Empat belas

471 57 9
                                    

Nusa melompat dari atas kasurnya, menari-nari tidak jelas sambil bersenandung dengan nada yang memekakkan telinga. Ya bagaimana tidak senang? Ia berhasil membuat El menyetujui untuk mengajari dirinya belajar matematika. Astaga, walaupun 99,99% merupakan paksakan dari dirinya, tapi tetap saja El pasti tidak mungkin menolak keinginannya dalam bidang pelajaran.

Modus? Jelas saja tidak. Untuk apa dirinya mencari perhatian pada kulkas berjalan? Ia bersungguh-sungguh ingin belajar matematika karena seumur hidup, mata pelajaran itu selalu saja menyiksa kinerja otaknya. Membuat kepulan asap tak kasat mata yang membuat dirinya melambaikan tangan pertanda menyerah.

Iya, bagi sebagian orang, pelajaran matematika adalah malapetaka.

"Na, berisik. Rumah terasa mau rubuh kamu buat."

Nusa menoleh ke sumber suara sambil menghentikan aksi konyolnya. Ia menyengir lebar sambil menggaruk kepala belakangnya yang tidak gatal. "Eh Kak Rehan, ngapain disini?"

"Ngapain ngapain, ayo makan malam."

Hampir saja Nusa lupa jika jam kini sudah menunjukkan jam delapan malam. Keasyikan dengan rumus matematika yang membuat kepalanya hampir pecah, membuat dirinya lupa belum mengisi energi dengan karbohidrat yang dibutuhkan oleh tubuh.

"Lupa, peace." Ucap Nusa sambil bergelayut di lengan Rehan.

Rehan terkekeh kecil melihat tingkah adiknya yang terkadang menjadi manja seperti ini. "Hari ini, menu makan malamnya itu steak ekonomis."

Nusa menaikkan sebelah alisnya. "Ekonomis? Kayak sabun cuci baju dengan harga ekonomis!" Ucapnya sambil mempraktekkan tubuhnya, bergaya seperti seseorang yang berada pada iklan di televisi.

"Apaan sih kamu." Ucap Rehan sambil mengelus lembut puncak kepala Nusa.

Bagaimanapun, Nusa adalah tanggung jawab terbesar dalam hidupnya. Tidak mudah menjadi kepala rumah di saat dirinya merasa selalu kurang untuk menghidupi kehidupan Nusa. Walaupun gajinya selalu cukup bahkan lebih dan berakhir di tanggungannya, tapi tetap saja ia merasa kurang dalam memberikan kasih sayang untuk adiknya.

Kurang? Bahkan Rehan bersikap sangat manis kepada Nusa. Over protective dan juga tegas menambah poin kasih sayang yang sesungguhnya karena tidak ingin terjadi apa-apa pada Nusa.

"Iya, maaf ya kakak lupa beli daging untuk steak. Jadi pakai dada ayam aja deh."

Nusa mengangguk senang. "Gak masalah kok, apapun masakan yang Kak Rehan buat, tetep enak!" Ia menarik tangan Rehan untuk keluar dari kamarnya, ia benar-benar tidak sabar untuk mengisi perutnya yang sudah berbunyi sejak beberapa menit yang lalu.

Rehan dengan senang hati mengekori Nusa dari belakang. Hidup berdua dengan Nusa bukanlah suatu hal yang merepotkan, mengingat cewek itu yang tidak terlalu memikirkan hal tentang barang branded seperti apa yang dipakai teman-teman sekolah seusianya.

Kini mereka sudah berada di meja makan, duduk manis dengan Nusa yang mengambil satu porsi steak di hadapannya. "Keliatannya enak." Ucapnya sambil meraih sebuah garpu dan pisau.

Rehan tersenyum hangat. "Habisin ya, Kakak udah luangin waktu untuk masak makan malam buat kamu."

"Iya, Kak Rehan paling top deh! Yang lain mah beng-beng, beda cerita kalau Bara dia tuh es batu."

"Bara?"

"Iya Kak, cowok yang paling jarang ngomong di kelas. Mukanya datar banget, jutek juga kadang."

Merasa mengenali ciri-ciri yang di sebutkan oleh Nusa, Rehan sedikit mengelus dagunya. "Elbara maksud kamu?"

Belum sempat menyuapkan steak ke dalam mulutnya, Nusa mengurungkan niatnya. "Kok Kak Rehan kenal?"

ELBARA [TERSEDIA DI WEBNOVEL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang