KE TIGA PULUH SATU

3.4K 547 6
                                    

Delshad,

Aku tidak akan menyia – nyiakan kesempatan. Bagaimana pun itu rupa dan sifat papa nya Embun, tetap beliau yang memiliki hak paling tinggi atas diri Embun. Embun anak perempuan yang lahir didalam pernikahan yang sah, tentunya segala hak dan kewajiban atas Embun ada di tangan papanya.

Aku jujur, tercubit rasanya hatiku, mendengar penuturan Embun atas kisah hidupnya. Bahkan kisah hidupku, gak ada seujung kukunya. Ditinggal pergi tunangan, gak seberapa sakitnya, dari pada melihat dengan mata kepala sendiri, bagaimana di hianati orang tua sendiri.

Ayah atau papa atau bagaimana kalian memanggilnya, selalu menjadi cinta pertama bagi anak perempuannya, dan selalu menjadi idola bagi anak laki – lakinya. I want a husband like my father or I want to be like my father. Dua buah cita – cita klasik, yang tidak mungkin disebutkan oleh kakak beradik Rayyan dan Embun.

Rayyan, sebenarnya dimataku dia egois, membiarkan Embun memegang kendali penuh disini. Sementara dia mengejar cita – citanya, menjadi seorang arsitek disebuah firma arstitektur terkenal di London. Menikahi wanita yang dia cintai, dan sedang menantikan seorang anak.

Sebuah kehidupan yang berbanding terbalik dengan adiknya, yang harus berdarah – darah menjaga segala milik keluarga, berhadapan langsung dengan orang – orang yang menjadi sumber petaka keluarganya.

Besar harapanku, bisa mengambil alih Embun dari ayahnya se segera mungkin. Memindahkan seluruh hak dan kewajiban atas Embun ke tanganku. Akan ku jamin kebahagiaannya. Akan ku jaga hati dan kepercayaannya.

Aku menemui kedua orang tuaku, meminta kesediaan mereka, untuk dapat bertemu dengan Embun. Tapi aku juga tidak mau mereka tahu masalah tentang Embun dari mulut orang lain.

"kamu yakin mas, mau punya istri dengan latar belakang kehidupan seperti itu?"

"papa sama mama kan tahu, aku ga pernah main – main dan ragu – ragu dengan keputusanku" jawabku pada pembicaraan malam ini. mama ku sedang menyiapkan makan malam kami bertiga.

"gini ya mas, nikah itu jangan cuma lihat cinta sama calonnya aja, tapi kehidupannya, mbok ya, yang jelas – jelas aja gitu mas. Masih banyak urusan hidup dia yang masih belum beres gitu mas. Nantinya akan kena ke kamu juga"

"nanti kamu yang ikut nanggung malu" papa menimpali mama.

"kenapa harus dibawa malu? Yang harus malu itu bukan Embun, bahkan dia disini korban, yang harusnya malu ya bapaknya dan istrinya" aku mulai emosi mendengar reaksi orang tuaku. Lagi – lagi ini tentang harga diri dan nama baik keluarga. Padahal nama baik keluargaku, gak akan ternoda sedikit pun oleh hal ini, kami tetap akan menjadi orang baik.

"mas.. cukup sekali kita dipermalukan sama keluarga Elvira, gak bisa apa kamu pilih yang lain? Perempuan banyak mas" pernyataan mama yang di sambut anggukan papa, tanda papa mendukung pendapat mamaku.

"perempuan banyak ma, tapi aku maunya Embun. Kenapa papa mama ga coba dulu untuk ketemu dia? Lihat sendiri bagaimana orangnya? Jangan buru – buru nge hakimin kaya gini?"

"pa, kita sama – sama lawyer pa, papa tau kaya gini ga adil kan? Asumsi ga bisa dijadikan barang bukti kan?"

Aku menatap mereka berdua bergantian, mereka tampak resah dengan keyakinanku atas Embun.

"gini deh, aku akan tetap kenalkan Embun sama papa dan mama. Apapun nanti keputusan mama dan mama, terima dia atau nggak sebagai menantu. Itu terserah papa dan mama. Tapi, maaf aku bukan ngancam, aku akan tetap hanya nikahin Embun"

"mas..gak bisa gitu dong mas, kamu anak kami satu – satunya, masa hanya gara – gara pilihan mu kamu ninggalin mama dan papa?" mama berseru kesal.

she and her insecurities of loveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang