Pria tampan memang tidak pernah salah. Apalagi kaya dan pintar, seperti Seokjin. Ibu manapun pasti akan marah jika ketahuan menginapkan laki-laki di rumahnya. Tapi karena pria itu Seokjin, mana sanggup Ibu Jisoo mengeluarkan amarah. Apalagi ketika pria itu tersenyum dan berbicara amat sopan. Sekarang Seokjin berakhir di meja makan, menikmati masakan rumah yang dibawa Ibu Jisoo.
Kemampuan berkomunikasi yang sangat bagus, Jisoo membatin. Setelah menjelaskan dengan tutur kata yang sopan kenapa Seokjin menginap di rumah Jisoo semalam, kini ganti ibu Jisoo yang memuji-muji kebaikan Seokjin. Jisoo ingin sekali menyumpat telinganya. Tangannya menyumpit makanan dengan malas. Ibunya dan Seokjin masih mengobrol dengan asyik. Dirinya justru seperti benda yang terabaikan.
"Ibu, jika nanti saya lulus sidang, saya ingin mengajak Jisoo liburan kalau boleh?" tanya Seokjin. Kali ini Jisoo tidak bisa mengabaikan. Liburan? Bersama Seokjin? Yang benar saja. Yang ada mereka bertengkar di jalan sebelum sampai tujuan.
"O-oh... Liburan, memangnya kemana dan kapan?" tanya Ibu Jisoo.
"Mungkin satu atau dua bulan lagi. Rencananya saya akan pergi ke Busan atau Jepang."
"Boleh saja kok.... Boleh sekali...."
Jisoo merasa ibunya sedang menjualnya. Ingin sekali memaki Seokjin yang dengan seenaknya meminta izin ibunya seperti itu di pertemuan pertama mereka. Tapi tidak mungkin Jisoo menggertak seenaknya. Jadi dia pilih diam dan akan menanyakan dengan detail pada Seokjin setelah ibunya pergi.
***
"Memangnya aku sudah setuju atas liburan kelulusanmu?" tanya Jisoo ketika Seokjin akan undur diri. Ibunya sudah pergi beberapa menit yang lalu. Seokjin sedang memakai sepatunya di depan pintu rumah Jisoo.
"Tentu saja harus setuju. Kan ibumu sudah setuju."
"Harusnya bilang dulu padaku, memangnya siapa yang mau kau ajak liburan, aku atau ibuku?"
"Dih, kau tidak mau? Ya sudah, aku mengajak ibumu juga tidak apa-apa. Orangnya menyenangkan diajak ngobrol daripada anaknya."
Jisoo tidak mengerti jalan pikiran Seokjin.
"Lagipula.... Memangnya yakin kau akan lulus semester ini, oppa?" ledek Jisoo.
Seokjin mencibir dan mendecih sambil tersenyum miring. Matanya menyipit sebal. Dirinya sudah berdiri berhadapan lagi dengan Jisoo yang sedang berkacak pinggang sambil bersandar di dinding.
"Kalau aku bisa lulus satu bulan lagi.... Kau harus mau melakukan apapun yang aku minta."
"Ihhh, enak saja. Kalau kau menyuruhku terjun dari jembatan penyebrangan, masa aku harus mau!"
"Ya tidak sampai kehilangan nyawa begitu...."
"Aku tidak akan membuat perjanjian apapun ya denganmu, oppa!"
"Terlanjur. Kau terlanjur meremehkanku soalnya. Jadi tunggu saja, persiapkan dirimu memenuhi permintaanku sebulan lagi."
Raut wajah Jisoo berubah sebal bukan main. Alis berkerut, bibir maju menggerutu. Seokjin tertawa penuh kemenangan seperti biasa. Jisoo ingin meneriaki Seokjin, tapi ketika hendak membuka mulut dan beranjak, tubuhnya justru oleng. Dia lupa kalau kakinya yang terkilir belum sepenuhnya sembuh. Seokjin yang masih berdiri di hadapannya otomatis menangkap tubuh Jisoo yang akan terjatuh. Tangannya meraup pinggang Jisoo sedangkan wanita itu mencengkram kedua lengan Seokjin yang menolongnya.
"Sepertinya mulai sekarang kau tidak boleh mengumpat padaku, Jisoo-ya," kalimat Seokjin tidak bernada tinggi seperti biasa. Suaranya deep dan begitu dekat ke telinga Jisoo sampai-sampai Jisoo merinding. Demi mengatasi salah tingkah yang tiba-tiba, Jisoo mencubit kecil lengan Seokjin hingga pria itu mengaduh.
KAMU SEDANG MEMBACA
That Jerk
FanficTidak ada pertemuan tanpa rasa kesal. Tapi siapa sangka pertemuan-pertemuan itu menjadi hal yang sakral.