KE LIMA PULUH DUA

3.9K 496 5
                                    

Delshad,

The wait is almost over, sekarang aku hanya tinggal menunggu hari kepulangan Embun. Aku rela melakukan apa saja untuk membuatnya menerimaku kembali. Embun akan kembali ke Jakarta 2 hari lagi. Aku bahkan rasanya sudah tidak sabar, ingin melingkarkan cincin ini dijemarinya lagi.

Rasanya aku gak rela, membayangkan dia berkeliaran di Hong Kong, jauh dari ku, dan tidak memakai cincin pertunangan kami. Moga – moga tidak ada rekan kerjanya yang menggaet dia disana.

Aku baru saja kembali dari rumah Embun, bertemu lagi dengan papanya, mengobrol sejenak. Beliau menanyakan kelanjutan rencana kami, dan aku dengan mantap dan yakin, mengatakan semua baik – baik saja, akan tetap berjalan sesuai rencana. Tidak akan ada satupun yang berubah.

Aku mengambil 2 dus undangan jatah keluargaku, aku sudah harus mulai mendata para undangan. Dan paling lambat dua minggu lagi undangan sudah harus disebar.

Hobby ku setiap malam saat ini adalah, memandangi sepasang cincin pernikahan kami. Senyum – senyum sendiri, lama – lama aku kayak orang gila. Sebaiknya hari pernikahanku segera datang, dari pada aku senyam senyum sendiri seperti ini terus – terusan setiap malam.

Hampir setiap hari aku mampir ke rumah kami, menata posisi perabotan. Aku juga mulai memesan beberapa perangkat elektronik untuk melengkapi isi rumah kami. Embun waktu itu sudah sempat memilih set kompor dan oven keinginannya, hanya saja waktu itu dia masih menimbang – nimbang, karena harganya sangat mahal katanya.

Sebenarnya aku mampu membelinya, tapi, kadang aku membiarkan Embun melakukan apa yang dia mau. Kalau dia mau mempertimbangkan dulu benda yang ingin dia minta, ya aku biarkan. Hitung – hitung, aku juga jadi belajar banyak dari dia, kalau membeli barang itu juga harus pakai perhitungan manfaatnya.

Aku cenderung boros, apa yang ku mau ku beli. Berbanding terbalik dengan Embun, dia setiap punya keinginan, akan dia pikirkan lagi dulu kepentingannya. Apa perlu dia beli sekarang atau nanti.

Tapi khusus set kompor dan oven ini, dia sepertinya sangat menginginkan model itu. Dia menanyakan beberapa jenis model, dan merek. Tapi selalu berakhir dengan kalimat 'tapi tetep unggul yang tadi ya jadinya?' dan tentunya disambut dengan anggukan antusias salesman nya. Dan selalu di urungkan lagi niatnya dengan kalimat 'tapi 23 juta banget ya mas?' dengan tatapan memelas didepanku.

Saat itu, aku hanya tertawa menanggapi, membiarkan dia asik menimbang – nimbang sendiri. Padahal dari berangkat aku sudah bilang, pilih yang kamu mau. Tapi itu lah calon istriku, dia dari sebelum aku lamar sampai sekarang, memang bukan tipe perempuan aji mumpung. Seringnya dia excited di awal kalau ditawari barang – barang, begitu sampai lokasi, dia bisa berubah pikiran 'entar aja deh mas, gak jadi'.

Kadang kesal, karena aku memang sudah niat membelikan. Tapi disatu sisi salut juga, karena Embun selalu punya skala prioritas untuk mengeluarkan uang. Padahal Embun sendiri bukan berasal dari keluarga pas – pasan, orang tuanya termasuk kaya, walau bukan kaum jet set. Tapi kehidupannya diatas standard. Tapi itu lah, yang membuatku merasa dia adalah perfect match ku, aku yang cenderung big spender dan Embun yang akan berfungsi sebagai rem ku.

Dan disinilah aku sekarang, mengawasi instalasi Hob, Oven dan Hood yang waktu itu sudah di pandangi dengan tatapan memelas oleh calon istriku. Yang diam – diam ku wujudkan. Total semuanya hampir 50 juta ku habiskan, tapi aku senang, karena ini akan menjadi surprise untuk calon istriku. Kalaupun di omeli, paling cuma sebentar, habis itu dia akan kegirangan sendiri.

Lagi pula, dia memang kitchen ninja, jadi aku gak akan rugi menghabiskan uang segitu banyak untuk peralatan masak nya ini. aku sudah membayangkan, rumah ini akan wangi aroma kue – kue buatannya di kala weekend. Sejak bersama Embun, aku memang menjadi fans fanatik kue – kue buatannya.

she and her insecurities of loveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang