PROLOG

440 20 3
                                    

Lastri dan Ismail menatap ke arah Farid - Putra teman baik keluarga mereka - yang akan dijodohkan dengan Putri mereka, Gia. Mereka berkumpul sore itu setelah Gia mengatakan bahwa Farid tidak baik-baik saja. Gia merasa bahwa ada hal penting yang Farid rahasiakan dari mereka semua hanya karena Pria itu mungkin merasa tidak enak pada keluarga Gia ataupun karena dia merasa tidak ingin mempermalukan keluarganya di depan keluarga Gia.

"Ayo Nak Farid, silahkan katakan saja apa yang menjadi ganjalan dalam hatimu," pinta Lastri.

Rahmi dan Agus menatap Putra mereka bersamaan, dengan harapan bahwa tidak ada ganjalan apapun di dalam hati Farid seperti yang Gia duga. Gia sendiri hanya duduk diam di tempatnya, ia tersenyum dari balik wajahnya yang tertutupi oleh niqob.

"Mangga atuh Akh Farid, bilang saja kalau ada yang Akh Farid tidak suka. Saya teh tidak apa-apa kalau harus mendengar kejujuran meskipun mungkin akan terasa menyakitkan," ujar Gia, pelan.

Farid menatap gadis yang terus menundukan kepala itu sejak tadi. Dia bahkan tak pernah menatap langsung ke arah Farid, namun entah bagaimana dia bisa tahu kalau ada yang menjadi ganjalan di dalam hati Farid sejak pertama mereka diperkenalkan. Farid pun menghela nafasnya dalam-dalam selama beberapa saat, ia berusaha untuk tetap tenang.

"Sejujurnya, saya tidak bisa menerima perjodohan ini," ujar Farid.

Rahmi dan Agus pun merasa kecewa seketika saat mendengar penuturan Putranya. Mereka merasa seakan baru saja dihantamkan sebuah batu besar yang menghimpit di dalam dada.

"Saya sudah memiliki calon Istri pilihan saya sendiri yang menurut saya sesuai dengan keinginan hidup saya. Saya mencintai dia, dan saya tidak bisa mencintai Ukhti Gia seperti yang kedua Orangtua saya minta selama dua bulan belakangan ini," ungkap Farid, apa adanya.

"Alhamdulillah Ya Allah, akhirnya ada titik terang untuk kelanjutan hidup Putri kami," Ismail bersyukur dengan senyuman paling lega di wajahnya.

Farid menatap dengan penuh rasa heran ke arah kedua Orangtua Gia yang begitu bersyukur karena dirinya menolak perjodohan. Bukankah seharusnya mereka kecewa?

"Ya Allah Nak, lain kali kalau ada hal yang mengganjal di dalam hatimu ungkapkan saja. Seandainya Gia tidak memberitahu kami kalau sikapmu aneh, maka kami tidak akan pernah tahu apapun. Kami akan menjadi bagian dari orang-orang zhalim yang memaksamu menikahi Putri kami padahal kamu tidak ikhlas," ujar Lastri seraya tersenyum dari balik niqob-nya.

"Maafkan anak saya Ibu Hajjah, saya jadi tidak enak pada Bapak dan Ibu Haji karena penolakan anak saya terhadap Neng Gia," ungkap Rahmi, bersedih.

"Tidak apa-apa Bu Rahmi, jangan terlalu dipikirkan. Insya Allah anak-anak kita akan mendapat jodoh yang tepat di kemudian hari dan sesuai dengan yang mereka mau," balas Lastri.

"Memaksakan kehendak kita sebagai Orangtua bukanlah hal yang baik. Anak-anak juga memiliki impian mereka sendiri, dan kita tidak pernah tahu apakah pilihan kita lebih baik dari pilihan mereka sendiri. Jadi, tidak memaksakan kehendak adalah jalan yang paling baik dalam masalah ini," ujar Ismail, tenang.

"Tetap saja, kami merasa tidak enak pada Bapak Haji dan Ibu Hajjah. Kami sudah yakin sekali kalau Farid dan Neng Gia sangat cocok untuk dijodohkan, tapi kami malah di hadapkan dengan kenyataan yang tidak sesuai dengan apa yang kami inginkan," tutur Agus.

Farid tahu kalau kedua orang tuanya merasa kecewa, tapi ia juga tak bisa mebohongi hatinya sendiri. Ia mencintai Sarah, dan ia ingin mengkhitbah Sarah sekaligus menjadikannya Istri. Wanita itu sudah menjadi pilihan Farid sejak mereka saling mengenal di Madrasah tempatnya mengajar, dan kepekaan Gia membuatnya kembali memiliki jalan untuk bisa meraih Wanita impiannya ke dalam hidupnya.

Orangtua mereka masih berbincang-bincang, sesekali Gia ikut menimpali jika ditanya oleh Ibunya. Farid pun melirik ke arah Gia yang terlihat begitu ceria padahal dirinya baru saja ditolak. Ia benar-benar tak mengerti dengan jalan pikiran gadis itu, mengapa bisa dia sangat santai setelah menerima penolakan?

Pikiran itu tak bisa pergi dari dalam kepala Farid, ia begitu penasaran dan ingin tahu apa yang Gia pikirkan saat ini.

"Apakah saya boleh bertanya pada Ukhti Gia?" pinta Farid.

"Tentu Nak, silahkan," jawab Ismail.

Gia menunggu pertanyaan yang akan Farid ajukan. Pria itu menatap Gia meskipun Gia tidak pernah menatapnya selama ini.

"Kenapa Ukhti Gia tidak merasa bersedih karena penolakan dari saya? Kenapa Ukhti bisa terlihat sangat tenang seperti ini? Apakah saya tidak menyakiti hati Ukhti?" tanya Farid, penasaran.

Gia kembali tersenyum dari balik niqob-nya, gadis itu masih saja menundukan kepalanya tanpa berani menatap ke arah Farid yang bukan mahramnya.

"Afwan Akh Farid, bukannya saya tidak merasa bersedih. Jujur saja saya merasa sedih karena ditolak oleh Pria yang shaleh seperti Akh Farid. Tapi apa daya, saya ini hanya manusia biasa yang tidak mungkin memaksa seseorang untuk menerima kehadiran saya jika tidak diinginkan."

Farid berusaha menyimak.

"Bagi saya menikah itu berarti tanggung jawab, di mana saya harus bertanggung jawab untuk berbakti pada Suami dan juga bertanggung jawab untuk membahagiakan Suami. Bagaimana saya bisa membahagiakan Akh Farid, jika Akh Farid tidak mencintai saya dan tidak menerima kehadiran saya. Saya hanya akan membuat hidup Akh Farid menderita karena sebuah keterpaksaan, dan saya tidak mau berdosa dengan membuat seseorang tersiksa hanya karena terpaksa menerima kehadiran saya. Apakah cukup jelas jawaban saya Akh Farid?" Gia ingin memastikan kalau Farid mengerti dengan semua yang ia sampaikan.

Farid mengangguk.

"Insya Allah, semuanya jelas Ukhti Gia. Syukron atas kejujuran Ukhti pada saya," jawab Farid.

"Ibu mohon maaf ya Neng Gia, Ibu teh nggak menyangka kalau anak Ibu akan memberikan jawaban seperti itu untuk Neng Gia. Neng Gia pasti kecewa sekali hari ini," Rahmi masih tak bisa menerima keputusan Farid.

"Tidak apa-apa Bu, saya ikhlas. Jika Akh Farid bahagia dengan pilihannya, maka saya juga ikut berbahagia. Jangan lupa undang saya ya Bu kalau nanti Akh Farid jadi menikah. Saya ingin menghadiri acara pernikahannya," pinta Gia, tulus.

"Insya Allah Neng, kalau Farid menikah nanti kami pasti akan mengundang Neng Gia beserta keluarga agar bisa menghadiri pernikahannya," balas Agus.

Farid kembali terdiam di tempatnya dengan hati yang bimbang luar biasa. Pikirannya yang selalu mantap terarah kepada Sarah menjadi berantakan. Semua yang Gia tuturkan, semua yang Gia jelaskan, membuat dirinya kembali berpikir berulang-ulang mengenai keputusannya sendiri.

"Ya Allah, apakah sudah tepat keputusanku jika aku benar-benar menolak dia?" batinnya.

* * *

Berserah Kepada-Nya [PROSES PENERBITAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang