09 - Bahagia Yang Tertunda

36 8 12
                                    

"Ketika rasamu ku kira dusta, ternyata itu yang membuatku tersiksa."

°°°

Hening merajai keadaan saat ini. Tidak ada yang memulai percakapan, keduanya sibuk dengan pemikiran masing-masing.

Bianca yang sempat terlihat salah tingkah dengan pertanyaan Darrel tadi kini sudah biasa saja. Ia duduk di kursi yang bersebelahan dengan Darrel. Tepatnya ia sedang berada di tepi kolam renang rumah Darrel. Di depan mereka sudah ada masing-masing semangkok bakso yang sepertinya sangat ingin dinikmati. Terlihat dari kepulan asapnya yang begitu menggiurkan.

Bianca yang sudah tidak tahan ingin memakannya, segera ia mengambil sendok dan garpu yang tersedia di sisi mangkok itu. Di sela kunyahannya Bianca berhenti lalu menatap Darrel dengan matanya yang menyipit.

"Nggak papa, lo cantik kalau lagi lapar." Suara batuk yang keluar dari mulut Bianca membuat Darrel refleks memegang punggung gadis itu. Ia tersedak.

Dengan segera Bianca mengambil air minum yang ada di depan sebelah kirinya. Diteguknya air itu hingga tandas setengahnya.

"Lo niat muji atau hina gue sih?"

Darrel menatap Bianca bingung, kenapa perempuan suka bicara setengah-setengah.

"Emang gue bilang apa barusan?"

"Lo cantik kalau lagi lapar," ucap Darrel mengulang perkataannya tadi.

"Itu sama aja lo bilang gue gendut!" Dentingan sendok dan garpu yang tergeletak kembali ke tempat asalnya membuat Darrel meringis.

Darrel mengusap tengkuknya yang ternyata tidak gatal.

"Emang gitu ya artinya?" Pertanyaan yang sukses membuat Bianca menekuk habis-habisan wajahnya.

"Gak," ketus Bianca.

Tanpa sadar kini Bianca sudah menghabiskan baksonya. Hanya tersisa kuah dengan campuran saus dan kecap yang menjadi satu dengan sedikit sawi yang masih tersisa di mangkok.

"Makan lo belepotan kaya anak kecil tau gak." Darrel mengelap sisa bekas saus yang menempel di sudut kanan bibir gadis itu dengan jari jempolnya— mengusap lembut.

Bianca termenung mendapat perhatian kecil dari laki-laki itu. Ia memantapkan hatinya untuk tidak terjerat pesona orang di depannya ini. Bagaimana bisa hanya dengan sentuhan kecil membuat tubuhnya bergetar hebat.

"Gue bisa sendiri." Darrel mengedikkan kedua bahunya.

Setelah dirasanya selesai, Bianca berdiri dari duduknya. Mengambil tas dan kunci yang tergeletak di atas meja lalu menatap sang empunya rumah sebelum melanjutkan langkahnya.

"Makasih baksonya." Darrel hanya mengangguk-ngangguk sebagai jawaban.

Bianca akan melangkahkan kakinya untuk pulang sebelum sebuah suara menginterupsinya. "Lo harus bayar, gak ada yang gratis di dunia ini." Suara berat itu membuatnya memutar langkah.

"Berapa yang harus gue bayar?" tanya Bianca tepat di depan wajah Darrel, walau ia harus sedikit berjinjit untuk menyamakan tingginya.

"Uang gue udah terlalu banyak, itu aja susah buat habisin nya." Darrel menarik senyum kirinya, "jadi gue gak perlu uang lo."

Tangan gadis itu mengepal keduanya, menandakan ia sedang menahan amarah yang siap meletus saat itu juga.

"Apa mau lo?"

"Mau gue ...,"

Derap langkah kaki terdengar semakin dekat, bersamaan dengan suara lengkingan yang sangat tidak enak untuk di dengar.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 16, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ALTAIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang