Bagian 18 Mama

96 7 3
                                    


Aku sudah lama tak ke berkunjung ke rumah Mama, mungkin ini baru kali pertama aku menginjakkan kaki ke rumah ini setelah menikah. Tak ada yang berubah dari rumah ini. Semuanya masih sama seperti yang dulu.

Kami menyalami Mama yang membukakan pintu untuk kami. Beliau seperti sudah menunggu di ruang tamu dari tadi, begitu senang melihatku menggendong Andre. Tangan Mama segera menjulur ingin menggendong Andre. Perlahan, kuserahkan Andre ke Mama.

"Wah ... cucu nenek datang," ujarnya bahagia. Tangannya menjulur ke depan, siap menerima Andre.

Aku sibuk mengangkat Andre dari gendongan bayi, pelan-pelan menyerahkan Andre ke Mama.

"Mama, apa kabar?" tanyaku.

"Baik," jawab beliau.

Aku jarang menghubungi Mama, mungkin bisa dihitung dengan jari. Terlalu fokus untuk merawat Andre dibandingkan mengurusi hal yang lain. Mama terlihat berbeda, lebih kurus dari terakhir kali kita bertemu di rumah sakit. Wajahnya juga sedikit pucat, tak seperti biasanya berhiaskan lisptick warna kalem. Meski rambutnya masih tergelung sempurna. Aura kebahagiaan terpancar begitu Mama menggendong Andre.

"Ma, Amel ke toilet sebentar, ya?" izinku langsung melenggang ke toilet tanpa menunggu jawaban.

"Iya." Mama masih asyik bersama Andre.

Setelah dari toilet, aku mencari mereka bertiga. Ternyata, mereka ada di halaman depan dan tampak asyik bermain. Aku sendiri lebih memilih untuk duduk tenang di gazebo, memeriksa ponsel jika ada sesuatu yang penting. Kesendirianku terhenti ketika Mama mendekat.

"Amel," sapanya. Aku langsung menghentikan aktifitasku.

"Iya, Ma?"

"Kamu baik-baik saja, kan?" tanya Mama lagi.

"Baik, Ma. Buktinya Amel sehat. Andre juga sehat," jawabku.

"Semalam ... Mama paksa David untuk ke rumah kamu. Mama memaksanya untuk minta maaf. Mama udah tahu semuanya, apa yang terjadi di antara kalian." Mama menghela napas sejenak

"Iya ... Dia sudah minta maaf tadi pagi, cuma Amel belum tahu gimana nantinya."

"Mama yakin, kamu ... adalah ibu yang hebat. Kamu pasti bisa mengambil keputusan yang tepat," Mama menyemangatiku.

"Setiap ibu pastilah hebat, apalagi mempertaruhkan nyawa untuk anaknya. Tapi, hati masih belum bisa kompromi, Ma." Aku menatap tajam beliau.

"Kamu bener, hati itu punya kehendaknya sendiri. Kamu tahu saat Mama melahirkan David?" tanya Mama dengan anada sendu.

Kini, tatapannya seperti menerawang ke masa lalu. Gurat kesedihan, mendadak muncul pada wajahnya yang mulus.

"Kenapa saat Mama melahirkan David?"

"Mama juga melahirkan David seorang diri, ayahnya sudah meninggal saat dia di kandungan tiga bulan."

Aku berusaha simpatik, "Meninggal karena apa, Ma?"

"Kecelakaan kerja. Dia kehilangan banyak darah setelah jatuh dari ketinggian saat mendatangi lokasi proyek."

"Emm ... Maaf Ma, Amel enggak tahu soal ini. Amel hanya tahu kalau Ayah David meninggal saat dia masih di kandungan, tapi enggak pernah tahu penyebab Ayah David meninggal."

Sorot matanya memancarkan kesedihan. Pastilah berat ditinggalkan oleh orang yang kita cintai, orang yang menjadi separuh nyawa kita. Meski bertahun-tahun telah tiada, mereka sejatinya tetap tinggal dalam hati kita.

"Enggak apa-apa. Berat bagi Mama untuk membesarkan David sendirian. Mama memang kecewa saat tahu dia punya anak dari kamu, tapi semua tingkah lakunya juga sebagian besar salah Mama. Mungkin ... dia kesepian karena sering Mama tinggal untuk urusan pekerjaan, meneruskan perusahaan milik ayahnya. Hingga dia melampiaskan pada hal-hal yang negatif. Mama akui, Mama gagal mendidik David." Air matanya mulai menetes mengingat setiap kejadian pahit yang selalu singgah dalam hidup.

Malaikat KecilkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang