Ponsel tak pernah lepas dari telinga Gia sejak Farid pergi bersama Fakhrul untuk mencari jejak keberadaan Sarah yang menculik Safira. Ia ingin terus mendengar kabar dari suaminya tanpa henti.
"Ini perhentian yang ke empat belas Mi. Salah satu rumah milik keluarga Sarah," ujar Farid.
"Apakah rumah itu berpenghuni Bi?" tanya Gia, was-was.
"Sepertinya yang ini kosong Mi. Tidak seperti rumah-rumah sebelumnya," jawab Farid.
"Apakah Polisi juga ada di sana bersama Abi?"
"Iya Mi, Polisi ada di sini bersama kami. Ada indikasi yang besar kalau Sarah bisa saja bersembunyi di rumah ini, dan kalau benar, maka Ukhti Fira pasti ada bersamanya."
Fakhrul menatap Farid diam-diam, hatinya tersengat rasanya nyeri secara tiba-tiba ketika melihat bagaimana Farid yang begitu diperhatikan oleh Gia.
"Seharusnya aku yang ada di posisi itu. Sayangnya, Allah berkehendak lain," batin Fakhrul.
Beberapa orang anggota Polisi mendekat ke area halaman rumah itu. Mereka berusaha mengintip ke dalam rumah dengan sangat hati-hati agar Sarah tidak melarikan diri jika memang wanita itu berada di sana.
Tak lama kemudian, para Polisi pengintai memberikan tanda pada anggotanya yang lain bahwa terlihat pergerakan dari dalam rumah itu. Farid mematikan ponselnya, memutus sambungan telepon dengan Gia. Fakhrul mengajaknya untuk mendekat ke arah Polisi yang mendekat melalui jalan samping. Mereka benar-benar mengendap-endap agar tak ketahuan.
Safira masih berusaha melonggarkan tali pengikatnya, itu hampir berhasil jika saja ia tak melihat sosok Fakhrul dari jendela samping yang ada di dalam kamar itu. Fakhrul dan Farid memberinya tanda agar tetap diam, namun Safira tentu saja tak bisa diam karena ia tahu Sarah sedang menuju ke arahnya saat mendengar langkah kakinya.
Ia menggeleng-gelengkan kepalanya dan meminta Fakhrul dan Farid untuk pergi dari jendela itu.
Ckrekkk!!!
Pintu kamar itu kembali terbuka, Sarah masuk kembali ke dalam sana dan Safira kembali berpura-pura tak berdaya meski tangannya kini sudah terasa sangat longgar dari ikatan.
“Gimana? Sudah mau makan? Atau masih mau aku siksa lagi, hah???” bentak Sarah sambil menjambak rambut Safira untuk yang kesekian kalinya.
Safira berupaya menahan sakit, Fakhrul dan Farid sangat geram saat melihat apa yang Sarah lakukan pada Safira. Beberapa anggota kepolisian yang ada bersama mereka pun melihat hal tersebut. Rumah itu mulai di kepung dari seluruh penjuru setelah menerima laporan bahwa Sarah ada di dalam kamar yang sedang diawasi bersama korban penculikan.
“Sampai kapanpun, saya tidak akan mau memakan makanan haram yang kamu sediakan! Bahkan jika aku harus mati kelaparan, aku tidak akan pernah memakannya! Selain itu, hanya dengan cara inilah kamu tidak akan bisa menjebak Akh Fakhrul! Kamu nggak akan punya tawanan untuk menjebaknya kalau saya mati!” balas Safira.
Sarah menutup kedua matanya dengan penuh kekesalan dan emosi yang bertumpuk di dalam dadanya. Ia mulai mencekik Safira dengan tujuan agar wanita itu mau menuruti keinginannya untuk makan.
“Makan, atau kamu akan benar-benar mati di tanganku!” ancam Sarah.
“Ka…, mu…, bu…, kan…, Al…, lah!” Safira mengatakannya dengan terbata-bata.
PRAAANNNGGG!!!
BRUUUKKKHHH!!!
Suara pecahan kaca dan suara jatuhnya tubuh Sarah tak begitu terdengar nyata di telinga Safira. Kedua matanya tertutup sambil menarik nafas dalam-dalam setelah tenggorokannya tercekik dengan erat tadi. Fakhrul memang sudah tak bisa menunggu lagi, ia lebih memilih mengambil sebuah batu berukuran sedang lalu melemparkannya ke arah jendela sehingga batu itu bukan hanya memecahkan kaca namun juga menghantam kepala Sarah yang berada dekat sekali dari jendela.
Sarah merintih kesakitan, Farid mencungkil jendela yang sudah pecah agar Polisi bisa masuk tanpa harus terkena sisa-sisa serpihan tajam di beberapa sisi. Ikatan di tangan Safira dilepaskan, wanita itu masih lemas akibat cekikan kuat yang Sarah lakukan padanya. Polisi wanita yang ada di sana membantunya untuk keluar dari rumah itu. Petugas medis baru saja tiba dan Safira segera mendapat pertolongan pertama.
* * *
Husna dan Kiayi Haji Amir memeluk putri mereka dengan erat di rumah sakit dengan perasaan yang lega. Bekas cekikan yang Sarah lakukan menimbulkan memar di sekeliling leher Safira, sehingga Dokter memintanya untuk tetap di rumah sakit agar menerima perawatan.
Farid memeluk Gia yang masih menangis penuh syukur karena Safira sudah ditemukan dalam keadaan selamat. Rahmi dan Lastri ikut masuk ke dalam ruang perawatan saat suster sudah memperbolehkan mereka untuk menjenguk Safira. Gia menggenggam erat tangan sahabatnya tanpa ingin melepas.
“Syukron Neng Gia, kalau Neng Gia tak memberitahu Nak Farid soal Neng Fira yang tidak kembali ke kelas maka tidak akan ada yang sadar kalau Neng Fira hilang,” ungkap Husna sambil memeluk Gia.
“Afwan Mi, Ukhti Fira sudah seperti Adik saya sendiri. Jadi sudah jelas saya akan mengkhawatirkan dia jika saya tidak melihatnya,” ujar Gia.
“Syukron atas kepekaan yang Ukhti Gia miliki. Saya sangat bersyukur karena memiliki Ukhti di samping saya. Sarah melakukan semua ini hanya karena dia merasa iri yang tidak jelas. Dia mengakuinya pada saya di rumah itu,” tutur Safira, kedua matanya berkaca-kaca.
“Ukhti Fira, katakan saja. Apapun yang Ukhti Fira dapatkan dari Sarah kemarin harus diungkapkan,” saran Gia.
Semua menatap Safira saat itu, Safira sendiri mempersiapkan dirinya – secara mental.
“Sarah mengatakan semuanya tentang mengapa dia begitu membenci saya. Dia merasa tak suka dan iri karena Akh Fakhrul tidak pernah melihatnya yang lebih cantik daripada saya yang begitu tertutup seperti ini."
"Astaghfirullahal 'adzhim! Jadi selama ini Sarah begitu membenci Ukhti Fira karena dia menyukai Akh Fakhrul???" Gia sangat terkejut.
Safira pun menganggukan kepalanya sambil menyeka airmatanya yang mulai membanjir.
"Dia bilang, bahwa dia membenci saya setiap kali Akh Fakhrul membela saya, dia membenci saya karena Akh Fakhrul lebih memperhatikan saya daripada dia. Demi Allah, sampai hari ini, detik ini, saya sama sekali tidak pernah merasa Akh Fakhrul memperhatikan saya. Dia hanya melakukan apa yang seharusnya dia lakukan ketika melihat kezhaliman, dan Sarah salah mengartikan hal itu sehingga dia membenci saya," Safira menumpahkan ketakutannya yang sudah ia tahan-tahan sejak kemarin dalam pelukan Gia.
Gia merengkuh Safira erat-erat sambil mengusap punggungnya dengan lembut agar merasa lebih tenang.
"Sudah Ukhti Fira, sudah. Semua sudah berlalu. Sekarang saatnya untuk melupakan, bukan untuk terus mengingat," bujuk Gia.
"Iya Ukhti Gia, saya akan mencoba melupakan kejadian buruk kemarin," balas Safira.
Fakhrul mendengar semuanya dari Kiayi Haji Amir tentang apa yang Safira ceritakan mengenai alasan Sarah membenci wanita itu. Ia beristighfar berulang-ulang pada saat itu juga karena terhindar dari fitnah seorang wanita keji seperti Sarah. Kiayi Haji Amir pun menepuk pundak Fakhrul.
"Dan atas kejadian ini Nak Fakhrul, mohon maaf sebelumnya, sebaiknya Nak Fakhrul menjauh dari putri saya. Saya tidak mau mengambil resiko yang berat dengan kehilangan Neng Fira. Dia putri saya satu-satunya, dan saya tidak bisa kehilangan dia hanya karena dia berteman dengan Nak Fakhrul," tegasnya.
Fakhrul terpaku di tempatnya berdiri. Ia tak menyangka jika akan mendapat peringatan seberat itu dari Orangtua Safira.
'Ya Allah, apa dosa hamba kepada-Mu?'
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
Berserah Kepada-Nya [PROSES PENERBITAN]
Spiritual[COMPLETED] Apa yang bisa kuperbuat jika Allah tak menakdirkan hatimu untuk menerima kehadiranku? Selain ikhlas, aku tak bisa melakukan apa-apa lagi. Bagiku, Allah pasti sudah menentukan jalan yang terbaik dalam takdirnya, untukmu dan juga untukku. ...