalankan sedikit demi sedikit amanah Ayah, bermanfaat untuk orang lain sekaligus menjalankan visi besar yang selalu bergelayut di atas pundaknya.

"Ibarat Rika punya keinginan untuk berangkat ke Jakarta dengan tujuan bertemu seseorang. Untuk bisa sampai ke Jakarta, Rika naik kereta. Keinginan Rika itu kuta sebut dengan visi, sedangkan cara Rika ke Jakarta adalah misinya. Kalau satu misi ternyata gagal kita lakukan, kita harus cari cara lain agar visi kita bisa tetap terwujud. Klau Rika tidak bisa naik kereta karena ketinggalan misalnya, Rika harus cari cara lain, naik bus, atau naik motor misalnya. Begitu, Rik"

"Aku pernah denger deh mba. Katanya keinginan-keinginan yang ingin kita capai itu harus ditulis ya?" seseorang yang baru saja datang mengalihkan pandangan semua yang duduk. Ketua Umum FORPAS, Mba Hanna sudah bergabung bersma mereka. Lalu saling basa-basi dan menyapa sebentar. Alif lalu melanjutkan diskusi pemahaman itu.

"Iya, bener banget. Karena apa? Ya karena kalau kita tulis kita bisa tahu sudah sejauh mana capaian kita. Kita bisa tahu mana yang sudah dan belum kita capai. Dengan begitu kita bisa melakukan semacam evaluasi, sudah maksimal belum sih apa yang  kita lakukan? Lalu, bagaimana cara kita bisa mewujudkan yang belum? Tapi, kalau menurut aku pribadi kita juga harus punya visi di luar kepala. Dimanapun, kapanpun, dan bagaimanapun kondisi kita, kita akan mengingatnya. Ibaratnya, visi itu adalah visi terbesar kita, meskipun tidak menuliskannya, kita merasa memiliki tanggung jawab untuk segera melaksanakannya"

"Visi di luar kepala Kak Alif apa?" spontan Rika bertanya

"Dakwah" dengan mantap dan yakin Alif menjawab dengan satu kata itu. Kata yang pernah ia ucapkan pada seseorang di sekre HMJ kemarin. Visi yang membuatnya bangkit setelah mendung menutupi sinar matahari di hari-harinya. Visi yang membuat ia menemukan teman sevisi. 

"Aamin. Semoga dimudahkan ya, kak"

Tsuroyya; Mengejar Mentari di bawah PurnamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang