Chapter 4

7 2 0
                                    

Vote and Comment loh!

Happy Reading x

          🎈🎈🎈

Suara nyanyian air yang mengalir menyambut kedatangan Bianca, Salma, dan Jeje di outdoor kafe yang mereka kunjungi sore ini. Mereka menaiki jembatan coklat dan melangkah menuju satu lingkaran kosong yang cukup untuk mereka bertiga. Setelah memesan beberapa menu, mereka mulai membicarakan hal apapun yang terlintas begitu saja dibenak mereka. Terkadang ketika membahas tentang dance, mereka menggerakan tangan mereka guna mengingat gerakan walau tubuh tidak beranjak dari kursi yang diduduki. Begitulah nasehat Bianca pada anggotanya, agar menghapal gerakan dimanapun dan kapanpun, bahkan ketika mandi adalah waktu yang sangat tepat karena mereka bisa menggerakan tubuh mereka sebebas mungkin tanpa dilihat aneh orang lain.

"Eh Farhan!" seru Salma walau tak berteriak, membuat kedua kepala lainnya mengikuti tatapan Salma.

Memang sudah menjadi rahasia umum ketiganya jika Salma menyukai lelaki itu. Lelaki yang banyak diamnya namun tetap terlihat cool membuat Salma bisa tergila-gila padanya, walau kegilaan tersebut hanya didepan Bianca dan Jeje.

"Mereka suka ke kafe juga? Gue kira diskotik," ucap Jeje asal sebut dan tak menghiraukan ke-empat teman sekolahnya itu.

"Lo liat ga sih si Dimas kayak bonyok gitu?" memang sedari tadi mata Bianca terpaku pada wajah Dimas yang berwarna merah keunguan dibagian pelipis walau sedikit tersembunyi. Bianca memang sangat ahli dalam penglihatan, karena matanya begitu jernih.

"Paling juga nyium aspal, kek gatau Dimas banyak tingkah aja," sahut Bianca memutarkan matanya.

"Kenapa si Farhan cool banget!"

"Salma... Salma...." panggil Jeje dan Bianca menyadarkan Salma dari haluannya. Jika tidak maka Salma akan terhanyut dalam memuja Farhan setiap waktunya.

"Kayak anak muda aja lu Dim ngajak ke kafe estetik begini," kata Putra ketika setiap bokong mereka sudah mendarat dikursi.

"Tau, biasanya juga ngedugem," lanjut Ari membuat semua tergelak. Lalu mereka memesan menu mereka masing-masing dan sang bartender pergi dari tempat itu.

"Dimas Ardani!"

"Sstt! Dimas!"

"Dimas! Hai!"

Lagi-lagi ada beberapa gadis yang mengenal Dimas dan memanggilnya walau tak se-histeris bertemu sang idola. Mungkin gadis-gadis itu sekolah Taruna juga, atau tetangga sekolah, atau satu perumahan, yang jelas Dimas tak pernah memikirkan hal tersebut.

"Jadi kapan kita lanjutin tantangan tadi?" tanya Farhan mengingat kejadian beberapa menit yang lalu, kejadian yang terbatalkan hanya karena kerusuhan warga sekitar.

"Tunggu sampe warga lupa dikit lah, ga ada tempat lain sih," jawab Dimas menyenderkan tubuhnya dan memegang pelipisnya yang memar dengan hati-hati.

"Itu si Riko masih aja nonjok elu waktu panik begitu," kata Putra melihat Dimas yang sedang meraba-raba pelipisnya.

"Namanya juga kingkong," timpal Farhan memutar matanya jengah.

"Eh ada Bianca tong!" seru Ari menyenggol lengan Dimas, membuat si korban mengitari pandangannya menuju titik pusat Ari.

"Tuh cewe kek arwah aja dah ngikutin gua mulu," gerutu Dimas yang membuat ketiga temannya mendelik tajam padanya.

"Apaan si."

"Pede lu."

"Receh anjir."

     🎈🎈🎈

Lelaki ini berjalan santai menuju gerbang sekolah dengan kedua tangan yang dimasukkan kedalam saku celana dan mulut yang tak berhenti mengunyah permen karet. Tas nya sengaja ia gantungkan disalah satu lengannya, lengan seragamnya dilipat rapih menjadi pendek, dua kancing atasnya sengaja tak ditutup membuat kaos putihnya terlihat jelas, dan kerah yang tak berbentuk. Berpenampilan seperti ini lagi-lagi tak dihiraukan oleh murid lainnya, malah menjadi pencuci mata para siswi yang sudah dianggap angin lewat bagi Dimas.

"Pagi bapak!" panggil Dimas dengan senyumnya ketika kakinya sudah berada digaris gerbang sekolah, menyapa pak satpam yang sedang duduk didepan posnya.

"Eh si bos!" balas pak Rudi mengibaskan tangannya di udara, menyuruh Dimas mendekatinya ketika mata pak Rudi sudah mengabsen penampilan Dimas.

Dimas yang mengerti pun menurut saja dengan berdiri tegak disamping pak Rudi. Satpam itu mulai membenarkan penampilan Dimas, dari mulai tas, kancing, dan juga kerahnya. Pak Rudi tak mempermasalahkan lengan seragam Dimas karena ia akan menolaknya dengan alasan gerah.

"Kieu atuh bos! Ini baru bos keren bapak!" seru pak Rudi menepuk-nepuk bahu Dimas. Dimas pun hanya tersenyum lebar walau diperlakukan seperti itu oleh pak Rudi, dirinya sudah begitu akrab dengan pria paruh baya ini.

"Ah bapak, beda atuh jaman 2000-an sama 80-an," gurau Dimas membuat pak Rudi juga tertawa.

"Pagi pak Rudi!" suara seorang gadis membuat kedua lelaki ini menoleh.

"Eh Ca, pagi juga barbie!" balas pak Rudi dengan wajah berserinya.

"Burik gitu dibilang barbie pak?" pertanyaan Dimas membuat langkah Bianca berhenti dan mundur lagi dengan motor yang masih digeretnya.

"Sirik aja lo, tikus tanah!"

"Yahah ga punya mata dong gua," jawab Dimas memperagakan berjalan dengan mata yang ditutup dan tangan yang seakan meraba-raba.

"Ga waras emang pak," ucap Bianca melihat pak Rudi yang tengah terkekeh karena Dimas. "Yaudah Bianca masuk dulu ya pak!"

"Iya neng! Semangat belajar!" seru pak Rudi mengepalkan tangannya di udara.

"E-eh ikut gua," ucap Dimas menyusul Bianca dan pamit pada pak Rudi juga.

Hening. Tak ada yang membuka suara selama mereka berjalan. Langkah Bianca yang mengarah ke parkiran pun diikuti Dimas. Bianca hanya menggelengkan kepalanya tak ingin bertanya apapun padanya, mungkin saja ada urusan lain di parkiran. Namun ternyata lagi-lagi Dimas mengikuti Bianca ketika motor sudah diparkirkan ditempat biasa Bianca.

"Diem-diem bae Bi," Bianca menoleh pada Dimas, dan tiba-tiba teringat oleh memar yang ia lihat kemarin. Tangannya pun memutar tubuh Dimas dengan kasar membuatnya menolak tak terima.

"Apaan sih Bibi!"

"Diem!" lalu ia berhasil memutar tubuh Dimas dan memerhatikan memar tersebut walau sengaja dihindari oleh Dimas sendiri guna menutupinya.

"Korban apaan lo?"

"Korban?! Sorry ya, Dimas Ardani ga pernah jadi korban! Dikamus gua tuh cuma pemenang doang!" katanya bangga memukul-mukul dadanya.

"Emang menangin apa?"

"Lotre."

Bianca mendengus sebal dengan jawaban asal Dimas. Dimas tergelak sendiri, padahal sebenarnya ia begitu gugup karena kelancangan mulutnya yang mengatakan jika ia seorang pemenang, namun lagi-lagi ia membanggakan otaknya yang mencair begitu saja dalam sekejap.

"Cie Bibi perhatian banget sih sama aa," goda Dimas mencolek pipi Bianca.

"Apa si lo? Gue ga ngapa-ngapain dibilang perhatian," Bianca menepis tangan Dimas dan kembali fokus pada jalannya.

"Itu lu tau kalo gua bonyok, hayo kepoin gua yaa!"

"In your wildest dream!" seru Bianca lalu berjalan cepat dengan telinga yang mendengar Dimas tergelak sangat kencang.

.

.

.

VOMMENTS YAK :D

I Know It's YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang